Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi
Bergabung sejak: 7 Okt 2019

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

BTS-Pop Culture: Hiburan, Politik, dan Situs Pertarungan Dominasi

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Najmi Arif
ilustrasi BTS Meal dengan saus cajun dan saus sweet chilli.
Editor: Heru Margianto

DALAM kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari ragam budaya populer seperti musik, film, sinetron, iklan, fashion, media sosial, dan lain-lain. Banyak dari kita bahkan yang memiliki ketertarikan bahkan ketergantungan akan produk-produk budaya populer.

Salah satu contohnya adalah candu akan hiburan K-Pop Culture, salah satunya adalah BTS (Bangtan Boys), grup musik idola asal Korea Selatan besutan Big Hit Entertainment.

Popularitas BTS di dunia sudah tidak diragukan lagi. Dalam hitungan menit saja lagu-lagu mereka berhasil ditonton jutaan orang. Channel YouTube resmi HYBE Labels mereka telah memiliki 59.5 juta subscribers.

Akhir Mei 2021 BTS melakukan kolaborasi dengan McDonald (produk makanan cepat saji asal Amerika). Keduanya mengeluarkan produk BTS Meal yang mendapatkan respon luar biasa dari seluruh Army Indonesia (sebutan untuk penggemar BTS).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paket BTS Meal ramai diserbu oleh para Army di Indonesia. Banyak driver ojek online yang mengantre melalui layanan drive-thru (tanpa turun) di gerai-gerai McDonald selama berjam-jam hanya untuk mendapatkan BTS meal yang dipesan oleh para Army.

Tidak hanya itu, para Army bahkan rela merogoh kocek mahal mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan dan mengoleksi benda-benda yang terkait dengan idola mereka yang dijual secara online oleh reseller.

Sebagian dari kita yang bukan penggemar boyband asal Korea Selatan ini mungkin akan merasa heran mengapa para Army Indonesia begitu antusias untuk membeli produk-produk bungkus makanan cepat saji yang bertemakan BTS.

Bagaimana produk budaya populer ini bisa menghipnotis massa untuk menggilai atau menjadi fetish terhadap produk-produk tertentu? Apakah konsumen hanya diproyeksikan sebagai objek produksi saja?

Baca juga: BTS Meal dan Imajinasi Fiktif Homo Sapiens

Industri hiburan Korea Selatan

Masuknya industri hiburan Korea Selatan di Indonesia memang sudah teridentifikasi sejak 90-an, kemudian semakin berkembang pada 2000an hingga memunculkan fenomena demam K-Pop dalam 10 tahun terakhir.

Sejak periode Hallyu (Gelombang Korea) pada 1990-an, produk budaya populer (film, drama serial, dan K-Pop Music) telah menyebar di berbagai negara Asia seperti China, Hongkong, Malaysia, hingga Indonesia.

Sejak muncul kekuatan baru ini, industri hiburan Korea Selatan terus melakukan inovasi dan menciptakan pola-pola produksinya untuk meraih popularitas dan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pop culture dalam definisi

Raymond Williams memaknai budaya popular sebagai objek atau praktik yang diminati oleh banyak orang atau kerap dianggap remeh-temeh. William juga menambahkan bahwa pop culture diproduksi untuk mengakomodasi selera masyarakat umum atau dalam konteks kapitalisme ia diproduksi secara komersial untuk dikonsumsi.

Pop culture bisa dipahami dengan membandingkannya dengan high/elite culture, budaya tradisional-lokal, dan budaya nasional (Ariel Heryanto). Artinya pop culture diasumsikan sebagai budaya residual, recehan, tidak bernilai seni tinggi, dan kerap dianggap sebagai budaya yang tidak perlu mendapatkan perhatian serius.

Namun, dalam pandangan kritis pop culture bukan hanya sekedar hiburan saja, akan tetapi, bermuatan ideologis bahkan politis. Contohnya di era Orde Baru. Film dan media massa digunakan sebagai propaganda politik oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaaan dan bahkan berperan penting dalam mengkonstruksi persepsi masyarakat.

Ketika menonton sinteron sehari-hari, kita melihat bagaimana seharusnya hidup berkeluarga yang "benar", menjadi suami atau istri yang "baik", bahkan gambaran umum tentang sosok ibu tiri yang kerap dihadirkan sebagai individu yang jahat dan kejam.

Representasi semacam ini, menurut para pemikir feminis, sangatlah bermuatan ideologis, tidak menampilkan realitas yang kompleks, serta berpotensi melanggengkan ideologi patriarki (Dominic Srinati).

Dalam kontestasi politik, para penyanyi dari berbagai jenis genre musik mengisi hiburan untuk menarik perhatian massa dalam kampanye dan mendukung partai politik tertentu.

Beberapa contoh di atas memberikan kita pandangan bahwa pop culture tidak bisa sekadar dipahami secara sederhana sebagai hal yang remeh-temeh semata, melainkan ada kompleksitas makna yang perlu kita telusuri.

Meskipun kerap dianggap sebagai hal yang remeh-temeh, pop culture memberikan ruang kepada siapa saja untuk menawarkan kritik dan wacana alternatif.

Misalnya komedian perempuan Kiky Saputri yang dengan santainya melakukan roasting terhadap pejabat politik Indonesia seperti Sandiaga Uno, Erik Tohir, Susi Pudjiastuti, bahkan Wakil Presiden RI. Dalam lawakannya Kiky Saputri menyampaikan kritik tajam kepada pejabat negara melalui humor.

Simon Dentith mengatakan bahwa humor kerap bermuatan kritik dan politis yang disampaikan tanpa jalur kekerasan karena di balik humor tersimpan makna yang bertentangan dengan makna yang ada dalam realitas.

Kolaborasi dan agenda politik

Dalam konteks BTS, kita dapat melihat bagaimana dua kekuatan industri besar yakni McDonald (Amerika Serikat) dan BTS (Korea Selatan) berkolaborasi secara komersial untuk mempertahankan dominasi mereka di dunia.

Jika dulu, Amerika merupakan negara yang budayanya mendominasi dunia dan menjadi barometer dalam banyak aspek kehidupan, kini tidak lagi demikian. Artinya, di level peripheral Korea Selatan telah membangun kekuatan kompetitif atas Barat.

BTS dikabarkan akan melakukan kolaborasi dengan penyanyi kelahiran Inggris, Ed Sheeran, serta berhasil menguasai tangga lagu Billboard Hot 100 dan memenangkan voting yang digelar oleh UFA melalui akun Twitter resmi untuk hit singlenya Butter  yang diputar pada Opening Final Euro 2020.

Ini membuktikan bahwa Korea Selatan telah berhasil membangun kekuatan kultural baik di Asia maupun Barat, selain itu, dalam upaya mempertahankan dominasinya di dunia, Barat melakukan negosiasi melalui kolaborasi dengan kekuatan industri Asia.

Dalam hal ini, kolaborasi BTS dan McDonald menjelaskan bahwa kekuatan Barat tidak lagi menjadi satu-satunya kekuata yang bersifat eksklusif.

Upaya dan strategi Barat dalam mempertahankan dominasinya di ranah industri hiburan juga bisa dilihat dari beberapa film Hollywood yang mengikutsertakan talent atau aktor-aktor Asia, serta mengangkat tema-tema Asia dalam beberapa produksi filmnya seperti Raya and the Last Dragon, Mulan, Crazy Rich Asians.

Di luar itu, BTS juga aktif mengampanyekan isu kesehatan bersama UNICEF melalui lagu-lagunya dan tagar #loveyourself di media sosial. Kampanye tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan kepada masyarakat dengan persoalan kesehatan mental untuk bangkit dari keterpurukan. Terbukti kampanye ini banyak mendapatkan perhatian dunia.

Dari segi konsumen, Gietty Tambunan (Kompas/12/06/2021), BTS Army tidak bisa dilihat hanya sebagai subjek yang pasif. Mereka aktif memproduksi-mereproduksi makna dengan memanfaatkan citra BTS untuk membuat konten di media sosial dan mencari keuntungan.

Gietty juga menambahkan bahwa para BTS Army juga terlibat dalam aksi penolakan mereka tentang RUU Cipta Kerja pada 2020 lalu dan berhasil mendapat perhatian publik secara global.

Di sisi lain mereka juga membangun simpati publik di media sosial untuk mengumpulkan donasi kepada driver ojek online yang telah rela mengantre panjang di masa pandemi Covid-19 demi mendapatkan BTS Meal.

Melalui BTS, kita dapat melihat bahwa dengan segala kompleksitasnya, budaya populer perlu mendapatkan perhatian serius dan tidak bisa dilihat hanya sebagai hiburan semata.

Meskipun tidak bisa dilepaskan dari konteks kapitalisme, pop culture memiliki potensi sebagai agens perubahan yang memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi