Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 1 Jul 2021

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara.

Ubud dalam Pelukan Sintesis Jati Diri

Baca di App
Lihat Foto
shutterstock.com/olegd
Umat Hindu sedang melakukan upacara keagamaan di salah satu pura di Ubud, Bali.
Editor: Wisnu Nugroho

Saya pertama kali menyentuh Ubud, Bali pada 2018 lalu. Wangi dupa mengisi jalan raya. Warna warni adat dan agama memperkaya udara. Saya seperti di surga.

Di Ubud, yang modern dan yang tradisional berpadu satu. Toko-toko modern dan restoran internasional berjamuran di sana. Pura-pura suci Bali dan adat asli Ubud juga hadir dalam keagungannya. Yang modern dan yang tradisional hidup bersama, saling memperkaya.

Bagi saya, Ubud, dan Bali secara keseluruhan, adalah sebuah sintesis. Ia terbuka pada yang baru dan yang global. Namun, ia tetap berakar pada adat yang menjadi jati diri aslinya. Keduanya lalu digabungkan, dan menghasilkan sesuatu yang baru, yang lebih baik.

Di masa pandemi Mei 2021, nuansa yang sama tetap terasa. Pandemi memang membuat Bali lebih sepi. Namun, keindahan dan keagungannya tetap tak ada tandingannya. Tak heran, dunia jatuh cinta pada Bali, terutama Ubud.

Begitu banyak warga asing memutuskan untuk tinggal di sana. Beberapa bahkan mengabaikan peraturan internasional terkait pandemi, karena sudah begitu jatuh cinta pada Ubud. Dunia jatuh cinta pada sintesis yang dibuat oleh warga Ubud. Saya pun juga.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia harus belajar dari Ubud dalam soal membuat Sintesis. Yang asing dan modern kita peluk. Namun, yang lokal dan tradisional tetap kita jaga. Keduanya kita gabungkan untuk menghasilkan cara hidup yang lebih tinggi.

Sintesis Hegelian

Kata sintesis digunakan secara luas di dalam filsafat Hegel, seorang pemikir Jerman. Baginya, gerak sejarah terjadi secara dialektis. Ada tesis yang merupakan posisi awal. Dari tesis lahirnya antitesis, yang merupakan lawan kontrasnya. Keduanya akan bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, yang disebut sebagai sintesis.

Sintesis adalah perpaduan antara tesis dan antitesis. Namun, ia lebih tinggi dari keduanya. Dalam jangka waktu tertentu, sintesis akan menjadi tesis baru. Ia akan melahirkan antitesis, dan proses dialektika pun akan terus berlangsung, sampai akhir jaman.

Dengan konsep dialektika ini, Hegel menegaskan, di dalam satu hal terkandung selalu lawannya. Di dalam tesis, sudah selalu ada antitesis.

Sesungguhnya, kedua tak benar-benar berbeda, namun tak juga sungguh sama. Keduanya sama di dalam perbedaannya.

Ini paling jelas di dalam agama Hindu Bali. Ini adalah sebuah sintesis antara Agama Hindu Majapahit (yang berasal dari India) dan Budaya Bali. Di dalam yang adat lokal Bali, ada keterbukaan pada yang modern. Di dalam yang global, terkandung pula bibit yang tradisional.

Tak heran, agama Hindu Bali sangatlah khas. Agama Hindu Bali adalah milik Bali, milik Indonesia.

Ia memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dengan Agama Hindu dari India, yang hampir setua sejarah manusia itu sendiri. Bali mengangkat Agama Hindu Majapahit-India dan Budaya Bali ke tingkat yang lebih tinggi, yakni Agama Hindu Bali.

Modernitas pun juga dipeluk dengan nyaris sempurna oleh Budaya Bali. Di berbagai gedung dan rumah modern, nuansa Bali tetap terasa.

Pelinggih (salah satu pusat ritual dan pemujaan Agama Hindu Bali) bersanding dengan arsitektur kontemporer yang modern.

Turis asing, dengan gayanya yang khas, bersanding damai dengan ritual adat Bali di berbagai tepat.

Busana Muslim, khas pendatang dari Jawa, juga bersanding penuh harmoni dengan pluralitas kehidupan Bali yang modern sekaligus menghargai tradisi.

Indonesia jelas harus belajar membuat sintesis semacam ini, terutama terkait agama. Agama Islam haruslah menjadi milik Indonesia, dan bukan Indonesia yang semakin meniru budaya Arab.

Agama Kristen dan Katolik juga harus menjadi milik Indonesia, dan bukan kita yang terus meniru gaya Eropa maupun Amerika.

Agama Buddha juga harus menjadi milik Indonesia, dan bukan kita yang terus meniru gaya China ataupun Thailand.

Hanya dengan begini, Indonesia menjadi bangsa yang besar, karena keterbukaannya pada dunia, maupun cintanya pada adat tradisionalnya.

Mengapa Ubud mampu membuat sintesis semacam itu? Pertanyaan ini tentu penting untuk dijawab. Hanya dengan begitu, kita sungguh bisa belajar darinya. Ada tiga hal yang muncul di kepala.

Pertama, bersama beberapa teman, yang sudah seperti keluarga, saya berkeliling berbagai Pura di Bali.

Saya mengikuti ritual mereka dengan penuh rasa hormat. Saya tak sungguh mengerti. Namun, saya tetap terbuka.

Saya mencoba menangkap inti ritual Hindu Bali dengan intuisi filosofis yang saya punya.

Satu hal yang terus muncul, yakni keheningan. Ia adalah pengalaman tanpa kata. Ia adalah persentuhan langsung dengan Tuhan, tanpa perantaraan kata maupun konsep.

Ritual Hindu Bali adalah alat untuk mencapai keheningan yang sempurna. Keheningan adalah pengetahuan paripurna.

Ia melampaui pola pikir manusia yang cenderung dualistik, yakni memisahkan dunia ke dalam baik buruk, benar salah, dan sebagainya. Ini kiranya seperti kebijaksanaan Yahudi kuno: heninglah, dan temukan Tuhan di dalam dirimu.

Dua, keheningan adalah sumber kebijaksanaan. Orang yang hening mampu memahami dunia sebagaimana adanya. Ia hidup jauh dari prasangka dan pola pikir berlebihan yang merusak. Lalu, keputusan-keputusan hidup pun dibuat dengan kejernihan dan kebijaksanaan.

Agama dan budaya yang ribut akan jauh dari kebijaksanaan. Agama yang ritualnya bising, dan menganggu kehidupan sekitar, tidak mengenal arti keheningan.

Ia juga jauh dari kejernihan. Ia cenderung tertutup pada perubahan, dan merusak budaya yang sudah ada.

Tiga, keheningan membuahkan keterbukaan. Hal-hal baru dipeluk, tanpa kehilangan akar jati diri.

Perbedaan dipahami sebagai warna warni dunia ciptaan. Inilah kiranya yang membuat Ubud begitu modern sekaligus begitu tradisional pada saat yang sama.

Namun, Bali kiranya tetap perlu berhati-hati. Budaya patriarki, yang mengecilkan peran perempuan di dalam kehidupan, harus terus ditanggapi dengan kritis dan bijak.

Perempuan adalah bagian dari peradaban manusia. Peran dan kedudukannya pun harus dihormati seutuhnya.

Kini, Ubud kiranya perlu bersabar. Cengkraman pandemik belum berakhir. Kebijakan pemerintah masih terus merusak ekonomi dan moral rakyat.

Di tengah ketidakpastian, sintesis harus terus bergerak. Sesama warga harus saling membantu, karena pemerintah cenderung abai mengerjakan kewajibannya.

Kiranya, Ubud juga bisa belajar dari kebijaksanaan Buddhis kuno. Ketika segalanya tak pasti, teruslah berbuat baik. Kebaikan adalah kunci untuk keselamatan jiwa dan raga.

Hai warga Ubud, dan juga seluruh warga Indonesia, teruslah menebar upaya-upaya baik dengan segala kemampuan yang ada, walaupun buahnya belum sungguh tampak di depan mata.

Dalam keheningan, saya meninggalkan Ubud, dan melanjutkan perjalanan…

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi