Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 1 Jul 2021

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara.

Bali yang Selalu Mempersembahkan Diri

Baca di App
Lihat Foto
Sunrise di Gunung Batur
Editor: Wisnu Nugroho

Pertengahan Mei 2021, cuaca dingin pagi hari di Ubud, Bali menusuk ke tulang. Namun, tekad saya sudah bulat.

Saya akan berangkat di pagi hari, ketika sepi, untuk mengunjungi Gunung Batur di Kintamani, Bali. Matahari baru saja tampil menampakkan diri.

Pada saat yang sama, warga Bali sudah bangun, dan sibuk berkegiatan. Kebanyakan berkegiatan di sekitar Pelinggih, yakni tempat pemujaan yang ada di setiap rumah Bali, jalan raya maupun sawah.

Mereka mebanten, atau menghaturkan saji kepada Yang Mahakuasa. Persembahan dihanturkan sebagai simbol syukur sekaligus mohon perlindungan bagi kehidupan selanjutnya.

Kehidupan dilihat sebagai sebuah berkah. Manusia masih diperbolehkan oleh Yang Kuasa untuk menjalani satu hari lagi di bumi pertiwi ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kehidupan juga dilihat sebagai kesempatan untuk mempersembahkan diri dalam bentuk perbuatan-perbuatan baik. Jika ajal tiba, orang bisa lahir di keadaan yang lebih baik pada kehidupan berikutnya.

Menghaturkan persembahan bisa dilakukan kapan pun sepanjang hari. Ini tentunya terngantung pada kesibukan masing-masing orang.

Salah satu persembahan yang dihanturkan disebut juga sebagai canang. Canang sendiri berarti sesuatu yang bertujuan indah. Ca berarti indah, dan Nang berarti tujuan (Arina, 2019)

Dari segi bentuk, canang keseharian sangatlah mungil. Kita bisa melihatnya di berbagai sudut Pulau Bali, atau rumah orang Bali di seluruh penjuru dunia.

Bentuknya pun beragam, sesuai dengan tujuan dari konteksnya. Ada canang yang dihanturkan di Pura, tempat usaha, rumah, jalanan bahkan kendaraan.

Ia terbuat dari berbagai jenis bunga warna warni, dupa dan daun kelapa muda, atau janur.

Ia dihaturkan di atas ceper, atau tempat kecil. Detilnya amat tergantung pada upacara apa yang akan dilaksanakan, atau untuk tujuan apa canang tersebut dibuat.

Membuat canang tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keterampilan, waktu dan uang untuk membuatnya.

Walaupun rumit, ia dibuat dan dihaturkan dengan hati yang bebas dari beban. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran maupun rasa syukur pada Yang Kuasa.

Canang kemudian dipadu dengan dupa, bunga warna warni yang segar serta percikan air suci. Ia pun menjadi wangi, dan sedap dipandang mata.

Inilah alasan, mengapa Bali penuh dengan wangi dupa hampir di setiap sudutnya.

Di beberapa upacara besar, canang dipadukan dalam susunan yang amat rumit, sehingga ia tampak begitu indah dan agung.

Namun, di mayoritas kesempatan, sesaji dihaturkan dalam hening. Tidak ada ribut-ribut di dalamnya.

Tidak ada hari libur nasional. Tidak ada kehebohan yang mengundang keramaian, terutama di tengah pandemi Covid-19 ini.

Di saat-saat baik, persembahan dihaturkan. Rasa syukur menjadi dorongan utamanya.

Di masa krisis, seperti sekarang ini, persembahkan tetap dengan setia dan rajin dihaturkan. Yang dimohonkan adalah kekuatan untuk melampaui krisis, serta keselamatan untuk terus hidup di kemudian hari.

Dari segi hukum agama, masyarakat Bali wajib menghaturkan persembahan setiap harinya.

Di sisi yang lebih luas, Bali sendiri adalah persembahan untuk Indonesia, dan juga untuk dunia.

Pesona alamnya adalah persembahan bagi bagi jutaan seniman maupun pencari spiritual yang memperoleh inspirasi darinya, baik lokal maupun internasional.

Pesona budayanya menjadi persembahan bagi orang-orang yang mengalami kehampaan makna, atau hendak bangkit dari bencana.

Bali pun menyumbang besar untuk reputasi Indonesia di mata dunia. Sudah tak terhitung berapa kali ketika di Eropa, saya menyebut asal saya (Indonesia), dan orang langsung menyebut Bali.

Dalam beberapa kesempatan, beberapa orang tak percaya, jika Bali adalah bagian dari Indonesia. Saya kerap kali merasa serupa.

Keindahan alam dan budaya Bali tak layak untuk Indonesia yang dipimpin oleh rezim yang menindas, ditikam radikalisme agama serta korup sampai ke akarnya.

Namun, di dalam persembahan, sesungguhnya tidak ada yang dirugikan. Di dalam pengorbanan, semua pihak akan mendapatkan keuntungan.

Yang dipersembahkan memperoleh penghormatan. Yang mempersembahkan memperoleh kesempatan untuk berbuat baik.

Lagi pula, segala hal di alam semesta adalah satu dan sama. Seluruhnya adalah satu energi yang maha besar, dan abadi.

Bentuknya saja yang beragam. Ada bintang, planet, manusia, hewan dan sebagainya.

Maka, memberi berarti menerima, karena sesungguhnya, tak ada perbedaan antara si pemberi dan penerima. Pengorbanan pun, sesungguhnya, tak pernah ada.

Hal serupa terjadi, jika kita menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain, atau mahluk lain, berarti kita menyakiti diri sendiri.

Menolong mahluk lain berarti kita menolong diri sendiri. Dengan kesadaran ini, ditemani hening dingin di pagi hari, saya melanjutkan perjalanan. Gunung Batur sudah menanti.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi