KOMPAS.com – Sejumlah terdakwa kasus korupsi mendapatkan diskon pengurangan hukuman baru-baru ini.
Selain Jaksa Pinangki, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga memberikan pengurangan hukuman kepada Djoko Soegiarto Tjandra.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Pinangki dengan hukuman 10 tahun penjara. Namun, majelis hakim PT DKI Jakarta yang diketuai Muhamad Yusuf memangkas hukuman Pinangki menjadi 4 tahun penjara.
Diketahui, Pinangki terbukti melakukan tiga tindak pidana sekaligus, yaitu menerima suap, melakukan pencucian uang, dan melakukan pemufakatan jahat terkait pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
Baca juga: Deretan Tersangka dalam Kasus Pelarian Djoko Tjandra...
Sementara itu, Djoko S Tjandra mendapatkan potongan hukuman 1 tahun penjara, dari sebelumnya 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun.
Sebelumnya, KPK mencatat adanya 20 koruptor yang mendapatkan keringanan hukuman sepanjang 2019-2020.
Di antaranya yakni pengacara OC Kaligis, mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Andi Zulkarnain Mallarangeng, hingga petinggi Lippo Group Billy Sindoro.
Lantas, apa yang terjadi, mengapa para narapidana kasus korupsi justru mendapatkan potongan hukuman?
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya tren pengurangan masa hukuman para koruptor tersebut.
Faktor tersebut yakni:
- Pensiunnya Artidjo Alkostar dari Mahkamah Agung (MA)
- Kepemimpinan KPK saat ini, dan
- Revisi UU KPK
Baca juga: Berkaca dari Jaksa Pinangki, Mengapa Sejumlah Orang Suka Operasi Plastik?
Tren pengurangan hukuman
Dirinya menilai, timeline tren diskon potongan masa hukuman koruptor, terjadi 2-3 tahun terakhir setelah masa pensiun Artidjo.
“Jadi setelah Artidjo pensiun, banyak terpidana korupsi mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan ternyata Mahkamah Agung banyak memberikan potongan hukuman kepada terpidana korupsi,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (31/7/2021).
Ia mengatakan, tren pengurangan hukuman ini terjadi tak hanya di tingkat Mahkamah Agung. Namun juga terjadi di peradilan di bawahnya seperti pengadilan tinggi yang beberapa waktu sebelumnya memberikan keringanan hukuman untuk kasus Djoko Tjandra.
Baca juga: Diduga Terlibat Kasus Djoko Tjandra, Berapa Kekayaan Jaksa Pinangki?
Adapun terkait kasus Djoko Tjandra dan Pinangki, menurutnya alasan keringanan hukuman kepada keduanya adalah tidak beralasan.
Alasan pengurangan hukuman pada kasus Djoko Tjandra karena pihaknya telah menjalani hukuman terkait korupsi Bank Bali dan telah mengembalikan Rp 540 miliar.
Zaenur menilai, justru inilah yang seharusnya menjadi hal yang membuat hukuman menjadi berat dan bukan membuat hukuman semakin ringan.
“Karena terdakwa Djoko Tjandra melakukan pengulangan tindak pidana korupsi dengan kemudian mengulanginya menyuap aparat hukum kemudian bermufakat jahat untuk melepaskan diri dari pidana yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut,” kata dia.
Baca juga: Kilas Balik Kasus Jaksa Pinangki, dari Viral di Medsos hingga Keengganan JPU Ajukan Kasasi
Penyebab lain
Adapun pada kasus Pinangki, pihaknya menilai keringanan hukuman karena alasan Pinangki masih memiliki anak kecil menurutnya alasan tersebut tidak sebanding dengan alasan yang memberatkannya, di mana status Pinangki adalah seorang aparat penegak hukum namun justru melakukan perbuatan melanggar hukum.
Akibat dari perbuatan Pinangki, menurutnya telah merusak sistem hukum, kepercayaan masyarakat, dan merusak kewibawaan lembaga penegak hukum.
Bahkan seandainya Pinangki tak dicegah sebelumnya, maka ia berisiko meloloskan buron negara dan meloloskan ratusan miliar rupiah.
Baca juga: Membandingkan Tuntutan Hukum Kasus Jaksa Pinangki dengan Kasus Pencurian
Sementara itu, faktor kedua yang menyebabkan adanya tren diskon hukuman terpidana korupsi adalah tak bisa diandalkannya KPK untuk saat ini di bawah kepemimpinan Firly Bahuri yang ditunjukkan tak adanya kasus strategis yang ditangani KPK, dan berkurangnya OTT.
“Dan juga dibarengi adanya revisi UU KPK yang telah membuat KPK jadi tak efektif dalam memberantas korupsi,” ungkapnya.
Pihaknya menyebut, seharusnya KPK dapat men-triger lembaga-lembaga hukum di bawahnya seperti aparat kepolisian dan kejaksaan agar lembaga-lembaga penegak hukum dapat melakukan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dengan terlebih dahulu melakukan pembenahan internal dan pembersihan internal.
“Padahal tujuan KPK untuk men-triger tapi ini triger-nya tak ada lagi sehingga kehilangan arah pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga saya melihat melemahnya pemberantasan korupsi itu tak hanya sekedar memengaruhi buruknya kinerja KPK tapi juga berpengaruh pada lembaga-lembaga penegak hukum lain,” ungkapnya.
Baca juga: Saat KPK dan Kejagung Berebut Menangani Kasus Jaksa Pinangki...
Menghilangkan efek jera
Adapun terkait dengan adanya tren pengurangan hukuman pada kasus pidana korupsi, dirinya mengkhawatirkan bisa menghilangkan efek jera bagi pelaku.
“Jika efek jera hilang dan KPK sudah tak memiliki kewibaan seperti dulu lagi maka yang dikawatirkan, para penyelenggara negara atau pihak lain akan semakin berani melakukan korupsi karena kemungkinan terungkap kecil,” kata dia.
Selain itu, seandainya terungkap juga risiko pidana rendah serta pelaku korupsi masih mungkin memperoleh banyak keringanan.
Baca juga: Melihat Kembali 11 Tahun Jejak Pelarian Djoko Tjandra...
Menurutnya risiko hilangnya efek jera ini yang paling berbahaya.
Lebih lanjut, dirinya menambahkan jika sampai pemberantasan korupsi tak memiliki arah akibat melemahnya KPK, maka akan berakibat pada tak adanya lembaga negara yang ditakuti ataupun lembaga negara yang bisa men-triger agar lembaga hukum lain memperbaiki diri.
Sementara itu, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting menyatakan, KY bakal melakukan kajian atas putusan PT DKI Jakarta yang mengurangi hukuman Djoko Tjandra.
Baca juga: Perjalanan Kasus Jaksa Pinangki, dari Foto Bersama Djoko Tjandra hingga Menjadi Tersangka
Miko mengatakan, anotasi terhadap putusan ini dapat diperkuat melalui kajian berbagai elemen masyarakat, baik akademisi, peneliti, maupun organisasi masyarakat sipil.
"KY sesuai kewenangannya dalam melakukan anotasi terhadap putusan akan melakukan kajian atas putusan pengadilan," ujarnya sebagaimana diberitakan Kompas.com (29/7/2021).
Ia mengatakan, KY menaruh perhatian besar terhadap putusan banding Djoko.
Miko menyatakan pentingnya sensitivitas keadilan bagi masyarakat dan kepercayaan masyarakat terhadap kehormatan hakim dan integritas pengadilan.
Baca juga: Penangkapan Adelin Lis dan Daftar Panjang Buronan Kasus Korupsi yang Kabur ke Singapura