Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 21 Nov 2018

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Bagaimana jika Janji Sumbangan Rp 2 Triliun Tidak Direalisasikan?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Aji YK Putra
Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Pol Supriadi saat memberikan keterangan pers terkait perkembangan kasus Heriyanti, Selasa (3/8/2021).
Editor: Wisnu Nugroho

Abraham Lincoln van Parepare, sehari-hari disapa Aam, adalah aktivis segala cuaca.

Aam menelepon kerabatnya dengan nada kesal, Virginia Rose van Macassar (Gina), juga aktivis sejuta agenda.

Aam kesal karena sudah sepekan tidak ada lagi obat sakit kepala, pusing, atau pening. Segala merek dan jenis obat untuk itu sontak hilang di pasar.

Pasti ada yang menimbun ini, kata Aam penuh tudingan.

"Sabar Aam, obat sakit kepala memang sudah tidak ada di pasar sekarang. Bukan karena ada yang menimbun, tapi kebutuhan mendadak meningkat," kata Gina mencoba menenangkan Aam.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasalnya, sejak kasus sumbangan Rp 2 triliun menyeruak ke publik selama sepekan terakhir ini, banyak orang pusing, sakit kepala, dan pening memikirkannya. Kapan ya pencairannya?

Bagaimana mungkin, di tengah deraan Covid-19 yang mengimpit kehidupan rakyat, masih ada orang yang tega membodohi rakyat.

Tidak etis dan tidak bermoral, kata Gina. Nah, ini yang membuat orang ramai-ramai membeli obat sakit kepala, lanjut Gina lagi kepada Aam.

Kisah tentang sumbangan Rp 2 triliun yang menyeruak di Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu kini pelan-pelan kian terkuak.

Semua itu bak sandiwara, penuh kesimpangsiuran, ketidakbenaran, dan ada aroma penipuan.

Ironisnya, yang ditipu berkali-kali karena janji pencairan tidak direalisasikan adalah rakyat banyak. Bukan orang per orang.

Lebih ironis lagi, sebagaimana yang lalu-lalu, sejumlah pejabat ikut menari, mengikuti irama gendang para pemberi janji itu. Kian lengkap babak sandiwara pembodohan terhadap rakyat.

Kesinambungan masa silam

Saya tiba-tiba teringat peristiwa pada tahun 2018, tatkala Sulawesi Tengah diterjang oleh bencana likuifaksi.

Di tahun yang sama, Nusa Tenggara Barat porak poranda karena bencana alam. Rakyat menjadi korban bencana alam.

Seorang konglomerat besar tiba-tiba datang berkunjung, menunjukkan empati. Ia disambut hangat oleh para pejabat negara di daerah.

Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media ketika itu, ia langsung menjanjikan akan mengoordinasi para pebisnis besar untuk mengumpulkan uang sebanyak Rp 2 triliun untuk kedua provinsi tersebut.

Konglomerat itu sendiri akan mengeluarkan Rp 100 miliar dari kantongnya. Hebat. Tepuk tangan. Rasa kagum membuncah.

Setahun sudah janji itu berlalu. Realisasi tak kunjung datang. Rakyat di kedua provinsi tersebut mendesak dan menggugat pemerintah daerah.

Tak mau dituding dan direcoki oleh rakyat yang telanjur menerima janji, Gubernur Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat, pada Juli dan Agustus 2019, menyurati pemberi janji, menagih segala yang dijanjikan di depan publik.

Kedua gubernur tersebut secara eksplisit menagih 1.500 rumah hunian untuk masing-masing provinsi dan pembangunan pasar basah.

Mendapat tagihan, pemberi janji mengatakan dalam surat bahwa ia tidak pernah menjanjikan pembangunan 1.500 unit rumah di Palu.

Ia hanya mengirimkan Rp 5 miliar untuk membangun kembali 100 rumah, yang nilainya Rp 50 juta per rumah.

Jangan lupa, selain Rp 5 miliar tersebut, pemberi janji tadi datang dengan pesawat pribadi membawa makanan cepat saji untuk dibagikan ke rakyat.

Saya salut, karena inisiatif membagi-bagi makanan ini. Sangat empatik.

Yang jadi soal, janji mengeluarkan Rp 100 miliar tak kunjung datang. Bagaimana janji Rp 2 triliun lantas seperti terbang.

Singkat cerita, yang Rp 2 triliun itu tidak pernah ada. Sama dengan nihilnya janji Rp 2 triliun Akidi Tio ke masyarakat di Sumatera Selatan.

Pemberi janji boleh-boleh saja menyangkal janji-janji itu, apalagi penyangkalan tersebut dilakukan dengan surat. Bagaimana dengan ucapannya yang dimuat di media massa?

Apakah ia sebaiknya juga menyangkal melalui media massa. Biar tidak terbebani. Biar semuanya jadi jelas. Tidak dengan bisik-berbisik. Tidak dengan gunjingan.

Pemberi janji sebaiknya menjelaskan ke publik melalui media mengapa ia tak bisa menghadirkan Rp 2 triliun itu. Misalnya, sulit mengumpulkan para konglomerat. Ataukah ada alasan lain.

Pelik memang hidup di era digital sekarang. Segala ucapan dan gerak-gerik badan tersimpan dengan jejak jelas. Pelik menganulirnya.

Lagi pula, penyangkalan pemberi janji tersebut muncul setahun kemudian, setelah ia ditagih.

Apa konsekuensinya?

Lantas, apa konsekuensi yuridis dari janji-janji ke publik tersebut?

Tentu ada yang mengatakan, janji bukan utang piutang, yang bila tidak dipenuhi, bisa dianggap wanprestasi (ingkar). Malah, mungkin ada yang berkata, syukurlah kalian sempat saya beri janji.

Saya tidak sepaham dengan anggapan di atas.

Hukum perdata kita jelas mengatakan, perjanjian itu tidak harus tertulis.

Perjanjian dapat berupa perjanjian cuma-cuma, yakni hanya pihak yang diberilah yang beruntung, dan perjanjian atas beban, yang berarti, pemberi janji dan yang diberi janji, secara timbal balik mendapatkan keuntungan.

Lalu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat semua pihak (pemberi janji dan yang diberi janji), sama dengan undang-undang.

Masih kata undang-undang lagi, sahnya sebuah perjanjian, antara lain, adalah kesepakatan, semua pihak cakap untuk berbuat, perjanjian tersebut mengenai suatu hal.

Semua persyaratan ini terpenuhi karena, baik pemberi janji maupun rakyat, dua-duanya sepakat, cakap, dan mereka sepakat tentang adanya uang.

Karena itu semua, manakala janji tidak dipenuhi, pihak yang diberi janji boleh menuntut adanya ganti rugi plus bunga.

Dari perspektif pidana, juga sangat jelas. Setiap orang yang menyebarkan berita bohong dan menimbulkan kehebohan itu bisa dipidana. 

Berjanji tanpa mewujudkannya bisa dianggap menyebarkan berita bohong. Bila janji tidak dipenuhi, perlu memberi penjelasan kepada pihak yang diberi janji.

Persoalan yuridis dalam hal berjanji adalah satu hal, persoalan etis dan moral dalam hal berjanji ke rakyat dan tidak dipenuhi adalah persoalan lain.

Apalagi, bila rakyat sedang ditindas oleh masalah. Menjanjikan mereka tanpa ada ikhtiar memenuhinya sama dengan mencederai dan mengolok-olok rakyat.

Hukuman pidana boleh dihitung dengan jumlah tahun yang dijalani. Hukuman perdata dapat ditaksir dengan jumlah uang yang harus dilunasi.

Namun, hukuman sosial tidak ada tepiannya, baik segi ukuran waktu maupun ukuran nominal.

Malah, dalam banyak hal, anak turunan pun yang tidak ada kaitannya dengan kesalahan orangtua ikut menanggung kesalahan orangtua mereka.

Hukuman sosial bisa saja dalam bentuk boikot sosial, tidak mau menggunakan apa pun yang berikaitan dengan orang yang dibenci masyarakat.

Bisa juga dalam bentuk membelakangi dan menyisihkan orang tersebut, dan sebagainya.

Lantaran Covid-19, saya banyak tinggal di rumah, menonton berbagai film silat Mandarin.

Dari film tersebut, saya menemukan filsafat China: “Satu kata yang keluar dari mulut, sama nilainya dengan 1.000 ons emas. Bila kata sudah terucap, alat dengan kecepatan apa pun, tak ada yang bisa mengejarnya.”

Lalu, ajaran Kong Hu Chu menegaskan, “Mengukur seseorang, lihatlah dari apa yang dilakukannya, budi yang ditanamkannya, dan kata-kata yang diucapkannya.”

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi