Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Long-Haul Covid-19, Efek Jangka Panjang yang Dirasakan oleh Penyintas Corona

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/AGIE PERMADI
Penyintas Covid-19 mendonorkan plasma konvaselen di PMI Bandung, Jalan Aceh, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (5/7/2021). Permintaan plasma konvaselen di Kota Bandung cukup tinggi bahkan sempat mencapai angka 581 permintaan, akan tetapi jumlah permintaan itu tak sebanding dengan pendonornya.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Long-haul Covid-19 adalah istilah yang merujuk pada gejala yang masih dirasakan oleh penyintas penyakit itu, bahkan beberapa bulan setelah dinyatakan pulih.

Melansir Healthline, bagi sebagian orang, infeksi virus corona, seberapa pun parahnya adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali dan setelah itu selesai.

Para pasien umumnya dinyatakan pulih sepenuhnya dari gejala Covid-19 sekitar 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi virus corona.

Akan tetapi, bagi sebagian penyintas Covid-19, gejala awal penyakit itu masih mereka derita, bahkan beberapa bulan setelah dinyatakan pulih.

Pengidap long-haul Covid-19 seringkali merasakan gejala seperti kelelahan, nyeri, sesak napas, sulit berkonsentrasi, sakit kepala, dan kehilangan kemampuan perasa serta penciuman.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Serang Penyintas Covid-19, Simak 5 Gejala Infeksi Jamur Hitam

Long-haul adalah ancaman nyata

Penelitian menunjukkan, 50 persen - 80 persen penyintas Covid-19 mengalami setidaknya beberapa efek samping yang bertahan 3 bulan setelah terinfeksi virus corona.

Long-haul umum terjadi pada orang dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan gejala Covid-19 yang parah.

Wawancara yang dilakukan CDC Amerika Serikat pada pasien Covid-19 menunjukkan:

CDC Amerika Serikat menyebutkan, kelelahan, batuk, dan sakit kepala adalah masalah yang paling sering dilaporkan.

Sementara itu, penelitian di Inggris menemukan bahwa pada penyintas Covid-19, baik yang dirawat di rumah sakit atau tidak, sekitar 10 persen mengalami masalah kesehatan jangka panjang.

Terbaru, sebuah penelitaian yang berfokus pada orang-orang yang rawat jalan di California menemukan bahwa 27 persen subjek penelitian melaporkan gejala masih terasa setelah 60 hari.

Dari mereka yang memiliki gejala jangka panjang, hampir sepertiga tidak menunjukkan gejala pada saat mereka dites positif terkena virus corona.

Baca juga: Mengapa Penyintas Covid-19 Harus Divaksin? Ini Penjelasan Dokter

Tersiksa karena long-haul

Salah seorang penyintas yang mengalami long-haul Covid-19 adalah Paul Garner, seorang Profesor di Liverpool School of Tropical Medicine.

Melansir WebMD, 30 Juni 2021, Garner mengaku tidak pernah menyangka bahwa gejala Covid-19 yang ia rasakan akan bertahan dalam waktu lama.

Awalnya, sebagai seorang dokter kesehatan masyarakat spesialis penyakit menular, Garner menduga bahwa ia hanya akan sakit selama beberapa minggu, dan kemudian pulih.

Di luar dugaan, 8 minggu setelah terinfeksi, Garner masih merasakan gejala Covid-19, seperti sakit kepala, nyeri otot, detak jantung meningkat, dan diare.

"Rasanya seperti di neraka," kata Garner.

Gejala berkepanjangan itu juga memengaruhi psikisnya. Ia mengalami pergolakan batin luar biasa selama 6 bulan masa sakitnya.

Terkadang, ia merasa mulai pulih, namun mendadak ia merasa lelah, dan semangatnya anjlok lagi. Garner menemukan bahwa penyakit itu sangat sulit diterima.

Perasaan lelah dan tak berdaya itu kian menjadi ketika ia mengalami kesulitan berbicara dan tidak bisa membaca.

Pada bulan ke-7, Garner mengaku mulai bertanya-tanya apakah ia bisa pulih sepenuhnya.

"Aku kira virus itu telah menyebabkan perubahan biomedis dalam tubuhku dan entah bagaimana melumpuhkan metabolismeku," kata Garner.

"Aku menjadi khawatir dan takut akan masa depan," lanjut dia.

Baca juga: Studi Baru soal Penyintas Covid-19 dan Potensi Kehilangan Jaringan Otak

Butuh waktu lama untuk pulih

Situasi yang seolah tanpa harapan itu akhirnya berubah ketika Garner mendapatkan bantuan dan saran dari rekan kerjanya, yang telah pulih dari sindrom kelelahan kronis.

"Aku belajar tentang bagaimana respons stres otak dan tubuh terhadap infeksi kadang-kadang bisa tidak teratur, dan gejala yang kualami sebenarnya adalah sinyal kelelahan palsu (false fatigue alarms)" kata Garner

"Penjelasan yang masuk akal ini, ditambah sesi konseling untuk mengubah keyakinanku tentang penyakit yang kuderita, sangat membantu," ujar dia.

Setelah menerima saran itu, Garner menyadari mungkin tidak ada kerusakan fisik pada tubuhnya, jadi dia harus berhenti memantau gejalanya secara terus-menerus.

Dia mulai mencari pengalihan ketika merasa tidak enak badan, dan memelihara harapan akan pemulihannya serta mendapatkan hidupnya kembali.

Garner mengatakan, Covid-19 seolah membawa hidupnya ke tepi jurang yang tidak diketahui dasarnya. Akan tetapi dia berhasil menemukan kehidupannya lagi.

"Ada kehidupan pasca-Covid-19. Orang menemukan jalannya sendiri, tetapi mereka menjadi lebih baik. Ada harapan," kata Garner.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi