Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TV Digital dan Tantangan Besar Menggusur "Pemain" Lama

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi tv analog dan tv digital
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah melakukan proses migrasi dari TV analog ke TV digital secara bertahap.

Paling lambat, penghentian total siaran TV analog dilakukan pada 2 November 2022.

Bagi pengguna TV analog atau TV dengan antena rumah biasa/UHF, harus memasang DVBT2 (STB) untuk bisa menikmati siaran digital.

Sementara, pengguna TV digital (televisi yang sudah memiliki penerimaan siaran digital di perangkatnya) dapat langsung menikmati siaran digital tanpa STB.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni, M.si, mengatakan, TV digital menawarkan jauh lebih banyak frekuensi dibandingkan TV analog.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Jadi memang ini satu sisi ada kemajuan teknologi yang awalnya kalau di TV analog kita jadi sulit banget karena frekuensinya sangat terbatas, kemudian ada teknologi digital yang bisa mengubah frekuensi bisa jadi semau kita, mau 100 atau 1.000 bisa sebenarnya," kata Hermin kepada Kompas.com, Senin (9/8/2021).

Dengan kondisi itu, Hermin menyebutkan, tak ada lagi anggapan bahwa orang yang bisnis di dunia pertelevisian harus dekat ke penguasa untuk mendapat frekuensi.

Salah satu keunggulan dari TV digital adalah kualitas gambar yang lebih jernih karena tidak memiliki masalah seperti, sinyal terhalang gunung atau blank spot.

Selain itu, negara-negara lain juga sudah lama meninggalkan penggunaan TV analog dan menggantinya dengan TV digital.

Baca juga: Apa yang Terjadi jika Tak Pasang STB Saat Siaran TV Analog Dihentikan? Ini Penjelasan Kominfo

Menggusur "pemain" lama

Hermin mengatakan, wacana migrasi TV analog ke TV digital sebenarnya sudah ada sejak sekitar 2010.

"Karena dunia semua sudah bertransisi ke digital, sejak tahun itu kita dalam tekanan, karena kontabilitas dengan teknologi di luar itu enggak seiring" jelas Hermin.

"Indonesia itu kayak main sendiri. Secara ekonomi politik banyak yang tidak rela kita pindah digital," lanjut dia.

Saat presentasi dan komparasi dengan negara lain terkait migrasi ini pada 2013, Hermin menyebutkan. Indonesia jauh lebih siap dibandingkan negara lainnya, termasuk Thailand.

Namun, para pemain yang tidak bisa ditaklukkan membuat rencana migrasi ini terhambat dan tak lagi digaungkan.

Hermin menyebutkan, migrasi TV analog ke TV digital ini seharusnya tak hanya dimaknai pergantian teknologi.

Lebih dari itu, migrasi ini justru bisa menjadi momen untuk mengatur dunia kegelapan penyiaran di Indonesia saat ini.

Manfaatkan frekuensi yang melimpah

Frekuensi-frekuensi yang melimpah pada TV digital bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik, misalnya untuk early warning saat terjadi bencana.

Selain itu, melimpahnya frekuensi dalam TV digital juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anak dan orang tua yang tidak banyak dilayani di televisi swasta saat ini.

"Tapi itu by vision. Kalau visinya tidak ada, frekuensi-frekuensi emas itu juga sulit," ujar dia.

Hermin menilai, pemerintah saat ini tidak memiliki langkah komprehensif dalam melaksanakan kebijakan digitalisasi.

Selain komunikasi publik yang dinilainya kurang, pemerintah juga kurang bisa memanfaatkan momen-momen tertentu untuk killer program.

"Misalnya killer program itu kan bisa yang hanya ada di TV digital. Kemarin kita ribut masalah Olimpiade, itu kan bagus untuk dibuat killer program," kata Hermin.

"Sebenarnya transisi ini kalau bisa dicuri kesempatannya itu suatu kemajuan luar biasa. Apalagi dunia penyiaran Indonesia dari dulu ceritanya kan begitu aja, ruwet," ujar dia.

Baca juga: Kominfo Tunda Penghentian Siaran TV Analog 17 Agustus 2021 

Kebutuhan

Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjajaran (UNPAD) Dadang Rahmat Hidayat mengatakan, migrasi TV analog ke TV digital merupakan sebuah kebutuhan.

Hal ini tak lepas dari perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi di berbagai aspek.

Dengan penggunaan kanal digital, Dadang menyebutkan, pemerintah bisa menghemat kanal frekuensi yang begitu terbatas.

"Yang tadinya kanal penyiaran itu menggunakan pita yang sangat lebar, menjadi sangat efisien. Efisien ini bisa digunakan untuk kegiatan lainnya, misalnya telekomunikasi, keamanan, transportasi, dan lain sebagainya," kata Dadang.

Ia menjelaskan, kualitas tayangan yang baik dan beragam akan membuat masyarakat lebih memilih TV digital dengan sendirinya, tanpa ada paksaan.

Hal ini tentu saja harus diimbangi dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.

Selain itu, Dadang berpendapat, digitalisasi ini membuka peluang bagi industri penyiaran baru karena melimpahnya frekuensi yang ditawarkan oleh TV digital.

Standar internasional

Sementara itu, pakar komunikasi digital Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menilai, migrasi ini merupakan upaya untuk menyesuaikan dengan sistem siaran internasional.

"Terhadap upaya migrasi ke siaran digital ini, dapat dianalogikan sebagai penggunaan satu bahasa yang sama dengan bahasa-bahasa Internasional," kata Firman.

"Dapat dibayangkan jika Indonesia menjadi satu-satunya negara dunia yang masih menggunakan sistem analog," lanjut fia.

Dengan kondisi tersebut, maka infrastruktur, teknik operasional, materi siaran hingga sistem perawatan operasional siaran akan berbeda dengan sistem dunia.

Hal ini tentu akan menyulitkan Indonesia untuk berjejaring dengan sistem digital dan bangsa lain.

"Setidaknya 85 persen negara di dunia telah melakukan analog switch off (ASO). Menurut catatan, sejak 2003 Jerman telah melakukan siaran digital, Singapore 2004, Inggris 2005, Perancis 2010, bahkan Malaysia sejak 1997," ujar Firman.

Oleh karena itu, pemerintah memiliki tenggat waktu hingga November 2022 untuk melakukan perbaikan sistem digital dan meminimalisir kelamehan-kelemahan yang ada.

Infografik: Kelebihan TV Digital dibanding TV Analog

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi