KOMPAS.com - Sertifikat vaksin Covid-19 menjadi salah satu syarat memasuki layanan publik dan bagi pelaku perjalanan.
Sejumlah fasilitas publik di beberapa daerah sudah menerapkan untuk menunjukkan sertifikat vaksin saat masuk hotel, mal, restoran, salon dan lain sebagainya.
Pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil, motor, bus, kereta api, kapal dan pesawat juga diminta menunjukkan sertifikat vaksin.
"Jadi nanti kalian pergi ke restoran enggak pakai ini (sertifikat), tolak. Belanja enggak pakai ini, tolak. Karena ini demi keselamatan kita semua," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, usai memantau pelaksanaan vaksinasi di Gedung Setda Sleman mengutip Kompas.com, Jumat (6/8/2021).
Komentar epidemiolog
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, masalah sertifikat vaksin sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah wabah di dunia.
Baca juga: Cara Memperbaiki Data yang Salah di Sertifikat Vaksin Covid-19
Dicky mengatakan, WHO memiliki apa yang disebut sebagai yellow card, sudah digunakan sejak 1969 sebagai persyaratan bagi para pelancong yang datang ke negara tertentu.
Yellow card ini untuk menunjukkan apakah seseorang sudah divaksinasi yellow fever atau demam kuning, infeksi virus yang disebarkan nyamuk spesies tertentu.
Sebagai contoh lain, untuk masuk ke Pakistan dan Afganistan juga diharuskan sudah vaksin polio.
"Jadi paspor vaksin atau sertifikat vaksin bukan hal baru. Namun saya bisa memahami bahwa sikap WHO belum merekomendasikan (sertifikat vaksin tersebut)," kata Dicky dihubungi Kompas.com, Senin (9/8/2021).
Menurutnya, ada beberapa alasan kenapa sertifikat vaksin untuk berkegiatan ini tidak direkomendasikan, antara lain:
1. Vaksin belum punya bukti kuat mencegah infeksi
Hal yang harus dipahami, kata Dicky, hingga saat ini kita belum memiliki bukti kuat bahwa vaksin yang ada bisa mencegah penularan Covid-19.
"Orang yang sudah divaksin itu bukan berarti enggak bisa tertular virus," kata Dicky memperingatkan.
2. Stok, suplai, akses terhadap vaksin masih terbatas
Masalah kedua adalah terkait stok, suplai, dan akses terhadap vaksin yang belum merata.
"Dan ini bisa menjadi potensi diskriminasi, ketidakadilan antar wilayah termasuk penduduk," ungkapnya.
Seperti diketahui, akses vaksin Indonesia saat ini adalah dari negara-negara lain dengan jumlah vaksin yang terbatas.
Baca juga: Sertifikat Vaksin Covid-19 Jadi Syarat Beraktivitas, Ini Kata WHO dan Epidemiolog
Dengan jumlah vaksin yang masih sedikit, tak heran jika di banyak daerah banyak orang mengaku sulit mendapat vaksin atau ketika sudah mendaftar kuotanya dengan cepat terisi.
"Kecuali kalau cakupan minimal vaksin sudah 50 persen, ini menurut saya bisa menggunakan sertifikat vaksin," imbuh dia.
Menurut Dicky, penerapan sertifikat vaksin untuk berkegiatan harus dilakukan dengan bijak dan bertahap.
"Jika suatu provinsi mau memberlakukan sertifikat vaksin, semua kota/kabupaten hingga kecamatan cakupan vaksinnya sudah 50 persen itu bisa saja dilakukan," sambungnya.
"Tapi kalau belum, nantinya jadi tidak adil."
Dia mengingatkan kembali, hal ini tidak direkomendasikan karena masih banyak orang yang belum divaksin dengan berbagai alasan.
Bukan hanya karena orang tersebut tidak mau divaksin, tapi bisa juga karena persediaan vaksin yang sangat terbatas, sulit mendapat akses ke vaksin, atau karena kondisi tubuh.
"Ini yang harus dipertimbangkan," pungkasnya.
(Sumber: Kompas.com/Sains Penulis Gloria Setyvani Putri | Editor Gloria Setyvani Putri)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.