Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Mei 2016

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Menjadi Manusia Indonesia yang Merdeka

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/Wicak Hidayat
Ilustrasi
Editor: Heru Margianto

DALAM banyak catatan pelancong mancanegara, yang hampir semua merupakan laporan pandangan mata, kita mendapat bukti sahih betapa kebudayaan—yang kemudian tumbuh dewasa menjadi peradaban bahari bangsa Indonesia masa lalu, bukan hanya berkembang secara lokal-internal, melainkan juga meluas dengan sebaran melebihi setengah dunia.

Melalui persebaran penduduk yang oleh Anthony Reid (1990) disebut sebagai migrasi katak, Peter Belwood (2000) menguraikan bagaimana penduduk di zamrud Khatulistiwa dengan perahu-perahu sederhana, sejak 4.000 Before Century Era (BCE) telah sampai dan mendiami gugusan pulau sedari Afrika Timur, hingga China Utara, Polinesia, Melanesia, Pulau Paskah,Tampon Australia, dan Selandia Baru.

Sejak era Majapahit, perahu cadik sederhana itu berubah menjadi kapal jung yang panjangnya bisa mencapai 400-an m—jauh melampaui kapal induk Amerika pada era modern.

Rekaman sejarah itu bisa kita temukan dalam peninggalan bangsa China, Spanyol dan Portugis.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jung biasanya dipakai berlayar untuk mengawal kapal barang (padewakang) yang mengangkut rempah, permata, dan senjata; kapal angkut manusia (palai), kapal penjelajah (pinisi); hingga kapal perang (kora-kora).

Rempah, yang di Eropa sana dijuluki emas hitam, tentu membuat air liur kerakusan para borjuis Barat, tumpah. Daripada harus membayar mahal harga, mereka lebih memilih mendatangi sumbernya langsung ke Nusantara.

Titik persinggungan itulah yang kelak menghapus era merkantilisme menjadi imperialisme-kolonialisme. Penjajahan manusia atas manusia semata demi meraup keuntungan ekonomi sebesar mungkin.

Alhasil, negeri bertabur permata ini porak-poranda dari segala sendi. Misal, sistem ratu yang berkedudukan di Karatuan (Keraton) dan berada di bawah arahan para Rama dan Rasi, perlahan berubah menjadi istana. Sistem ajaran ini pun bergeser ke arah konsentris. Berjarak dengan rakyat, tapi membutuhkan mereka sebagai soko gurunya.

Masyarakat bahari ini kelak tergusur hingga ke pedalaman—bahkan jauh ke atas pegunungan. Raja Demak Sultan Trenggono menutup pelabuhan di sepanjang pantai Jawa. Kapal jung dipensiunkan. Dominasi maritim berpindah tangan. Nenek moyang kita yang pelaut ulung itu, telah berubah profesi jadi petani.

Kenapa penting menggusur masyarakat bahari hingga ke puncak gunung?

Anda mungkin masih ingat dengan semboyan kuno yang kini dipakai angkatan laut Indonesia, Jalesveva Jayamahe: kejayaan kita ada di laut.

Wajar bila leluhur kita menggaungkan spirit macam itu. Betapa tidak, Nusantara yang sekarang menjadi Indonesia, adalah satu satunya negeri petirtaan yang dua pertiga wilayahnya dikelilingi lautan.

Corak masyarakat bahari yang majemuk-dinamis-kosmopolit pun, secara berangsur tertiup angin Barat, menjadi homogen, rigid, dan tak ubahnya katak dalam tempurung.

Kritik pedas terkait hal di atas sudah dilayangkan Pramoedya dalam epos Arus Balik. Sayang, tak banyak yang mau mengkaji novel bermutu tinggi itu dengan cermat.

Sejatinya, penjajahan berabad yang terjadi di sini, bukan bersifat penindasan fisik semata, tapi menyerang ranah pemikiran dan keyakinan bangsa agung ini.

Barangkali Anda masih ingat tentang gold, glory, gospel?

Ya, gold berarti keinginan memeroleh kekayaan di wilayah-wilayah baru yang ditemukan. Eksploitasi kekayaan dari wilayah baru itu kemudian digunakan untuk kepentingan kerajaan/negara imperialis seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Swiss, dan lainnya.

Glory diartikan sebagai kejayaan atau lebih rinci lagi memeroleh wilayah jajahan untuk dikuasai melalui penjelajahan samudera.

Maka, negara-negara imperialis Barat pernah memiliki banyak wilayah koloni di pelbagai belahan dunia.

Lalu gospel  mewajibkan “tugas suci” pengabaran Injil perlu dilakukan di mana pun dan kapan pun.

Budaya bahari makin tergusur. Jejak mereka hanya bisa ditemukan dalam wiracarita, dongeng, panji, babad, serat. Bangsa bahari yang gagah berani dan disegani, lambat laun menjadi pecundang di hadapan bangsa lain.

Kini, Amerika lah yang kemudian tampil sebagai “penguasa dunia” dengan menempatkan lima belas pangkalan militer, mengelilingi Indonesia.

Tak hanya itu. Singapura yang negara kecil minim sumber daya alam saja, malah menguasai jalur perdagangan Dunia Timur menuju Barat, dan sebaliknya. China, malah sedang bersiap melanjutkan tongkas estafet penguasa tunggal tersebut.

Agama ketujuh

Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu, adalah agama-agama yang telah mendapatkan keistimewaan sedemikian rupa di negeri ini.

Kendati Mahkamah Konstitusi sudah mengakui keberadaan agama lain yang padahal asli Indonesia, dengan sebutan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sejak 7 November 2017, dan memperbolehkan kepercayaan itu dicantumkan di KTP para pemeluknya, namun MK masih menamai mereka sebagai penghayat kepercayaan asli yang terpinggirkan.

Bukankah dengan begitu, sama dengan menafikan sila pertama Pancasila? Tidakkah beragama juga melibatkan kepercayaan sebagai basis keimanan?

Berdasar data yang dicatat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, saat ini ada 187 agama lokal yang tersisa, dengan jumlah penganut mencapai 138.791 orang.

Beberapa di antaranya mungkin sudah Anda kenal dan ketahui, seperti: Kejawen (Jawa), Sunda Wiwitan (Banten), Buhun, Budi Daya (Jawa Barat), Ngelmu Sejati (Cirebon), Sumarah (Wirobrajan-Yogyakarta), Sapta Darma (Kediri-Jatim), Parmalim (Batak-Sumut), Marapu (Sumba-NTT), Kaharingan (Palangka Raya-Kalteng), Aluk Todolo (Tana Toraja-Sulsel), Towani Tolotang (Sidrap-Sulsel), Malesung (Minahasa-Sulut), Aluk Mappurondo (Mamasa-Sulbar), Nuaulu (Banda-Maluku).

Kita mengenal Amang Kasuruan (Tuhan Pencipta Kehidupan) dalam khazanah masyarakat Minahasa dan Ompu Mulajadi Na Bolon (Mahapencipta) Na so Marmula, Na so Marujung (Hyang Tidak Berawal dan Tiada Berakhir) dalam konsep Parmalim. 

Ada juga keyakinan Tan keno Kiniro tan keno Kinoyo ngopo dalam Kejawen. Tak bisa disamakan dengan segala sesuatu dan tidak sama dengan yang baru.

Semua konsep dalam agama asli Nusantara, sejajar dengan yang diajarkan oleh enam agama resmi yang berhasil menduduki pentas kekuasaan di Indonesia. Lantas pertanyaan kita, kenapa itu bisa terjadi?

Dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2005), Denys Lombard mencatat, kebanyakan aliran kepercayaan dipimpin seorang guru kharismatik dan dinaungi oleh kenyamanan suatu komunitas—karena sehari-hari mereka kerap mengalami tekanan dari tatanan sosial yang ketat.

Gejala sosial dari kebatinan agaknya berakar panjang, namun baru mulai dipantau dengan baik sejak akhir abad ke-20. Dalam keseharian, mereka cenderung dilabeli sebagai kelompok ilmu klenik dan diawasi oleh aparat pemangku negara maupun perwakilan agama yang diakui pemerintah.

Imamah atau udeng-udeng, adalah bagian dari pakaian pria dewasa dan wanita di Nusantara, yang sudah membudaya selama ribuan tahun sebelum era kolonial.

Busana asli ini berangsur menghilang pada abad ke-20, dengan diwajibkannya pakaian Eropa di sekolah-sekolah dari tingkatan sekolah rakyat hingga universitas.

Pegawai kantor pemerintah Hindia Belanda juga diwajibkan memakai baju khas Eropa (kemeja, jas, celana). Awalnya hanya di perkotaan yang dikuasai Belanda, kemudian merambah hingga ke desa-desa.

Agama yang dianggit dari istilah Latin (a gamos [tidak kacau]) itu, sebenarnya punya padanan lokal yang lebih sangkil, yaitu ageman. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti, pakaian.

Anda dikenal melalui apa yang Anda pakai. Meskipun secara kasat, itu masih bisa menipu. Tapi jika dilakukan dengan segenap penghayatan, orang lain akan menaruh rasa hormat pada apa yang Anda kenakan dan yakini.

Warna-warni dan rasa kehidupan ini serbaneka sifatnya. Anda bisa percaya pada apa pun sebagai keyakinan, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi keindahan tetaplah indah dipandang mata.

Tak semua orang akan menggali apa yang Anda gali, tapi Anda berhak menggali segala makna dalam kehidupan—termasuk kehadiran kita di semesta raya tak berbatas. Inilah corak khas bangsa Nusantara.

Namun kenyataan berbangsa dan bernegara kita kadung babak bundas. Semua pejabat di sini—sedari partai atau ormas mana pun (termasuk yang berbendera keagamaan) yang kemudian ditangkap lantaran kasus korupsi atau lainnya, pasti akan berkilah bahwa ia sedang dijebak-difitnah.

Kenapa mereka bisa sekonyol dan sebrengsek itu?

Mudah sekali menjawabnya. Sebab sejak kecil hingga dewasa, kita ini senang bersembunyi di balik ayat suci dan petuah para nabi.

Menurut hadits, "Nabi Muhammad Saw akan memotong tangan Fatimah jika ia mencuri." Bagus sekali kan. Tapi giliran anak sendiri yang begitu, kalau bisa jangan sampai orang lain tahu. Apalagi kalau si anak kandung disebut aceng, gus, agus, bagus, den bagus, dalam kultur pesantren, atau anak para presiden.

Itu baru satu perkara. Masih ada banyak tumor-kanker dalam laku keberagamaan di negeri ini, yang sengaja diimplan oleh bangsa asing. 

Padahal semua manusia sama di hadapan Tuhan, tak ada yang perlu diidolakan. Narasi agama juga sering kali dijadikan tameng untuk menindas, menipu, menakuti orang lain dengan ancaman dosa-neraka, dan iming-iming surga. Alhasil, sedikit sekali di antara umat beragama ini yang tahu apa itu hidup bahagia di dunia.

Bagaimana bisa merasakan, ya karena sering dihipnotis dengan ancaman "jangan cinta dunia.” Sementara yang menganjurkan, rumahnya kayak istana. Orang semacam ini, tersebar di mana-mana.

Orang beragama harus miskin, supaya bisa jadi sapi perah mesin liberalisme. Maka mudah bagi kita untuk mengerti, kenapa bangsa asing di Indonesia, bisa menjadi golongan orang terkaya, dan sebaliknya, warga pribumi selamanya menjadi kacung di negeri sendiri.

Karena terbiasa bersembunyi di balik narasi agama dan petuah para mesiah, menjadi maklum bila kita tak lagi bisa menemukan orang-orang yang bertanggung jawab pada ucapan dan tindakannya sendiri.

Siapa pula pada zaman kiwari ini yang mau memiliki jiwa kesatria? Toh para pengampu kebijakan di negeri kita tak membutuhkan itu. Cukup dengan setumpuk uang dan afiliasi partai pemenang pemilu, maka ia bisa duduk manis memerintahkan orangorang mengikuti apa yang dikehendakinya.

Astagatra

Kemerdekaan yang adalah hak segala bangsa, yang sama dengan milik semua manusia—dan telah digemakan oleh preambule Undang–Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 76 tahun silam, ternyata hanya isapan jempol belaka. Jangankan di level internasional, di dalam negeri sendiri pun harapan tersebut tak terwujud setelah sekian lama.

Dalam kaidah ketahanan nasional, kita punya Astagatra, yang merupakan delapan aspek kehidupan berbangsa-bernegara. Terdiri atas Trigatra yang mencakup tiga aspek alamiah bersifat statis, dan Pancagatra mencakup lima aspek sosial kemasyarakatan yang bersifat dinamis.

Trigatra berisi aspek geografi, demografi (kependudukan), dan sumber kekayaan alam yang merupakan potensi dan modal bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan.

Sementara Pancagatra mengandung aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan pertahanan.
Kita punya lautan-daratan yang strategis. Negeri perairan yang dikelilingi “cincin gunung berapi”.

Sebuah perpaduan sempurna tiada tara, yang kemudian menghasilkan sumber daya alam melimpah, serta penduduk dengan keanekaragaman tak ternilai.

Lahirlah 1.331 suku-bangsa dengan 652 ratusan bahasa (BPS, 2010), lengkap dengan 12 aksaranya: Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis (Lontara), Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).

Ada pun aspek ekonomi dan pertahanan, sangat bergantung pada ranah politik yang saat ini masih centang prenang. Demokrasi model Amerika nampaknya sudah tak lagi memadai diterapkan di sini. Kenapa?

Karena Indonesia menganut sistem multipartai. Itu pun berujung pada voting yang bergantung suara terbanyak. Inilah letak kekacauaan demokrasi kita.

Padahal bila merujuk pada sistem demokrasi Pancasila, sudah jelas bahwa petunjuknya ada dalam sila keempat Pancasila. Proses regenerasi pemimpin yang kerap kali mengecewakan, bermuara dari manajemen partai yang buruk dalam mengelola kadernya.

Jika itu semua dikelola dengan baik dan benar, sudah cukup bagi Indonesia untuk disebut sebagai negara digdaya.

Ada banyak nilai dari masa lalu yang masih terjaga dengan baik, yang bisa dijadikan metode berkehidupan dalam konteks bernegara. Amatilah bagaimana Keratuan Galuh berdiri tegak dengan pertanian, Srivijaya yang adidaya dengan emas, dan kejayaan Singhasari-Majapahit dengan pengelolaan laut. Semua itu merupakan contoh kemandirian mengurusi diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain.

Jikalau pikiran dan keyakinan kita saja masih terjajah, apakah yang hendak kita karyakan dalam hidup ini—dan kelak kita wariskan pada generasi mendatang?

Mari menginsyafi pengkhianatan kita pada Pancasila selama puluhan tahun. Keragaman cara bertuhan orang Indonesia, adalah harta karun tak ternilai. Sudah sejak lama kita terbiasa memanusiakan manusia secara beradab.

Di bawah panji kerajaan apa pun, kita tetap bersatu teguh. Dalam suasana bersitegang sekali pun, kita lebih mengedepankan kebijaksanaan musyawarah demi mencari hikmah. Karena itulah, keadilan bukan lagi sesuatu yang utopis bagi kita sejak dulu kala.

Sudah tepat jika Bung Karno mewariskan kita pusaka Trisakti: berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan, lalu Bung Hatta menggelorakan kedaulatan rakyat, keadilan dan kemakmuran, serta kebersamaan dalam kekeluargaan. Sekarang, jalan mana yang hendak kita tempuh?

Dirgahayu, Indonesiaku tercinta.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi