Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 30 Mei 2021

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Merdeka dari "Toxic Mindset"

Baca di App
Lihat Foto
PIXABAY.COM/ CHENSPEC
Ilustrasi.
Editor: Heru Margianto

17 Agustus adalah hari paling bersejarah karena pada hari itu bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajah.

Momen pembacaan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No 56 sangat bersejarah bagi kita yang telah hidup di dalam kendali orang lain dan tidak bebas untuk melakukan sesuatu.

Momen saat pengibaran bendera merah putih menjadi sangat bernilai bagi kita yang ingin mengelola negara dengan tangan sendiri.

Singkatnya, tanggal itu menjadi tonggak sejarah Republik ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menginjak usia yang ke-76, banyak hal yang telah dicapai Indonesia, namun masih juga terdapat beberapa kekurangan. Wajar, kita masih berbenah, mencari formula pembangunan yang tepat.

Tetapi, saya tidak mau membahas itu. Justru yang ingin saya refleksikan adalah soal diri sendiri.

Apakah diri kita sudah merdeka sepenuhnya? Merdeka dari segala prasangka buruk yang membuat diri kita maupun orang lain terkena dampaknya?

Studi terbaru mengungkapkan, manusia memiliki 6.200 pikiran per hari. Dari 6.200 pikiran itu, apakah kita sudah menavigasikannya menuju hal yang positif atau masih terjebak di dalam lingkaran setan?

Prasangka buruk adalah musuh utama keberhasilan dan antagonis terhebat dalam kolaborasi. Keberadaan prasangka buruk menghambat kemajuan di dalam diri kita dan membuat kita gagal melihat kelebihan orang lain.

Kita hanya fokus dalam satu bintik hitam yang ada di dalam diri kita. Padahal, bintik hitam itu kecil bentuknya, tak memiliki pengaruh yang besar dalam hidup kita. Tetapi, kita justru fokus ke titik itu.

Karena itu, kita sering kali mengkritik orang lain dan melihat keburukan orang lain. Meski teman kita sukses nantinya, kita mungkin akan berkata, “Wah, dia kaya sih jadinya bisa sukses, nggak ada beban pikiran keluarga," atau "the power of orang dalam ini mah, wajar kalau dia bisa meraih hal besar," atau seperti ini "dia punya privilege banyak, enggak kayak kita orang biasa."

Semua prasangka itu sah-sah saja sebenarnya, tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah sudahkah kita berusaha?

Sejauh mana usaha kita untuk meraih sesuatu? Apakah kita hanya berprasangka buruk sama orang yang telah sukses dan dalam puncak karirnya namun tak berusaha sedikit pun?

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bernard Shaw. Dia mengatakan, “Only two percent of the people think; three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think.”

Kalau begitu, bisa jadi, hanya 2 persen yang bisa meraih kesuksesan. Sedangkan, 98 persen lainnya sibuk menjadi toxic people.

Kenapa kita menjadi toxic people

Bicara soal toxic people, trauma dan stres membuat seseorang menjadi toxic people. Mengutip WebMD, untuk mengatasi trauma dan stres yang melanda, mereka tidak menjadi versi terbaik dari dirinya dan seringkali membuat orang kesal dengan tingkah lakunya serta menyebarkan emosi negatif.

Masalah toxic people, mengutip dari Psychology Today, tidak pernah terselesaikan. Mereka hanya menambah bumbu-bumbu drama agar mendapatkan simpati dan dukungan dari orang lain.

Mereka cenderung untuk manipulatif dan tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya. Mereka akan beralasan bahwa dirinya sedang dilanda stres sehingga membuat orang lain menyelesaikan masalahnya.

Menangani orang seperti itu akan menghabiskan energi kita karena toxic people memunculkan aura negatif yang menyebalkan.

Apabila diri kita terlalu memancarkan emosi negatif, hubungan kita dengan orang sekitar tentu menjadi tidak baik.

Padahal, menurut Haenim Sunim dalam bukunya The Things You Can See Only When You Slow Down: How to be Calm in a Busy World, salah satu indikator kebahagiaan adalah apakah hubungan kita dengan orang sekitar harmonis?

Pertanyaan itulah yang bisa jadi bahan renungan buat kita semua, terutama di momentum kemerdekaan seperti sekarang. Sudahkah kita memerdekakan diri dari semua hal yang membelenggu kita menjadi pribadi dan punya kehidupan yang lebih baik?

Apakah kita sudah menebarkan cahaya dan pancaran energi positif ke sekitar kita atau justru menyebarluaskan energi negatif?

Jangan-jangan secara tidak sadar kita hanya menjadi sumber air mata buat sekitar. Ubah pola pikir, bergegas sadar berubahlah menjadi sumber mata air bagi lingkungan terdekat. Mata air harapan, optimisme, inspirasi dan energi positif.

Buat Anda yang saat ini memiliki peran sebagai pimpinan, melalui momentum ini Anda dapat belajar menjadi pemimpin yang lebih humanis.

Memiliki kesadaran dan ambil peran meng-counter toxic culture di lingkungan professional dan pekerjaan Anda. Dalam hal ini pemimpin harus berperan sebagai penawar racun sosial.

Apa itu racun sosial ? Racun sosial terbentuk dari pembiaran munculnya sekelompok toxic people yang gemar menilai sesesuatu selalu dari sudut pandang negatif, tidak mau mengapresiasi, suka menghasut, senang mengadu domba, menyebarkan rumor dan selalu kompetitif.

Namun percayalah, perubahan yang baik selalu dimulai dari diri Anda sebagai pemimpin. Tunjukan sikap ksatria dilingkungan kerja.

Tunjukan kepada pengikut bahwa Anda selalu melihat seseorang dari keunggulan dan kebaikannya. Bersikap ksatria berarti juga dewasa mengakui setiap kelebihan dari orang lain, termasuk kita harus menerima dengan lapang dada apabila tim kita mengungguli kita.

Alih-alih mempersulit, sudah harusnya tugas pemimpin adalah mempermudah urusan pengikutnya.

Kedepankan hadirnya banyak kolaborasi kebaikan di tempat kerja Anda. Lihatlah banyak keajaiban yang akan terjadi.

Apa yang kita percaya, itulah diri kita

Oprah mengeluarkan pernyataan yang menarik bagi saya. Dia mengatakan, "Your life is a reflection of the way you think."

Alasan saya bilang menarik adalah karena kita dibentuk dari apa yang kita pikirkan dan percayai. Tetapi, dari pengamatan saya, orang lain tidak sadar akan hal itu.

Kita terlalu sibuk dengan hambatan yang ada, bukan bagaimana cara kita melalui tantangan itu. Mindset itu yang membuat kita sulit untuk berkembang dan mengembangkan kebiasaan baik.

Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka. - Soe Hok Gi

Ada survei menarik dari perusahaan pelatihan kepemimpinan VitalSmarts pada 2020 lalu yang melibatkan 1.808 pekerja. Survei itu menanyakan faktor paling penting yang membuat kita sukses.

Hasilnya, 50 persen responden percaya bahwa kebiasaan yang tepat adalah kunci kesuksesan. Kemudian, kebiasaan itu diikuti dengan keputusan yang dibuat (24,7 persen) dan talenta yang dimiliki (19,5 persen). Hanya 5,8 persen yang berpendapat bahwa keberuntungan merupakan faktor sukses.

Hal ini berarti bahwa semakin sukses seseorang, mereka akan menghubungkannya dengan kebiasaan yang baik.

Kebiasaan yang tepat pun dipengaruhi oleh mindset kita. Jika kita punya pola pikir yang baik, maka kebiasaan pun akan terbentuk.

Kita tak lagi sibuk dengan prasangka-prasangka dalam pikiran kita. Kita akan fokus untuk meraih tujuan kita sendiri dan tak terpengaruh dengan kesuksesan orang lain. Kita justru menjadikan kesuksesan orang lain cambuk bagi diri untuk terus berkembang.

Oleh karena itu, dalam momen merdeka ini, hal pertama yang harus kita lakukan agar jadi pribadi yang lebih baik dan sukses adalah bebaskan diri dari segala prasangka.

Merdekakan diri dari berbagai macam bentuk perasaan negatif seperti iri hati, dengki, gosip, dan masih banyak lagi.

Ketika kita merdeka dari toxic mindset maka kita juga berperan besar dalam menghadirkan banyak kemerdekaan lainnya. Kemerdekaan berinovasi, berkreasi dan berkarya tanpa batas.

Tanpa tekanan batin. Seperti yang dikatakan Sutan Syahrir, bahwa kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.

Lepas semua pemikiran buruk tentang teman kita bahkan diri kita sendiri. Jadilah orang yang masuk dalam kategori 2 persen. Menurut saya, itulah arti merdeka. Setidaknya merdeka dari gagal paham kontekstual, sosial, mental dan intelektual yang menghambat kita untuk berproses lebih baik.

“Life is a celebration. Free your mind to find the liberation.”  - Debasish Mridha

Dirgahayu ke-76 Republik Indonesia! 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi