Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Nov 2020

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

Rakyat Mana yang Hatinya Merdeka?

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Foto Biro Pers, Media, dan Sekretariat Presiden: Upacara penurunan bendera di Istana Merdeka, Kamis (17/8/2021).
Editor: Heru Margianto

TENTANG kemerdekaan, Sukarno pernah menjelaskan demikian, ”Ketahuilah bahwa kemerdekaan barulah sempurna, bilamana bukan saja dari politik kita merdeka, dan bukan saja ekonomi kita merdeka, tetapi di dalam hati pun kita merdeka.”

Rasanya, Bung Karno tepat. Merdeka itu bukan hanya fisik. Mahatma Gandhi contohnya. Pejuang kemerdekaan India ini sempat dipenjara. Tetapi setelah bebas, ia tetap merasa tidak merdeka.

Sebab, Gandhi melihat bangsanya menderita. Orang Inggris menindas rakyat India. Ia menyadari, selama ada ekspolitasi kepada sesama manusia, hidupnya tidak benar-benar merdeka. Ini yang mendorong Gandhi melakukan ahimsa.

Kemerdekaan juga bukan hanya soal ekonomi. Seseorang bisa saja memiliki banyak materi. Tetapi, ada loh orang kaya seperti itu yang belum merdeka.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanpa sadar, ia dibelenggu dan diperbudak harta. Selalu merasa kurang. Menteri atau pengusaha yang punya ratusan miliar dan masih korupsi adalah contohnya. Mereka belum merdeka sebab diperbudak harta.

Merdeka juga bukan hanya soal politik. Tahun 1945 bangsa Indonesia merdeka. Secara politik, ia sudah bebas dari penguasa kolonial Belanda.

Tetapi pasca-kemerdekaan, penindasan masih terjadi. Pelakunya anak bangsa sendiri. Tentang ini Sukarno pernah mengingatkan, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Kemerdekaan ibarat jembatan

Mengapa menurut Sukarno, perjuangan bangsa Indonesia pasca-terusirnya kekuatan kolonial menjadi lebih sulit?

Karena Sukarno melihat kemerdekaan sebagai sebuah proses tanpa henti untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi: masyarakat adil dan makmur.

Dalam artikel berjudul Mencapai Indonesia Merdeka  (1933), Bung Karno menjelaskan bahwa kemerdekaan hanyalah “jembatan emas”. Ia bukan tujuan akhir melainkan “penghubung” perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya: “masyarakat adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan.”

Dalam pidato 17 Agustus 1964 berjudul Tahun Vivere Pericoloso, Sukarno menekankan kembali bahwa tujuan kemerdekaan adalah terwujudnya dunia baru, yaitu dunia tanpa exploitation de l'homme par l'homme (eksploitasi manusia atas manusia).

Sukarno melihat imperialisme dan kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang mengancam bangsa. Ideologi tersebut bisa memakai pemimpin bangsa.

Tentang hal tersebut Bung Karno berkata, “Malah kita dicekoki oleh pemimpin-pemimpin semacam itu, bahwa "revolusi sudah selesai", dan bahwa "kolonialisme-imperialisme sudah mati."

Belum (semua) merdeka

Sukarno benar. Pascakemerdekaan, perjuangan belum selesai. Sebab Pancasila belum mendasari kehidupan bersama sebagaimana ideal dalam pembukaan UUD 1945.

Prinsip ketuhanan diinterpretasi hanya sebagai ajaran dan ritual keagamaan, bukan dalam wujud perilaku atau tindakan.

Akibatnya, Indonesia dikenal sebagai negara beragama namun tinggi tingkat korupsinya. Corruption perception index Indonesia pada 2020, skornya rendah: 37 dari 100. Indonesia berada di posisi 102 dari 180 negara.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab juga belum sepenuhnya menjadi prioritas kehidupan berbangsa. Indeks Hak Asasi Manusia Indonesia pada pada 2020 adalah 2,9. Nilainya mengalami penurunan dibandingkan dengan 2019 yaitu 3,2.

Menurut Tigor Naipospos dari Setara Institut, penurunan tersebut disebabkan karena pemerintahan Jokowi menjadikan ekonomi sebagai panglima. Isu HAM bukan prioritas pemerintahannya.

Pendapat Tigor ada benarnya. Pada pidato kenegaraan Jokowi dalam rangka HUT ke-76 RI, Presiden Jokowi menyebut 20 kata ekonomi, 6 kata investasi, 5 kata revolusi industri 4.0 namun tidak menyebut satu pun hak asasi manusia.

Padahal, beberapa pelanggaran HAM di negeri ini masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Misalnya, sebagaimana laporan Komnas HAM, ada enam kasus pelanggaran HAM di Papua yang terjadi dalam kurun waktu 1998 sampai 2017.

Tentang Persatuan Indonesia, pemerintah Jokowi menganggap ekonomi sebagai solusi untuk mewujudkannya. Dalam pidato kenegaraan yang sama Jokowi berkata, ”Penyelesaian pembangunan infrastruktur yang memurahkan logistik, untuk membangun dari pinggiran dan mempersatukan Indonesia, terus diupayakan.”

Idealnya, nasionalisme dan persatuan bangsa tidak dibangun melalui peningkatan infrastruktur saja sebab persatuan bangsa bersifat multi dimensi.

Ia bisa goyah karena intoleransi antar agama, suku, dan perbedaan pilihan politik. Ini buktinya: setelah 76 merdeka, ada beberapa kelompok minoritas yang dipersekusi oleh sesama anak bangsa.

Demokrasi Pancasila yang mestinya berujung pada kedaulatan rakyat, juga belum benar-benar membuat rakyat berdaulat.

Sebaliknya, demokrasi hanya menjadikan rakyat obyek politik. Mereka dianggap penting hanya di tahun politik. Prinsip demokrasi one man, one vote dan one value juga membuat demokrasi berjalan sangat transaksional dan sarat money politic.

Terakhir, keadilan sosial yang menjadi cita-cita kemerdekaan bangsa, masih jauh dari ideal. Dalam 10 tahun terakhir, rasio gini di Indonesia fluktuatif dan tidak menunjukkan perbaikan. Di tahun 2010, rasio gini sebesar 0,378 namun mengalami peningkatan menjadi 0,382 setelah 10 tahun berjalan (2019).

Artinya dalam sepuluh tahun terakhir, kesenjangan distribusi pendapatan di Indonesia semakin memburuk. Jarak antara kelompok kaya dan miskin semakin lebar.

Ketimpangan sosial juga bisa dilihat dalam indeks pembangunan manusia Indonesia (IPM). Walau menunjukkan tren kenaikan setiap tahunnya, IPM wilayah Jawa dan luar Jawa- khususnya daerah Timur Indonesia seperti NTT dan Papua- menunjukkan ketimpangan yang serius.

Merenungkan kenyataan di atas tidak boleh membuat kita kehilangan rasa syukur dan gembira dalam merayakan kemerdekaan Indonesia.

Tetapi kegembiraan tersebut tidak boleh menghilangkan sikap kritis kita. Alih-alih jatuh pada euforia perayaan kemerdekaan, jauh lebih penting bertanya: Apakah hati rakyat Indonesia sudah merdeka?

Rakyat Indonesia yang mana yang hatinya merdeka? Apa yang perlu dilakukan agar semakin banyak rakyat Indonesia yang merdeka?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi