KOMPAS.com - Satgas Covid-19 mengklaim perkembangan kasus Covid-19 di tingkat nasional telah menunjukkan perubahan.
Menurut Satgas Covid-19, kasus positif, kematian, dan tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR), menurun dalam kurun 3-4 minggu terakhir.
Dalam keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19, Kamis (19/8/2021), Jubir Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito menyebutkan, adanya perbaikan kasus positif pada 25 dari 34 provinsi atau 73 persen dari seluruh provinsi.
Salah satu provinsi yang mengalami penurunan kasus adalah DKI Jakarta. Dilihat dari data zonasi risiko per 15 Agustus 2021, seluruh wilayah di Ibu Kota sudah lepas dari status zona merah.
Penurunan kasus ini juga diikuti dengan menurunnya angka positivity rate dari 23,57 persen pada 2-8 Agustus 2021, menjadi 21,48 persen pada 9-15 Agustus atau turun sebesar 2,09 persen.
"Ini adalah perkembangan yang sangat baik karena, artinya sebagian besar provinsi di Indonesia sudah mengalami perbaikan dan sudah dapat mengendalikan penularan," kata Wiku dikutip dari laman covid19.go.id, Kamis (19/8/2021).
Baca juga: Situasi Covid-19 Kian Kritis, Epidemiolog: Kalau Cuma Begini-begini Saja, Kita Akan Hancur...
Perlu hati-hati...
Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengatakan, penurunan kasus ini harus disikapi secara hati-hati.
Menurut dia, tren kasus memang sedang menurun, akan tetapi, hal itu karena rendahnya testing dan tracing.
"Dan test positivity rate kita masih belum di 5 persen, atau yang di bawah 10 persen kan juga baru DKI Jakarta," ujar dia saat dihubungi Kompas.com, Jumat (20/8/2021).
"Jadi artinya klaim penurunan ini di tengah situasi yang masih buruk dan belum meyakinkan, karena masih terlalu banyak kasus infeksi di masyarakat yang tidak terdeteksi, dan ini akan menyebabkan tingginya angka kematian," ujar Dicky.
Dicky menjelaskan, meskipun sejumlah wilayah tak lagi menyandang status zona merah karena kasus yang menurun, seperti DKI Jakarta, bukan berarti wilayah itu telah aman dari penularan.
Baca juga: Apakah Virus Marburg Berpotensi Masuk ke Indonesia? Ini Kata Epidemiolog
Sebaliknya, masih sangat rawan terjadi penularan baik yang terdeteksi maupun yang tidak, mengingat testing dan tracing belum diterapkan secara optimal.
"Meskipun ini zona hijau, tapi itu lemah, zona hijau yang lemah. Menurut saya, masih sangat rawan karena bukan hanya 3T-nya yang jauh dari standar, tapi juga vaksinasinya juga masih belum dalam kategori yang kita bisa confidence," papar dia.
Selain itu, kata Dicky, penurunan kasus ini jangan disikapi untuk segera melakukan pelonggaran secara drastis.
Menurut dia, pelonggaran bisa saja dilakukan secara bertahap dan pertimbangan matang.
"Ujiannya dari konsistensi dan komitmen tahapan-tahapan dari pelonggaran itu ya saat ini, karena Indonesia selama ini enggak pernah lulus," kata Dicky.
"Karena sedikit aja perbaikan, pelonggaraannya jauh lebih besar dari pengetatannya, ini kebiasaan yang akhirnya membuat Indonesia makin lama terkendalinya," kata Dicky.
Baca juga: Pemerintah Hapus Angka Kematian dari Indikator Penanganan Covid-19, Epidemiolog: Salah dan Berbahaya
Faktor yang harus jadi perhatian
Dicky mengatakan, yang harus menjadi perhatian untuk saat ini adalah masalah konsistensi dalam menjaga upaya pengendalian pandemi, yakni testing dan tracing.
Ketika testing tidak memenuhi skala penduduk dan juga tidak memenuhi ekskalasi pandemi, ia melanjutkan, kasus akan terus meledak.
Testing tidak memenuhi ekskalasi pandemi dalam hal ini berarti indikator tes positivity rate di atas 5 persen.
"Jangankan yang di atas 5 persen, yang di bawah 5 persen pun ketika ada screening yang tidak memadai misalnya, itu siap meledak kasusya," kata Dicky.
Baca juga: Ramai soal Kartu Vaksin Akan Jadi Syarat Masuk Tempat Umum, Ini Kata Epidemiolog
Soal tracing. Menurut dia, baru DKI Jakarta yang melakukan tracing mendekati standar, yakni 1 kasus di-tracing hingga 15 orang.
Sementara, daerah lainnya belum ada yang melakukan hal tersebut.
"Nah ini yang menjadi catatan dan harus diperhatikan, kalau tidak ya kita akan mengalami banyak kasus kematian, baik yang terdeteksi maupun yang tidak," kata dia.
Dicky mengungkapkan, konsistensi tersebut menjadi catatan buruk bagi Indonesia dalam pengendalian pandemi. Alasannya karena sering berubah dan menurun.
"Apalagi ketika ada berita baik penurunan kasus, padahal itu juga belum kuat, tapi responsnya pelonggaran di mana-mana, dan ini yang berbahaya," ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.