Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Badai Sitokin pada Pasien Covid-19, Penyebab dan Gejalanya

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Halfpoint
Ilustrasi pasien Covid-19 yang membutuhkan ventilator, umumnya menunjukkan gejala delirium. Gejala delirium Covid-19 menyebabkan hilang kesadaran, pasien umumnya datang ke IGD sambil mengigau, hilang fokus. Kebanyakan ditemukan pada pasien dewasa yang lebih tua, dengan rata-rata usia di atas 70 tahun.
|
Editor: Maulana Ramadhan

KOMPAS.com - Pasien positif Covid-19 bisa terkena badai sitokin. Kondisi ini sering kali disebut bisa menyebabkan kematian pada pasien Covid-19.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan badai sitokin pada pasien Covid-19?

Badai sitokin sendiri sebenarnya bukanlah nama penyakit. Badai sitokin merupakan sindrom yang mengacu pada sekelompok gejala medis di mana sistem kekebalan tubuh mengalami terlalu banyak peradangan.

Akibatnya, organ gagal berfungsi dan memicu kematian.

Penyebab badai sitokin

Dilansir dari berita Kompas Health (16/5/2020), Penanggung jawab Logistik dan Perbekalan Farmasi RSUP Dr. Kariadi Semarang, Mahirsyah Wellyan TWH., S.Si., Apt., Msc., menjelaskan, badai sitokin atau cytokine storm merupakan reaksi berlebih sistem kekebalan tubuh.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Mengenal Badai Sitokin yang Bisa Sebabkan Kematian pada Pasien Covid-19

Ketika virus corona memasuki tubuh, sel-sel darah putih akan merespons dengan memproduksi sitokin.

Sitokin sendiri merupakan protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melakukan berbagai fungsi penting dalam penanda sinyal sel.

Pelepasan atau keluarnya sitokin ini dapat mempengaruhi perilaku sel di sekitarnya.

Sitokin yang keluar dalam jumlah sedikit tidak memiliki pengaruh pada kondisi paru pasien, atau keadaan parunya tidak bermasalah.

Akan tetapi kalau jumlah sitokin yang dikeluarkan di paru sudah banyak, disebut sebagai badai sitokin, maka itu akan membuat paru sangat padat dan kaku.

Gejalanya pada tubuh

Yang terburuk dari badai sitokin adalah paru-paru bisa mengalami peradangan. Menurut Mahirsyah, sitokin normalnya hanya berfungsi sebentar dan akan berhenti saat respons kekebalan tubuh tiba di daerah infeksi.

Baca juga: Mengenal Badai Sitokin yang Rengut Nyawa Banyak Orang Selama Pandemi

Namun pada kondisi badai sitokin, sitokin terus mengirimkan sinyal sehingga sel-sel kekebalan tubuh terus berdatangan dan bereaksi di luar kendali.

Akibatnya paru-paru pun bisa mengalami peradangan parah karena sistem kekebalan tubuh berusaha keras membunuh virus.

Peradangan pada paru-paru itu sayangnya bisa terus terjadi meski infeksi sudah selesai. Selama peradangan, sistem imun juga melepas molekul bersifat racun bagi virus dan jaringan paru-paru.

Karena itu tanpa penanganan yang tepat, fungsi paru-paru pasien dapat menurun hingga membuat pasien sulit bernapas.

Kondisi inilah yang kemudian bisa membuat pasien Covid-19 akhirnya meninggal dunia atau tak bisa bertahan.

“Maka sering pada pasien Covid-19 membutuhkan ventilator untuk membantu pernapasan,” jelas Mahirsyah.

Sedangkan menurut penelitian ahli virologi dan imunologi dari Georgia State University di Atlanta, Mukesh Kumar, badai sitokin dipicu oleh infeksi virus dalam tubuh.

Virus bisa menggandakan dirinya dengan sangat cepat setelah menginfeksi sel. Setelah itu, sel mulai mengirim sinyal bahaya.

Baca juga: Positif Covid-19, Deddy Corbuzier Alami Badai Sitokin

Ketika setiap sel merasakan bahwa ada sesuatu yang buruk terjadi, sel akan langsung meresponnya dengan membunuh dirinya sendiri.

"Ini adalah mekanisme perlindungan sehingga tidak menyebar ke sel lain," ucap Khumar.

Jika ada banyak sel yang melakukan hal ini pada saat bersamaan, banyak jaringan yang bisa mati. Pada pasien Covid-19, jaringan tersebut sebagian besar berada di paru-paru.

Saat jaringan rusak, dinding kantung udara kecil paru-paru menjadi bocor dan berisi cairan. Kondisi ini bisa menyebabkan pneumonia dan darah kekurangan oksigen.

Ketika paru-paru rusak parah, sindrom gangguan pernapasan akan terjadi. Dari sinilah yang kemudian bisa menyebabkan organ lain mulai gagal berfungsi.

(Sumber:Kompas.com/Irawan Sapto Adhi, Ariska Puspita Anggraini | Editor: Ariska Puspita Anggraini, Editor Irawan Sapto Adhi)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi