Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah MSG Dapat Memicu Asma Bronkial? Ini Penjelasannya

Baca di App
Lihat Foto
Thinkstockphotos
Ilustrasi
|
Editor: Maya Citra Rosa

KOMPAS.com - Beberapa penelitian menunjukkan Monosodium Glutamat (MSG) dapat menjadi faktor pemicu penyakit inflamasi (radang) kronik yaitu asma bronkial.

Penyakit yang menyerang saluran napas itu menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas terhadap berbagai rangsangan, yang paling sering disebabkan karena alergi.

Merangkum dari buku Review Monosodium Glutamat yang diterbitkan oleh Primer Koperasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Sabtu (29/8/2021), berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia pada tahun 2007, jumlah penderita asma diperkirakan sebesar 3,5% dari populasi penduduk.

Baca juga: Apa Penyebab Penyakit Asma?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa faktor risiko untuk timbulnya asma bronkial telah diketahui secara pasti, antara lain:

Tingkat keparahan asma terbagi ringan hingga berat bahkan menyebabkan kematian.

Hal yang penting dilakukan untuk mencegah serangan asma dan meningkatkan kualitas hidup
penderita asma adalah dengan mencegah terpaparnya faktor pemicu seperti alergen, asap rokok, dan virus influenza.

Apa kaitannya MSG dan asma bronkial?

Hal ini berkaitan dengan ditemukannya MSG pertama kali dilaporkan sebagai alergen oleh Allen dan Baker (1981) yang dipubilkasikan dalam The New England Journal Of Medicine.

Baca juga: Tips Mencegah Covid-19 untuk Penderita Asma

Laporan ini berawal dari hasil pemeriksaan dua orang pasien yang mengeluhkan serangan asma setelah 12 jam mengonsumsi makanan di rumah makan Cina.

Kemudian peneliti melakukan uji provokasi dengan memberikan kapsul yang berisi 2,5g MSG untuk dikonsumsi.

Dua belas jam kemudian, dialporkan pasien mengalami serangan asma dan dinilai dari berkurangnya laju ekspirasi (Peak Expiratory Flow Rates/PEFR) 10.

Salah seorang pasien bahkan mengalami serangan yang berat hingga dilakukan intubasi. Oleh karena itu para peneliti menyimpulkan MSG menjadi penyebab terjadinya bronkospasme.

Mereka juga menulis bahwa MSG sebagai pemicu terjadinya CRS dan asma dapat membahayakan jiwa sehingga pasien dan dokter harus waspada terhadap reaksi ini.

Laporan ini kemudian menjadi dasar berkembangnya anggapan bahwa MSG merupakan faktor pemicu baru terjadinya asma.

Pasien asma kemudian diharapkan dapat menghindari makanan, baik alami maupun buatan, yang mengandung MSG agar tidak terpapar secara kontinu.

Pada tahun 1987, Allen dkk kembali melakukan penelitian dengan jumlah partisipan yang lebih besar untuk tujuan yang sama.

Pada penelitian tersebut dilaporkan, terjadi serangan asma pada 1 pasien yang mengonsumsi 1,5g MSG dan 13 pasien yang mengonsumsi 2,5g MSG, dengan interval waktu antara mulai konsumsi MSG dengan awal mula timbulnya penurunan 20% PEFR adalah 1 jam hingga 12 jam.

Namun menurut buku tersebut, tidak ada satupun yang melaporkan terjadinya reaksi setelah 1 jam mengonsumsi MSG, padahal diperkirakan dalam kurun waktu tersebut konsentrasi glutamat telah meningkat di dalam tubuh.

Baca juga: Benarkah Mengonsumsi MSG Berbahaya untuk Kesehatan?

Penelitian ini mendapat kritik, sebab penilaian serangan asma dilakukan dengan menggunakan PEFR bukan spirometri, pemberian plasebo dilakukan satu hari setelah penghentian konsumsi obat teofilin.

Sedangkan MSG baru diberikan pada hari kedua dan ketiga, selain itu pada beberapa pasien yang menghirup obat β agonis bronkodilator, pemberian obat dihentikan 3 jam sebelum diberikan plasebo.

Hal ini dianggap dapat menimbulkan bias dalam hasil penelitian.

Berangkat dari penelitian yang dilakukan oleh Allen dkk (1987), maka muncul 5 penelitian untuk membuktikan apakah benar MSG memicu timbulnya bronkospasme pada pasien asma.

Kesimpulan MSG sebagai pemicu asma atau tidak?

Dari beberapa penelitian di atas, sangat sulit untuk menentukan apakah MSG benar-benar menjadi pemicu terjadinya asma. Untuk menghindari terjadinya bias, ada banyak faktor yang harus diperhitungkan.

Misalnya pemilihan subjek haruslah benar-benar bebas dari remisi dan tidak sedang mengonsumsi obat-obat asma, standar penetapan kriteria untuk hasil positif, desain penelitian sebaiknya tidak hanya single-blind (subjek tidak mengetahui apa yang sedang diujikan pada dirinya, sedangkan peneliti mengetahui).

Namun juga dilanjutkan dengan studi double-blind (subjek dan peneliti sama-sama tidak mengetahui apa yang sedang diujikan), standar penetapan dosis MSG, serta standar-standar lain yang digunakan dalam menilai validitas suatu penelitian.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi