Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Mei 2016

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Kesadaran Niskala lan Nirtresna

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/andrey_l
Ilustrasi waktu
Editor: Heru Margianto

AWIGHNAMASTU. Semoga kita selamat sejahtera. Sehat sentosa. Cergas bregas waras trengginas. Senantiasa. Mugiya berbahagia seluruh makhluk di Bumi.

Risalah ini ditulis khusus untuk para sedulur sedaya—yang telah mewarnai kehidupan ini sejak mula sampai akhirnya nanti. Entah kapan.

Tapi yang jelas, manakala kita terlahir ke bumi ini, sejarah telah menggurat jalan ceritanya bagi semua manusia. Sedemikian rupa indah misterinya.

Di antara kita, ada satu hal yang tak mungkin terlampaui oleh satu sama lain, yaitu usia. Dalam perjalanannya, terkandung serbaneka kisah yang selalu ingin kita singkap rahasia-maknanya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Itulah kenapa sebagian besar jula-juli cerita yang kita alami, dapat dingat dengan baik—bahkan dalam skala rinci.

Sebab ke mana pun tujuan pergi, kau sedang melangkah ke haribaan diri sejati. Siapa sahaja yang kautemui, sesungguhnya engkau hanya bertemu diri sendiri nan purbani.

Nafas kehidupan berhembus dari kedalaman rahasia perjumpaan kita dengan Keagungan Cahaya Kebenaran.

Kenapa bisa begitu?

Karena kita menghayatinya dengan segenap kesadaran diri. Pun, sejatinya kita tak tahu apa yang disembunyikan Tuhan setelah ini bagi kita semua. Namun ketika menjalaninya, kita tak butuh paksaan dari siapa pun.

Aku pribadilah yang mau dan berkenan melaluinya. Menikmati pedih-perihnya. Harsanya. Susah senang bahagianya. Tak ada yang sungguh benar bisa mengerti itu, selain aku. Pun begitu kiranya dengan hidupmu.

Sering kali kita abai pada momen terbaik dalam hidup, lantaran ingin mencari yang lebih baik. Jika kau merasa kehilangan, sejatinya hidup sedang mengajarimu betapa segala sesuatu yang datang padamu adalah Gusti Pangeran. Bukan tuk dimiliki, melainkan disyukuri lan diagungkan.

Jadi, berhentilah sudah menilai apa pun yang terjadi pada orang lain, kendati yang kaulihat itu mengganggu pandangan, pikiran, dan rasamu sendiri.

Biarkan saja itu jadi fenomena di luar dirimu, yang melintas begitu saja bak kilatan kamera foto—yang kelak merekamnya jadi kenangan. Hidup kita memang saling beririsan. Tapi bukan berarti bersinggungan. Kau-aku jadi kita. Meski bersatu, kita tetap terpisah.

Sadarkah engkau betapa ada yang salah dalam laku beragama orang-orang pada zaman kiwari ini? Semua nabi, santo, wali, orang yang disucikan itu, sejatinya muncul di tengah kebobrokan moral umat manusia di sekitarnya.

Misi kemanusiaan yang mereka emban, kelak dinamai agama oleh pengikut yang datang setelahnya.

Sementara mereka, hanya sedang menjalani laku hidupnya yang sesuai dengan zaman. Itulah kami kira yang jadi biang keladi prahara manusia abad ini.

Melintasi masa

Sejak melintasi beragam masa, kini, kita yang adalah Homo sapiens tiba pada Era Antroposen. Istilah ini berasal dari kata anthropo yang berarti “manusia” dan cene yang berarti “baru”.

Kata ini menjadi populer ketika ahli kimia yang sekaligus peraih Nobel Kimia, Paul Crutzen, dan spesialis ilmu kelautan, Eugene F. Stoermer, menerbitkan pernyataan singkat pada 2000, yang menyatakan bahwa era ini ditandai dengan “semakin meningkatnya dampak aktivitas manusia pada bumi dan atmosfer...”

Jikalau menilik argumen Crutzen dan Stoermer, maka era Antroposen sekaligus
mengakhiri era Holosen yang dimulai 11.700 tahun lalu.

Dalam jurnal Nature (2002), Crutzen menyatakan bahwa Antroposen telah dimulai pada akhir abad ke-18. Hal tersebut ditandai peningkatan metana dan konsentrasi karbondioksida secara global.

Era Antroposen dipahami dengan kemunculan manusia sebagai kekuatan geofisik global sejak awal 1800, ketika industrialisasi mulai berkembang dengan memanfaatkan bahan bakar fosil.

Indikator era ini adalah konsentrasi karbondioksida yang semakin meningkat. Sejak 1950, konsentrasi karbondioksida di atmosfer meningkat dari 310 ppm hingga menjadi 380 ppm (Steffen, Crutzen, McNeill, 2007).

Dalam era ini, manusia berperan penting menentukan kelangsungan kehidupan di bumi. Hal itu terlihat dari perubahan alam drastis yang terjadi belakangan, yang berkaitan dengan perusakan hutan, pemanasan global, perubahan iklim, dan kehancuran ekologi.

Disadari atau tidak, kerusakan alam yang terjadi, berpengaruh juga terhadap bencana dahsyat yang sering kali menerpa kehidupan manusia. Pandemi korona satu di antaranya.

Usai masa ini, kita akan terus menelan buah simalakama yang pohonnya telah kita tanam sejak seabad lalu. Daku mafhum bila dikau teramat sering dilamun gebalau tak berujung terkait dunia yang kian absurd ini.

Apalagi memahami gerak-gerik jiwa sendiri. Sudah pasti itu sangat menyusahkan laku lampah kita.

Tapi tenang saja. Sampai akhir hayat, sedikit saja yang bisa kaumengerti dari kehidupan ini. Lantaran memang sedikit saja yang telah dibabar semesta ini tuk kita resapi.

Mari kita buktikan...

Sanggupkah kautalar usia semesta yang 13,8 milyar tahun cahaya itu? Sudah pasti tak. Tapi akan mudah bagimu mengerti perjalanan umur sendiri. Betul kan?

Semoga panjenengan jeli menelaah bagian ini. Kita hanya anak-anak waktu yang lahir dan tumbuh dalam ketiadaan.

Waktu adalah ilusi

 

Waktu pada dasarnya adalah ilusi yang diciptakan pikiran guna membantu kita merasakan kehadiran dalam cakrawala peristiwa nan luas.

Tanpa neuron untuk menciptakan persepsi virtual tentang masa lalu dan masa depan—berdasar semua pengalaman kita, takkan ada keberadaan kiwari bagi keduanya.

Semua yang ada hanyalah saat ini. Kita mestinya mafhum bahwa perbedaan antara masa lalu, kini, dan nanti, sekadar ilusi yang gigih.

Konsepsi waktu bagi kita, tak lebih agar semua tak terjadi sekaligus secara bersamaan, dan kita tak kebingungan dengan adanya ingatan, kenangan, masa lalu, dan masa depan.

Kita bahkan tak perlu berupaya menjadi tua. Saban detik usia kita kelana yudha. Tapi kita perlu mendewasakan diri, tuk memafhumi rahasia perjalanan diri.

Kita hanya sedang menunggu giliran. Pergi nan ditinggalkan. Memberi jalan pada yang lain. Hadir mengisi ruang kosong kehidupan. Lah semua mesti nirtresna. Tak melekat. Pun begitu kita tak jua sudah.

Meratapi kelahiran yang bahkan tiada pernah diminta. Segala yang terjadi hari ini, juga sudah terjadi sebelumnya, dan akan terjadi lagi pada masa mendatang. Di antara ketiganya, kita hanya sekadar buah bibir belaka.

Hidup punya alur cerita yang disarati rahasyam. Dalam tiap rangkaian, terselip riwayat panjang penciptaan. Dari Cahaya kita meng-Ada untuk berbahagia. Menuju ketiadaan abadi. Ia kan terus memberi segala sesuatu yang bahkan tak pernah kita minta, dan meminta apa yang semestinya kita beri pada kehidupan.

Takdir kita dimulai dari tangan yang menggenggam kekosongan, lantas kita pergi jauh menunggangi kehampaan. Mencintai dicintai semesta kehidupan. Mengajari manusia kasih sayang tuhan.

Diri yang sadar itu, tidak terseret ruang waktu. Tak menguap begitu saja. Weruh sepenuhnya kalau sedang jadi manusia. Tahu dan kenal diri. Ngeh pada setiap kejadian. Mawas dalam perjalanan usia.

Senasib sepenanggungan

 

Kendati begitu, kehadiran kita di dunia adalah rangkaian mutiara ketidaktahuan purba, tak terpecahkan. Karena kita semua sama dalam tataran ini, menurut hemat kami, kini kita harus menumbuhkan lagi rasa senasib sepenanggungan.

Tepo seliro. Bahu membahu. Bergotong royong menolong sesama saudara. Jangan lagi ada yang menari di atas penderitaan liyan.

Bagi yang punya harta berlimpah, tak perlu dipamerkan di media sosial. Lakukanlah aksi yang lebih manusiawi. Bayangkanlah jika engkau berada di posisi sebaliknya.

Pada siapa kau kan berharap pertolongan. Sudah terlampau banyak doa dipanjatkan ke Tuhan. Tapi ikhtiar kemanusiaan kita jauh panggang dari kenyataan. Hidup itu sederhana belaka. Maka sederhanakanlah kehidupanmu.

Kami kira kita kan bersepakat dalam soal ini: sarwendah yang telah kita alami dan dan rasakan, adalah keajaiban yang misterius.

Siapa yang bisa memilih akan jadi siapa, dan menjadi apa dalam perjalan hidup ini?

Mau tak mau kita hanya harus menerima peran yang dititipkan Sang Pemilik Hidup agar hidup menjadi hidup, memahami hidup dengan peran kita masingmasing.

Setiap orang dibekali sebuah proses dari masa kanak-kanak, tidak tahu apa-apa, bahkan dekat dengan hal hal yang berbahaya dan bodoh, terus kemudian bertambah besar, sehingga kawasan pengetahuan pun menjadi taman wawasan kita, yang juga terus mengalami perluasan seiring ruang waktu.

Perjalanan anak manusia ini menjadi rentetan peristiwa yang terus terhubung hingga anak manusia pada masanya memiliki kekuatan nutrisi pengetahuan dari pengalaman agar ia mampu mengarungi-melangsungkan hidupnya.

Kami hanya ingin mengajak kita semua untuk mengingat lagi siapa diri ini dan seberapa bijak kita menghargai proses hidup yang kita sudah dijalani sampai detik ini.

Niskala

 

Niskala artinya terlepas atau terhindar dari semua sifat, tidak berkaitan dengan sesuatu yang lain. Maka kesadaran model inilah yang bisa membawa kita pada kesejatian hidup.

Akhir kalam. Kami sertakan di sini sebuah pikukuh Sunda yang kiranya bisa jadi pelajaran berharga bagi kita, pada kemudian hari:

Dituntun ku santun. Dipiara ku rasa. Dilatih peurih. Diasuh lungguh. Diasah ku kanyaah. Disipuh ku karipuh. Dibimbing etika dan kesantunan. Dijiwai rasa. Dilatih penderitaan. Diasuh kesederhanaan. Diasah kasih-sayang. Lalu, dibalut kesusahan dan kepedihan.

Hidup itu harus dibimbing moral dan kesantunan. Keduanya wajib dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakat. Hidup juga harus dijiwai rasa, karena segala aspek dalam hidup adalah tentang rasa.

Kehilangan cara merasa sama artinya kehilangan hidup. Kita juga harus berlatih dengan perih, karena dengan adanya penderitaan, kita belajar bangkit dan kuat. Kepedihan mengenalkan pada kita arti kenikmatan hidup.

Diasuh oleh kesederhanaan bukan berarti miskin. Bahkan bisa lebih mewah tinimbang kekayaan. Dapat menimbulkan rasa syukur dan kebahagiaan. Dari kesederhaan lah muncul rasa cukup.

Hidup juga mesti diasah kasih sayang, karena tanpa adanya rasa kasih maka akan banyak menimbulkan pertikaian. Dalam sudut pandang psikologis, perasaan kasih adalah hal paling dasar yang dibutuhkan manusia.

Satu lagi, hidup harus dibalut oleh kesusahan, karena jika tidak mengenal rasa susah, maka kita tidak mengenal arti perjuangan dan kebahagiaan ketika mencapai hasil.

Kesulitan adalah proses hidup. Kesusahan adalah tantangan hidup yang harus dilalui dan diperjuangkan, sebab itulah yang akan meninggikan derajat kita di atas panggung raya kehidupan.

Cinta menumbuhkan bunga indah kehidupan
Kita merawatnya sebagai harapan
Rindu melumurinya dengan
Aroma wangi sepanjang perjalanan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi