KOMPAS.com - Vaksinasi Covid-19 kini mulai diterapkan secara luas sebagai persyaratan untuk dapat memasuki suatu tempat atau acara.
Persyaratan wajib vaksin di antaranya dapat dijumpai saat seseorang akan memasuki mal atau pusat perbelanjaan, bahkan untuk syarat SKD CPNS di Jawa, Madura, dan Bali.
Seiring mulai diberlakukan sebagai syarat akses tempat publik, cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia terus meningkat.
Kendati demikian, masih ada sebagian orang yang enggan atau menolak untuk divaksin.
Salah satu alasan penolakan itu adalah anggapan bahwa tubuh sudah memiliki sistem kekebalan atau antibodi alami, sehingga tidak perlu lagi disuntik vaksin.
Benarkah demikian? Berikut penjelasan dari dokter:
Baca juga: Ini Data Aplikasi E-HAC dari Kemenkes yang Diduga Alami Kebocoran
Penjelasan dokter
Dokter Patologi Klinis Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tonang Dwi Ardyanto, memberikan penjelasan mengenai antibodi yang dihasilkan secara alami dan antibodi yang dihasilkan setelah mendapatkan vaksinasi.
Penjelasan itu ia unggah di laman Facebook miliknya pada Selasa (31/8/2021).
Kompas.com telah mendapatkan izin dari Tonang pada Selasa (31/8/2021) untuk mengutip unggahannya di Facebook.
Tonang menjelaskan, sejak lahir manusia memang sudah memiliki antibodi terhadap setiap benda asing yang memasuki tubuhnya.
Akan tetapi, jika benda asing itu belum pernah ditemui sebelumnya, maka tubuh juga belum memiliki antibodinya.
"Maka umumnya kita belum punya antibodi Covid-19. Adanya antibodi Covid-19 hanya bila sudah pernah terinfeksi," jelas Tonang.
"Jadi pilihannya: terpaksa terinfeksi, atau berusaha vaksinasi lebih dulu," sambung dia.
Baca juga: Aturan Perjalanan Darat, Laut, dan Udara PPKM 31 Agustus-6 September
Tonang menyebutkan, ada perbedaan mendasar antara terinfeksi Covid-19 dengan mendapatkan vaksin Covid-19.
Menurut Tonang, infeksi itu terjadi secara alami dan acak.
"Sembarang variannya, sembarang jumlah virusnya, sembarang waktunya, sembarang orangnya, dan sembarang efeknya. Mulai dari tanpa gejala, ringan, sedang, berat, kritis, bahkan meninggal," jelas Tonang.
Hal tersebut berbeda dengan vaksinasi yang merupakan suatu proses yang terukur, seragam, serta ada antisipasi terhadap reaksi pasca-suntikan.
"Vaksinasi itu seragam dosisnya. Sama isi varian-variannya pada jenis vaksin yang sama. Bisa disiapkan waktunya sehingga ada persiapan fisik. Ada penentuan tahapan siapa penerimanya dari yang paling berisiko. Antisipasi reaksi pasca-suntikan bisa dilakukan. Ada pemantauan juga," kata Tonang.
Baca juga: Sudah Vaksin, Bagaimana jika Saat Hari H SKD CPNS Sertifikat Vaksin Belum Ada di PeduliLindungi?
Beda antibodi setelah infeksi dan vaksinasi
Tonang mengatakan, kekuatan antibodi yang dihasilkan pasca-infeksi Covid-19 ditentukan oleh dua hal, yakni jumlah virus yang masuk dan kekuatan respons tubuh.
Maka, kekuatan antibodi pasca-infeksi bervariasi antar orang.
Sementara itu, karena sifatnya yang seragam, maka kekuatan antibodi pasca-vaksinasi juga cenderung seragam.
"Kalau soal jumlah, rata-rata antibodi pasca-vaksinasi adalah sedang ke tinggi," jelas Tonang.
"Kalau pasca-infeksi lebih variatif lagi. Ada yang tinggi sekali, ada yang sedang, ada yang rendah sekali," tandas dia.
Kendati sama-sama menghasilkan antibodi, akan tetapi Tonang menjelaskan, ada kekurangan dari antibodi yang diperoleh setelah terinfeksi Covid-19.
"Antibodi pasca-infeksi itu, cenderung hanya untuk satu varian yang menginfeksi saat itu. Sedangkan antibodi pasca-vaksinasi, berusaha merangkum sebanyak mungkin varian yang sudah diketahui saat vaksin diproduksi," kata Tonang.
Menurut Tonang, antibodi harus bersifat sespesifik mungkin, sehingga kekuatannya fokus.
"Ketika terinfeksi varian X, maka antibodi Covid-19 kita spesifik untuk varian X. Ketika terinfeksi varian Y, berarti untuk varian Y," kata Tonang.
"Pada vaksinasi, terangkum beberapa varian. Maka antibodi yang dibentuk juga beberapa varian," tutur dia.
Hal ini juga yang kemudian mendasari orang yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 harus tetap mendapatkan vaksin setelah pulih.
"Agar jenis antibodinya makin lengkap. Tidak hanya satu-dua varian. Mencakup varian yang mungkin belum masuk dalam data antibodi hasil infeksi," kata Tonang.
Baca juga: Aturan dan Wilayah PPKM Level 4 dan 3 Berlaku 31 Agustus-6 September
Lebih baik mencegah risiko terinfeksi
Tonang menambahkan, antibodi yang diperoleh baik pasca-infeksi maupun pasca-vaksinasi, akan tetap sama-sama menurun seiring berjalannya waktu.
Kendati demikian, tubuh masih akan memiliki sel memori yang nantinya juga akan membentuk antibodi.
Ia menjelaskan, vaksinasi Covid-19 memiliki dua tujuan, yakni menghasilkan antibodi untuk melawan virus corona dan membentuk sel memori.
Meski sel memori juga akan terbentuk pasca-infeksi, namun varian data yang terekam tidak akan sebanyak sel memori yang terbentuk pasca-vaksinasi.
"Bedanya, semakin banyak variasi data terekam, sel memori makin mampu mengenali virus-virus dari varian baru. Kemudian mampu membentuk antibodi spesifik untuk varian baru tersebut," kata Tonang.
Menurut Tonang, menghasilkan antibodi dan sel memori melalui vaksinasi jauh lebih aman ketimbang harus terpapar virus corona berulangkali dengan varian yang berbeda-beda.
"Iya kalau terpaksa kena, bagaimana lagi. Semoga lengkap dan kuat antibodinya. Tapi bukankah lebih baik kita mencegahnya daripada menanggung risiko dari terinfeksi?," kata dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.