Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Cara Pemerintah Bayar Utang Selama Pandemi Covid-19?

Baca di App
Lihat Foto
BPMI Setpres
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada Sabtu (21/11/2020).
|
Editor: Artika Rachmi Farmita

KOMPAS.com - Pemerintah pusat menempuh beberapa cara agar bisa membayar utang-utang, termasuk utang yang membengkak selama pandemi Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan upaya memaksimalkan sumber penerimaan negara, salah satunya melalui pajak.

Wanita yang karib disapa Ani itu mengatakan, sumber pembiayaan yang paling kompetitif terus dicari sehingga utang mampu dikelola dengan baik.

“Utang harus dikelola, kalau kemarin utang jadi naik ya kita sekarang harus kelola mencari sumber pembiayaan paling kompetitif,” kata Sri Mulyani saat menyampaikan kuliah umum secara virtual, Jumat (3/9/2021).

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, posisi utang pemerintah pada akhir Juli 2021 mencapai Rp 6.570,17 triliun. Rasio utang tersebut sebesar 40,51 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Posisi utang pada Juli itu meningkat sekitar Rp 15,16 triliun dibandingkan dengan posisi akhir Juni sebesar Rp 6.554,56 triliun.

Apa saja sumber pembiayaan yang dianggap kompetitif dan diharapkan menanggung beban utang negara?

Sebelumnya diberitakan, bendahara negara ini mengucapkan, penarikan utang diperlukan untuk menutup defisit APBN yang melonjak 6,09 persen saat pandemi.

Bayar utang lewat surat berharga

Pembiayaan yang paling kompetitif, kata Ani, adalah lewat pasar surat berharga.

Pemerintah bahkan meminta bantuan Bank Indonesia (BI) untuk membeli SUN dengan skema bagi-bagi beban (burden sharing).

Baca juga: Sri Mulyani Putar Otak Buat Bayar Utang akibat Pandemi Covid-19

Cara ini ditempuh karena dianggap sebagai manajemen utang yang bertanggung jawab.

Ani menegaskan bahwa tidak ada satu resep maupun satu arahan yang kemudian bisa menyelesaikan persoalan.

"Kita dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) I, II, III, melakukan burden sharing secara baik. Ini semua dilakukan manajemen utang yang bertanggung jawab. Tidak kemudian satu resep satu direction selesai,” ucap dia.

Memaksimalkan pendapatan pajak

Selain itu, Ani optimistis utang yang melonjak saat pandemi Covid-19 bisa dibayar kembali oleh pemerintah dari pendapatan pajak yang dikumpulkan.

Adapun penarikan utang diperlukan untuk menutup defisit APBN yang melonjak 6,09 persen saat pandemi.

Ani menyebutkan, defisit APBN itu disebabkan oleh melonjaknya belanja negara untuk penanganan pandemi.

Sebaliknya, penerimaan pajak merosot sebesar minus 14,7 persen tahun 2020.

"Meskipun pada saat kita menghadapi pandemi dan penerimaan negara kita merosot, oleh karena itu kita masih harus mengalami defisit dan berutang, namun kita yakin bisa membayar lagi apabila penerimaan pajak bisa dikumpulkan," kata Sri Mulyani dalam webinar Pajak Bertutur, Rabu (25/8/2021).

Semua pemasukan yang ada difokuskan untuk penanganan pandemi dan perlindungan sosial hingga insentif dunia usaha untuk menjaga daya beli masyarakat.

"Kebutuhan di bidang kesehatan, bansos, pembangunan infrastruktur, bahkan untuk menyelenggarakan pendidikan tetap dipenuhi meskipun kita mengalami defisit," ucap Ani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu merinci, utang dan pajak diarahkan untuk belanja negara berupa insentif nakes, pengadaan vaksinasi, dan insentif pajak untuk barang-barang lain yang berhubungan dengan Covid-19.

Begitu pula untuk pembangunan rumah sakit darurat. Belanja di bidang kesehatan dan bansos bahkan berlanjut di tahun 2021 hingga tahun 2022. 

Baca juga: Negara Tarik Utang Akibat Pandemi, Sri Mulyani: Kita Yakin Bisa Bayar Lewat Pajak

"Seluruh belanja belanja inilah yang akan mampu kita adakan dan kita bangun apabila Indonesia mampu memobilisasi penerimaan pajak dengan baik. Negara yang kuat dari sisi penerimaan pajaknya dia akan juga kuat untuk bisa melindungi bangsanya," tuturnya.

Ekonom soroti pemerintah yang andalkan pajak

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, saat pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan global bond senilai 1 miliar dollar AS (Rp 14,4 triliun) dengan masa jatuh tempo 50 tahun.

Global bond merupakan obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Artinya, lanjut Bhima, sampai 2070 mendatang pemerintah akan meninggalkan beban utang.

Menurutnya, kemampuan membayar utang pemerintah seharusnya tidak cuma persoalan penerimaan pajak, tapi juga efektivitas belanja pemerintah apakah produktif atau tidak.

"Dengan belanja yang produktif akan menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga Produk Domestik Bruto-nya bisa imbangi kenaikan utang," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/8/2021).

Ia menggambarkan, belanja pemerintah pusat yang naik tinggi sepanjang 2014-2021 adalah belanja konsumtif, yakni belanja pembayaran bunga utang naik 180 persen. Disusul belanja barang naik 105 persen dan belanja pegawai 73 persen.

Dari angka-angka tersebut, Bhima menyoroti belanja yang berkaitan dengan penggerak ekonomi seperti belanja modal, hanya tumbuh 68 persen.

Padahal semakin tinggi penggunaan utang untuk hal yang konsumtif, maka beban utang akan naik. Sayangnya, ini tidak berdampak banyak bagi perekonomian.

"Pemerintah enggak bisa kemudian bilang, pajak harus naik untuk bayar utang. Itu terlalu menyederhanakan masalah. Pemerintah harus berkaca diri, lihat postur anggarannya sudah ideal belum dari sisi belanja," ucap dia.

Baca juga: Sri Mulyani Yakin Utang Negara Bisa Dibayar Lewat Pajak, Ini Kata Ekonom...

Begitu pula bagaimana pemerintah menggunakan dana APBN untuk pemerintah daerah (Pemda). Dalam kondisi krisis seperti pandemi Covid-19 ini, masih ada Rp 172,5 triliun dana Pemda yang disimpan di perbankan per Mei 2021.

Menurut Bhima, pemerintah pusat masih memberi porsi yang besar dari dana alokasi umum untuk membiayai birokrasi. Sebut saja belanja pegawai yang rata-rata menghabiskan 32,4 persen dari total belanja pemerintah daerah.

Pun dengan bagaimana serapan belanja pemerintah terkait anggaran kesehatan dan perlindungan sosial dalam PEN.

"Kalau ada pembenahan serius sebenarnya beban utang bisa ditekan. Ini masalah politik anggaran arahnya ke sana atau tidak," tegasnya.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Fika Nurul Ulya, Dandy Bayu Bramasta|Editor: Erlangga Djumena, Sari Hardiyanto)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi