Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Saya Memang Bebal Matematika

Baca di App
Lihat Foto
PIXABAY.COM/ GERD ALTMANN
Matematika.
Editor: Heru Margianto

PADA masa kanak-kanak saya di bangku Sekolah Dasar, berhitung merupakan mata pelajaran yang tidak saya sukai.

Saya tidak mengerti apa guna saya belajar berhitung sementara sudah ada mesin hitung disebut kalkulator yang mampu berhitung secara lebih cepat dan lebih benar ketimbang saya.

Malas

Maka saya paling malas mengikuti mata belajar berhitung yang kemudian di bangku sekolah disebut sebagai matematika yang ternyata masih dipilah-pilah menjadi aljabar, geometri, trigonometri, stereometri alias ilmu ukur ruang yang semuanya (kecuali stereometri) hanya bikin kepala saya makin pusing belaka.

Namun setelah lebih dari setengah abad saya hidup di dunia fana dan mendadak pada awal tahun 2020 saya dipaksa karantina diri di rumah yang disebut sebagai WFH (work from home) lalu isoman (isolasi mandiri) kemudian berubah menjadi PSBB (pembatasan sosial berskala besar) kemudian PPMK (pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat) atau entah apa lagi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat WFH maka saya memperoleh cukup banyak waktu untuk mempelajari berbagai hal di dalam kehidupan ini.

Saya mulai mempelajari pelajaran-pelajaran yang dahulu saya sia-siakan di bangku sekolah mulai dari fisika, biologi, kimia sampai matematika dengan segala cabang dan rantingnya.

Karena seluruh guru saya sudah almarhum atau almarhumah maka saya tidak bisa bertanya kepada para beliau sehingga terpaksa saya berupaya otodidak dengan membaca buku-buku matematika.

Buku-buku

Saya mulai dengan buku yang saya pikir paling cocok dengan saya yaitu Mathematics For The Non Mathematicians garapan Morris Kline.

Setelah membaca buku itu saya tersadar bahwa dalam hal matematika sebenarnya saya memang bebal sedemikian bebal sehingga malah juga belum layak disebut sebagai Non-Mathematicians.

Maka saya beralih ke buku yang judulnya lebih sesuai dengan kehendak (diam-diam) saya yaitu Burn The Math Class yang diprofokasi oleh Jason Wilkes.

Ternyata buku itu memang diberi judul anarkis agar saya membeli buku tersebut. Setelah saya baca ternyata alih-alih makin mengerti saya malah makin tidak mengerti matematika.

Kapok mulai dari bawah maka saya mencoba langsung dari atas yaitu mencoba membaca alkitab matematika yang paling dihormati bahkan diberhalakan sebagai puncak ilmu matematika yaitu mahabuku ditulis bersama oleh Alfred North Whitehead bersama Bertrand Russel yang perdana dipublikasikan pada tahun 1910 kemudian disusul 1912 dan 1913.

Ternyata Whitehead dan Russel menulis mahabuku monumental itu lebih sebagai pembelaan terhadap logicism yang dianggap lebih luas ketimbang matematika demi mempopularkan apa yang disebut sebagai modern mathematical logic.

Bersama Organon mahakarya Aristoteles dan Bacis Laws of Arithematic mahakarya Gottlob Frege, Principia Mathematics hasil gotongroyong Whitehead dan Russel dianggap sebagai tiga buku terpenting yang ditulis oleh manusia (sayang) bukan untuk matematika tetapi logika.

Maka saya memerosotkan tuntutan terhadap diri saya sendiri dengan mencoba membaca buku kecil tulisan filosof favorit saya yaitu Bertrand Russel yang konon lebih mudah dimengerti ketimbang Principa Mathematics yaitu Introduction to Mathematical Philosophy yang ternyata juga masih terlalu saya bagi otak bebal saya untuk memahami matematika.

Kebetulan ada buku lebih tipis lagi yaitu tulisan Kurt Goedel dengan judul panjang meliak-liuk ke sana ke mari sambil kontradiktif dengan dirinya sendiri yaitu On Formally Undecidable Propositons of Principia Mathematica and Related Systems.

Jelas otak dangkal saya jatuh menjadi korban kegesitan Goedel bermain dengan logika otaknya sendiri sehingga saya makin sadar bahwa saya memang bebal matematika lebih bebal ketimbang sebelum saya membaca buku tipis tapi kejam tersebut.

Nyata

Sudah kepalang basah maka saya menyemplungkan diri ke samudra buku-buku matematika kaliber super dahsyat yang kadar kekompleksan matematematikalnya sudah bisa disimpulkan dari judulnya saja seperti Naïve Set Theory atau yang ke arah topologi Real Variables With Basic Metric Space Topology atau yang beraroma hewan peliharaan Abstract or Concrete Categories: The Joy of Cats atau yang sama sekali tidak saya mengerti apa artinya seperti Partial Differential Equations With Fourier Series And Boundary Value Problems atau yang agresif Attacking Probability and Statistical Problems atau Attacking Problem in Logarithm and Exponental Functions atau Calculus: An Intuitive and Physical Approach atau yang tidak obyektif The Subjectivity of Scientists and The Bayesian Approach atau yang blasfemis seperti Do Dice Plays God, The Mathematics of Uncertainity dan lain dan sebagainya dan seterusnya.

Judul-judulnya saja sudah membingungkan apalagi isi-isinya.

Gagal paham

Setiap hari matematika sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mustahil saya bisa mengejar ketertinggalan saya memahami matematika.

Bahkan nama mata pelajaran matematika di Jerman sempat diganti menjadi Mengenlehre namun kembali lagi ke matematika akibat diprotes publik.

Alhasil makin saya berupaya mempelajari matematik makin saya mengalami nasib yang mencoba mempelajari matahari di dalam kisah-kisah rakyat Rusia yang dikisahkan kembali oleh Leo Tolstoi tentang para ilmuwan ingin mempelajari matahari maka terus menerus intensif memelototi matahari sehingga akhirnya buta.

Makin saya mempelajari apa yang disebut musik alih-alih makin paham malah saya makin gagal-paham musik.

Makin saya mempelajari humor malah saya makin tidak mengerti apa yang disebut humor.

Makin lama saya mempelajari lelucon makin saya tidak bisa tertawa akibat lelucon yang sudah kehilangan daya kejutnya akibat sudah saya kenal.

Makin saya mempelajari apa yang disebut sebagai matematika alih-alih makin paham malah makin gagal-paham matematika.

Namun syukur alhamdullilah akhirnya secara kelirumologis saya sadar atas kekeliruan diri saya dalam berupaya mempelajari matematika.

Pada hakikatnya makna matematika memang terlalu luas-dalam, tinggi-rendah,panjang-pendek, vertikal-horisontal, diagonal-sentrifugal untuk dipahami secara abstrak apalagi konkret oleh daya-paham dangkal saya.

Matematika sama halnya dengan filsafat, sains, seni, seks, ekonomi, sosial, politik, ideologi dan lain-lain memang jauh lebih bijak digunakan secara nyata positif dan konstruktif oleh manusia demi kesejahteraan manusia ketimbang diperdebatkan tentang definisinya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi