Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Sejarah Kekuasaan Versus Sejarah Kemanusiaan

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
Editor: Heru Margianto

SAYA menggemari mata pelajaran sejarah di sekolah karena merasa memperoleh kesempatan adu pengetahuan tentang apa yang disebut sebagai sejarah antara apa yang diajarkan oleh guru sejarah melawan apa yang saya baca dari berbagai buku sejarah mau pun ensiklopedia.

Curang

Memang saya terpaksa harus mengakui bahwa diri saya memang curang sebab sejarah yang saya ketahui sama sekali bukan berdasar penelitian saya sendiri tetapi semata berdasar dari apa yang saya baca dari buku sejarah dan/atau ensiklopedia yang ditulis oleh orang lain.

Bahkan kadang sejarah saya simak dari majalah, koran atau film yang kebetulan saya tonton.

Namun sebenarnya saya tidak terlalu curang juga sebab yang diajarkan oleh ibu atau bapak guru sejarah sebenarnya juga bukan berdasar penelitian atau pemikiran para guru saya namun juga berasal dari ajaran guru mereka masing-masing serta buku sejarah yang mereka masing-masing baca.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berarti juga informasi bukan dari tangan pertama.

Mengecewakan

Namun yang mengecewakan saya adalah yang diajarkan oleh para guru sekolah saya ternyata terbatas pada kebedebahan VOC di Nusantara, kekejaman Revolusi Prancis, perang saudara Amerika Serikat, kebengisan Hitler di Eropa, Stalin di Rusia, Jepang di Cina dan Asia Tenggara, Mao di masa Revolusi Kebudayaan, Westerling di Sulawesi, pemberontakan PKI di Madiun dan berbagai kisah kekerasan serta penindasan mengerikan yang dilakukan oleh manusia terhadap sesama manusia.

Tetapi dalam mata pelajaran sejarah terkesan tidak atau minimal kurang diajarkan mengenai kisah-kisah kemanusiaan yang adil dan beradab seperti yang dilakukan oleh Ibu Theresa di Kalkuta, Pedro Arrupe di Jepang, Oscar Romero di San Salvador, Albert Schweitzer di Lambarene, Sandyawan Sumardi di bantaran Ciliwung, keberpihakan Sri Palupi kepada masyarakat adat, pembelaan Wardah Hafids terhadap para tukang becak dan kisah kemanusiaan lain-lainnya.

Kesimpulan

Maka saya memberanikan diri untuk menyimpulkan bahwa pada hakikatnya sejarah yang diajarkan di bangku sekolah lazimnya ditulis pihak penguasa yang sedang berkuasa maka lebih mengutamakan sejarah manusia yang total mengabaikan kemanusiaan demi kekuasaan ketimbang sejarah manusia yang mengabdikan diri kepada bukan keluasaan tetapi kemanusiaan.

Tampaknya di dalam apa yang disebut sebagai sejarah memang ada semacam gejala persaingan antara sejarah kekuasaan versus sejarah kemanusiaan.

Tampaknya yang unggul adalah sejarah kekuasaan yang berhasil menenggelamkan sejarah kemanusiaan.

Maka, jika ingin mengetahui sejarah kemanusiaan tempatnya memang bukan di bangku sekolah yang kurikulumnya ditetapkan oleh penguasa.

Jika ingin belajar sejarah kemanusiaan sebaiknya keluar dari gedung sekolah untuk mempelajari kenyataan kehidupan di luar gedung sekolah yang kurikulumnya tidak diatur oleh kementerian pendidikan.

Mohon dimahfumi maka dimaafkan bahwa kesimpulan saya keliru akibat saya memang terhanyut di dalam arus pemikiran gagasan saya sendiri yaitu kelirumologi apalagi saya memang bukan ilmuwan sejarah maka saya tidak berhak berpendapat tentang sejarah.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi