Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Tragedi Kemanusiaan 28 September

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG
Proses pembongkaran rumah warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta, Rabu (28/9/2016). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur bangunan yang berbatasan langsung dengan sungai Ciliwung dan akan merelokasi warga ke Rusun Rawa Bebek.
Editor: Heru Margianto

PADA pagi hari Kamis 28 September 2016 dua hari menjelang akhir September sebagai hari tragedi nasional G-30-S, dengan menggunakan kursi roda akibat sedang pada masa pemulihan pasca-gangguan kesehatan pencernaan saya datang ke kawasan Bukit Duri.

Kawasan tersebut telah dimaklumatkan oleh pemerintah DKI Jaya untuk digusur atas nama pembangunan infra struktur padahal tanah dan lahan yang akan digusur telah berulang kali ditegaskan oleh Pengadilan Negeri, PTUN, mantan Ketua MK, Mahfud MD serta Menhukham, Yasonna Laoly masih dalam proses hukum.

Apabila dilakukan berarti penggusuran tersebut merupakan pelanggaran hukum secara sempurna.

Niat

Niat saya datang ke kawasan Bukit Duri adalah untuk memohon belas kasihan para Satpol PP dan para petugas penggusuran Pemprov DKI Jakarta berkenan menunda penggusuran tanah dan bangunan yang masih dalam proses hukum di PN dan PTUN.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sayang upaya saya sia-sia belaka. Para petugas penggusuran dan para Satpol PP menegaskan bahwa sebenarnya mereka kasihan kepada rakyat digusur namun terpaksa harus menggusur.

Memang kewajiban mereka menunaikan tugas menggusur berdasar perintah atasan yang sedang duduk di dalam kantor nan sejuk dan nyaman nun jauh dari lokasi peristiwa penggusuran.

Gerobak dorong kecil

Maka terpaksa saya harus menyaksikan dengan dua mata di satu kepala saya sendiri bagaimana seorang ibu yang sedang berada di dalam rumah atau lebih tepat disebut gubuk kumuh dipaksa oleh para Satpol PP DKI Jakarta untuk keluar dari gubuk yang akan dirobohkan sebelum diratakan dengan permukaan bumi dengan buldoser raksasa segede hohah.

Semula saya menduga Sang Ibu mengemas harta benda miliknya akan berlangsung lama.

Tetnyata dalam waktu tidak sampai dua menit sang ibu sudah keluar dari gubuk kumuh sambil menangis mendorong gerobak ukuran kecil berisi seorang anak perempuan balita kecil juga sambil menangis berdampingan dengan sebuah kompor kecil, sebuah wajan, dua piring dan dua pasang sendok garpu, sebungkus pakaian dan ya sudah hanya itu saja.

Ternyata harta benda Sang Ibu memang hanya itu saja. Kemudian ia beserta gerobak dorong berisi balita perempuan dan segenap harta-bendanya berdiri di samping saya.

Kami menangis bersama karena tidak berdaya kecuali menyaksikan dengan mata kepala kami betapa perkasa para petugas merobohkan gubuk kumuh yang masih dalam proses hukum.

Kami bertiga menyaksikan penggusuran yang dilakukan secara sempurna melanggar hukum pertanahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Aneka ragam perasaan

Pada saat menyaksikan gubuk kumuh yang sebenarnya bukan hak milik saya itu dirobohkan berkecamuk aneka ragam perasaan di lubuk sanubari saya.

Mulai dari perasaan kecewa melihat bagaimana sila Kemanusian yang Adil dan Beradab diabaikan justru oleh pemerintah yang seharusnya membela Pancasila.

Perasaan sedih karena terpaksa menyaksikan bagaimana seorang ibu yang sudah miskin malah dibuat makin miskin akibat gubuk kumuhnya digusur secara sempurna melanggar hukum justru oleh pemerintah yang seharusnya menegakkan hukum sampai ke perasaan malu karena ternyata saya sama sekali tidak berdaya mencegah suatu angkara murka pelanggaran hak asasi manusia terjadi di depan mata saya sendiri.

Tragedi kemanusiaan 289

Pada hari Rabu 28 September 2016 saya mengalami suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang mustahill saya lupakan sepanjang sisa hidup saya.

Dengan peristiwa Tragedi Kemanusiaan 289, Yang Maha Kuasa menghentak kalbu lahir batin saya demi memberikan peringatan bahwa pada hakikatnya sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih belum terwujud di Tanah Air Udara tercinta nan indah permai gemah ripah loh jinawi.

Mohon dimengerti maka dimaafkan bahwa naskah ini terpaksa tidak seperti biasa saya tutup dengan pekik merdeka.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi