Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Versatilist dan Auditor Sistem Manajemen
Bergabung sejak: 3 Jun 2021

Sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari menjadi pengajar di beberapa universitas.  Seorang versatilist yang gemar bertualang di dunia maya dan berkolaborasi di dunia nyata, membaca, mengajar, dan menulis. Mari mampir, tegur-sapa di versatilistmilenial2020@gmail.com.

Error 404 – Trust Not Found

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi
Editor: Heru Margianto

JUDUL ini bukan berakar dari ramainya pemberangusan mural beberapa waktu lalu, tetapi penulis kutip dari suatu laporan ilmiah oleh Munich Security Brief dalam tema besar tentang A European Survey on Digital (Dis)trust.  Amat menarik!

Kajian ini dipublikasikan di triwulan pertama 2021 dengan mengungkap fakta makin meruyaknya ketidak-percayaan digital (digital distrust) di antara sesama negara Eropa dan makin tajamnya ketidak-percayaan digital tersebut antara negara-negara Eropa versus Amerika.

Hal ini tak berlebihan bila disebut sebagai suatu ironi, mengingat di dunia nyata negara-negara Eropa dan Amerika telah lama dipahami sebagai suatu sekutu erat nan mesra (kendati baru-baru ini diletupkan insiden gagalnya kontrak pembelian kapal selam Perancis oleh Australia dan diikuti penarikan duta besar Perancis dari Amerika Serikat).

Dalam istilah sederhana, kepercayaan digital didefinisikan sebagai kepercayaan yang dimiliki seseorang terkait kemampuan (dan kemauan) organisasi/lembaga untuk menjaga keamanan data digital mereka dan menanganinya dengan integritas serta akuntabilitas yang memadai dan konsisten.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Justru pada titik inilah, konsistensi adalah kata kunci yang terasa amat langka di negeri ini, sekali gemebyar seremoni, semangat membara di awal-awal selebrasi untuk kemudian perlahan meredup seiring laju sang waktu.

Padahal, kebutuhan akan konsistensi transparansi dapat membuktikan keamanan, keandalan, dan integritas dalam dunia yang sangat terhubung, adalah nyata dan penting serta tak menolerir kelengahan sedetikpun.

Dalam realitas keseharian, kepercayaan (trust) adalah segalanya dalam membina dan menjaga relasi antar individu beserta segenap kohesinya dalam suatu tatanan sosial masyarakat.

Sudah dimahfumi bahwa menyalahgunakan, menghilangkan, atau mengeksploitasi kepercayaan bakal memberangus serta melenyapkan tidak saja kepercayaan pihak lain kepada kita, bahkan berpotensi besar menipiskan tingkat keberhasilan kita dalam usaha dan upaya lainnya.

Lenyapnya trust bakal mengoyak reputasi kita dan membiakkan saling-curiga secara cepat dan eksponensial.

Demikian pula di dunia maya, di jagad virtual, apapun kanalnya, apapun modusnya, walau tak pernah bersua secara fisik atau nyata, kepercayaan pasti runtuh dan distrust tumbuh dengan pesat tatkala kita tidak mampu menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh pengguna (users).

Empat pilar kepercayaan digital

Sebelumnya, di September 2020 lalu, Fletcher School dari Universitas Tufts dalam kemitraan dengan Mastercard juga telah melakukan analisis skala besar yang mengeksplorasi variasi global terkait digital trust.

Senada seirama dengan pembahasan dalam kajian di atas tadi, sedikitnya ada empat komponen utama yang menjadi pilar berdiri tegaknya kepercayaan digital, yakni

  1. keamanan dan kelayakan lingkungan digital (digital ecosystem);
  2. kualitas pengalaman pengguna digital;
  3. sikap pengguna dalam memercayai lingkungan digital mereka;
  4. dan sejauh mana keterlibatan pengguna dalam mendaya-gunaka media digital yang tersedia bagi mereka serta berperanserta dalam membangun keamanan digital demi tegaknya digital trust.

Sudah barang tentu, hasil kajian ini mesti disikapi secara kritis, karena fenomena digital trust ataupun digital distrust bukanlah bersifat monolitik, ia adalah fenomena yang multi-faset sifatnya.

Dalam upaya membangun kepercayaan pada sistem digital yang menghubungkan kita semua, pertama-tama adalah amat penting untuk memahami bagaimana orang (atau users) memercayai atau tidak memercayai ekosistem digital yang tersedia dan digunakan saat ini.

Misalnya, jika dua negara menawarkan lingkungan e-commerce yang serupa, tetapi proporsi pengguna yang lebih besar di satu negara benar-benar menggunakan sistem tersebut daripada di negara lain, itu menunjukkan bahwa negara pertama menunjukkan tingkat kepercayaan pengguna yang lebih besar.

Tentu saja, semua ini adalah upaya pengukuran holistik yang bergantung pada banyak faktor, khususnya konteks setempat masyarakat pengguna yang berbeda dari satu negara ke negara lainnya.

Dengan kata lain, sebagaimana pernah disinggung di awal, digital trust itu tidaklah bersifat monolitik. Skor tinggi dalam penelitian ini sama sekali tidak menjamin bahwa hal itu akan berlaku sama dalam aspek lain yang diukur.

Misalnya, Belanda menempati peringkat 1 dalam Sikap dan Swiss menempati peringkat 2 dalam Lingkungan, sementara keduanya mendapat skor rendah dalam Perilaku; demikian pula, China berada di peringkat 1 dalam Perilaku pengguna, tetapi mendapat skor jauh lebih rendah di Lingkungan atau ekosistem digital.

Dalam konteks Indonesia, selama ini banyak fokus cenderung diarahkan pada peran penjamin kepercayaan yaitu pemerintah dan lembaga yang membangun dan mengatur ekosistem digital kita.

Disadari atau tidak, sebagaian besar di antara kita sedikit abai bahwa pengguna sendiri juga memiliki peran utama dalam menumbuhkan kepercayaan pada digital trust ekosistem digital kolektif kita.

Ketika datang ke dunia digital, bukan hanya perusahaan yang menciptakan industri, dan bukan hanya regulator yang menentukan keamanannya, tetapi seyogyanya kita makin menyadaari bahwa sebagian besar konten digital dibuat oleh dan dari pengguna.

Sehingga, sebagian besar keamanan dan privasi data bergantung pada bagaimana pengguna individu terlibat dengan sistem ini.

Ada banyak seruan baru-baru ini untuk meningkatkan regulasi data dan konten, tetapi sama pentingnya bagi pembuat kebijakan dan teknolog untuk berinvestasi dalam membangun kesadaran akan risiko siber dan informasi yang salah di antara pengguna.

Ini dapat berupa lokakarya profesional, kursus literasi data, atau bahkan kelas pendidikan media yang diarahkan untuk menumbuhkan kebiasaan baik sejak dini.

Namun, sekali lagi tetap perlu kita pahami bersama bahwa kepercayaan digital bukanlah konsep yang statis belaka, bila suatu level tertentu tercapai maka seterusnya akan berlaku demikian? Tidak!

Berbagai upaya dan intervensi pembangunan kepercayaan digital mana pun — baik di tingkat institusional maupun individu — haruslah bersifat proaktif, berwawasan ke depan, dan disesuaikan dengan dinamika perubahan perilaku, sikap, pengalaman, dan lingkungan unik ekosistem digital yang dipergunakan.

Mewujudkan suatu kepercayaan digital demi kemashalatan bersama adalah never ending journey, tetap semangat gaes!

 

 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi