Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Peristiwa G30S/PKI

Baca di App
Lihat Foto
Harian Kompas
Tangkapan layar Harian Kompas 6 Oktober soal Peristiwa G30S
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Hari ini 56 tahun yang lalu, Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) yang memakan korban sejumlah jenderal TNI AD terjadi pada 1965.

Mereka yang menjadi korban dalam peristiwa memilukan ini adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tistodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, Lettu Pierre Andreas Tendean.

PKI beralasan, para jenderal itu akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno melalui Dewan Jenderal.

Baca juga: 5 Fakta Film G30S/PKI, dari Film Wajib Era Soeharto hingga Pecahkan Rekor Penonton

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kronologi peristiwa G30S/PKI

Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Letkol (Inf) Untung Samsoeri menuju Lubang Buaya untuk inspeksi pada 1 Oktober 1965. Dini hari itu, Untung memimpin upaya kudeta yang akan mengubah garis sejarah.

Kudeta yang awalnya diberi nama Operasi Takari itu diubah di saat akhir menjadi Gerakan 30 September agar tidak berbau militer.

Kata Untung, Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit memerintahkan agar pelaksanaannya ditunda menjadi 1 Oktober sampai pasukan siap dan lengkap.

Baca juga: Peringatan G30S/PKI dan Aturan soal Pengibaran Bendera Setengah Tiang...

Menjelang pelaksanaan, nama Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta dicoret dari sasaran. Tujuannya, untuk menyamarkan kudeta sebagai konflik internal.

Untung membagi eksekutor ke dalam tiga satuan tugas.

Satgas Pasopati pimpinan Letnan I (Inf) Abdul Arief dari Resimen Tjakrabirawa bertugas menangkap tujuh jenderal yang jadi sasaran.

Satgas Bimasakti dipimpin Kapten (Inf) Soeradi Prawirohardjo dari Batalyon 530/Brawijaya, bertugas mengamakan ibu kota dan menguasai kantor Pusat Telekomunikasi dan Studio RRI Pusat.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Film Pengkhianatan G30S/PKI Tak Lagi Wajib Disiarkan

Penculikan berubah jadi serangan berdarah

Terakhir, satgas Pringgodani di bawah kendali Mayor (Udara) Soejono, bertugas menjaga basis dan wilayah di sekeliling Lubang Buaya, yang rencananya akan jadi lokasi penyanderaan para jenderal.

Usai memeriksa kesiapan di Lubang Buaya, Untung bersama bawahannya Kolonel (Inf) Latief, bergerak ke Gedung Biro Perusahaan Negara Aerial Survey (Penas) di Jalan Jakarta By Pass (kini Jalan Jend. A Yani), Jakarta Timur.

Sehari-hari, gedung itu disewa Angkatan Udara (AURI). Namun di malam senyap itu, Soejono menyiapkan Gedung Penas sebagai Central Komando (Cenko) I untuk memantau jalannya operasi penangkapan para jenderal.

Baca juga: Mengenang Perjalanan Hidup Pramoedya Ananta Toer...

Julius Pour mencatat, operasi penculikan di bawah Untung direncanakan secara serampangan. Banyak yang akan dilibatkan, tak jadi datang.

Jumlah pasukan kurang dari 100 personel, jauh dari yang diharapkan mampu memantik revolusi.

Selanjutnya, apa yang dikhawatirkan Untung pun terjadi. Penculikan berubah jadi serangan berdarah.

Baca juga: Kisah Pengambilan Jasad 7 Pahlawan Revolusi di Sumur Lubang Buaya

Pukul 03.30, anggota Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Sersan Kepala Bungkus mengingat pasukannya yang terakhir diberangkatkan dari Lubang Buaya.

Ia khawatir, alokasi 15 sampai 20 menit untuk meluncurkan penculikan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani, tak akan cukup.

"Saya sendiri berpikir kok hanya 20 menit, peluangnya pasti singkat sekali? Meski begitu saya tidak lupa. Perintahnya jelas, saya mendengar langsung dari Letnan I Abdul Arief, '...tangkap sasaran, hidup atau mati'," kata Bungkus.

Baca juga: Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api, Bagaimana Sejarahnya?

Cerita Nasution selamat dari penculikan PKI

Sesampai di kediaman Yani di Jalan Lembang, Menteng, Jakata Pusat, Bungkus dan rekan-rekannya segera meminta Yani ikut dengan alasan akan dibawa ke hadapan presiden.

Yani pun meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Bungkus dan rekan-rekannya menolak permintaan itu dan marah.

Yani menampar salah satu prajurit dan mencoba menutup pintu rumahnya. Salah satu prajurit melepaskan tembakan, dan mengenai Yani hingga membunuhnya.

Baca juga: 4 Oktober 1965, 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Dievakuasi dari Sumur Lubang Buaya

Masih di kawasan Menteng, tepatnya di Jalan Teuku Umar, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tak bisa tidur nyenyak.

Menjelang pukul 04.00, mereka terbangun oleh suara kendaraan dan bunyi tembakan.

Pintu rumah dibuka paksa. Johana (istri AH Nasution) segera mengecek apa yang gerangan terjadi. Tak lama, Johana kembali ke kamar dan mengunci pintu sambil berbisik, "...ada Tjakrabirawa, kamu jangan keluar."

Baca juga: Mengenang Presiden Soekarno dan Warisan Pemikirannya...

Ade Irma yang terbangun memeluk kaki ibunya. Nasution tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia pun membuka pintu untuk memastikan kendati sudah ditahan istrinya.

"Saya tetap membuka pintu kamar tidur. Di depan pintu, dalam jarak satu setengah meter, tampak seorang prajurit Tjakrabirawa yang langsung melepaskan tembakan. Otomatis pintu saya tutup dan segera tiarap," kata Nasution.

Mendengar kegaduhan, adik Nasution, Mardiah, terbangun. Ia berusaha menyelamatkan Ade Irma dengan menggendongnya ke kamar lain.

Baca juga: Biografi Singkat Soekarno, Masa Kecil hingga Perjuangan Kemerdekaan

Namun karena gugup, Mardiah salah membuka pintu. Mardiah yang menggendong Ade Irma disambut rentetan tembakan.

Nahas, peluru yang ditembak mengenai punggung Ade Irma Suryani. Pintu pun langsung ditutup Johana dan menggendong tubuh Ade Irma Suryani yang bersimpah darah.

Setelah hari menjelang pagi, Ade Irma dibawa ke RSPAD untuk mendapatkan pertolongan. Ade Irma sempat menjalani operasi beberapa kali.

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Ade Irma Suryani meninggal dunia.

Sementara itu, Nasution sendiri berhasil menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 21 Mei 1998 Soeharto Lengser Setelah 32 Tahun Menjabat Presiden RI

Pendudukan RRI

Memasuki fajar, seluruh pasukan G30S kembali ke Lubang Buaya.

Wakil Komandan Satgas Pringgodani Mayor (Udara) Gatot Soekrisno kebingungan ketika para prajurit menurunkan empat orang yang terikat dan ditutup matanya, serta tiga mayat.

Padahal, mereka sedianya akan dihadapkan kepada Soekarno.

"Saya segera menghubungi Mayor (Udara) Soejono, Komandan Satgas Pringgidani di Cenko I, minta petunjuk, bagaimana menangani kondisi baru yang menyimpang dari skenario awal tersebut," kata Gatot.

Baca juga: Heboh Twit Dirut TVRI Iman Brotoseno soal Film Porno, Ini Klarifikasinya...

Rentetan peristiwa itu kemudian berlanjut dengan pendudukan kantor berita Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Gerakan 30 September.

Harian Kompas, 6 Oktober 1965 mencatat, orang-orang yang terlibat dalam gerakan itu mengenakan baret dan sapu tangan hijau di sekeliling leher.

Mereka kemudian melakukan siaran gelap dan menyatakan membentuk Dewan Revolusi Indonesia. Kabinet Dwikora yang dibentuk Bung Karno juga dinyatakan demisioner oleh mereka.

Baca juga: Dirgahayu Ke-75 TNI AU: Logo, Tema, dan Sejarah TNI AU

Mereka juga mengumumkan penangkapan sekelompok orang yang disebut Dewan Jenderal. Mereka berdalih, langkah itu dilakukan untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari apa yang mereka sebut Dewan Jenderal.

Dewan Jenderal, menurut mereka, merupakan gerakan subversif dan disponsori oleh CIA dan bermaksud menggulingkan pemerintahan Soekarno.

Namun, pendudukan RRI itu hanya bertahan kurang dari sehari, karena sekitar jam 7 sore pasukan RPKAD mengambil alih RRI. Beberapa tertangkap namun ada juga yang kabur.

Lalu pada 1 Oktober 2021 pukul 21.00, RRI Jakarta sudah mulai mengumandangkan lagi suara resmi pemerintahan RI. Sepenuhnya ibu kota di tangan ABRI dan orang-orang dalam kelompok G30S menjadi buronan.

Baca juga: Simak, Apa Saja Syarat Kenaikan Pangkat Prajurit TNI?

(Sumber: Kompas.com/Nur Fitratus Shalihah/Nibras Nada Nailufar | Editor: Rizal Setyo Nugroho).

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi