Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Foto Aurora di Langit Yogyakarta, Ini Penjelasan Lapan

Baca di App
Lihat Foto
Twitter: @Merapi_uncover
Tangkapan layar foto yang menyebut adanya aurora di Langit Tumpeng Menoreh Yogyakarta.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Di media sosial, ramai soal foto yang menyebut fenomena langit mirip aurora borealis di langit Tumpeng Menoreh, Yogyakarta. Foto ini viral di media sosial Twitter pada Sabtu (2/10/2021).

"Berawal dari keisengan ditengah malam, berakhir dengan sebuah kepuasan karena berhasil memotret “aurora” di Langit Tumpeng Menoreh Jogja! Photo by jhodytography_," tulis akun Twitter @merapi_uncover.

Twit tersebut menyertakan foto langit yang terdapat kilatan cahaya berwarna hijau.

Hingga Minggu (3/10/2021), twit tersebut sudah diretwit sebanyak 18 kali dan disukai sebanyak 117 kali oleh pengguna Twitter lainnya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Fenomena Equinox di Sejumlah Wilayah Indonesia, Ini Penjelasan Lapan

Apakah memang aurora?

Peneliti Pusat Riset Sains Antariksa-Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Andi Pangerang mengatakan, fenomena langit yang berwarna kehijauan itu bukan aurora borealis.

"Bukan aurora. Untuk yang di Jogja ini saya curiga dari pengolahan gambarnya sehingga menimbulkan warna kehijauan karena daerah sekitar khatulistiwa dan lintang rendah mustahil mengalami aurora," ujar Andi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (3/10/2021).

Menurut dia, aurora borealis dan australis hanya terjadi di kutub utara dan selatan Bumi.

Sebab, di kutub utara dan selatan ada angin maupun badai Matahari yang berinteraksi dengan magnetosfer Bumi atau lapisan medan magnet yang melindungi Bumi.

"Akibatnya, muncul guncangan berupa bow shock, sehingga partikel berenergi tinggi yang berasal dari angin/badai matahari terlepas dan mengalir ke kutub-kutub Bumi, sehingga menimbulkan aurora," papar Andi.

Penyebab aurora mustahil berada di daerah khatulistiwa

Andi mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat aurora mustahil terjadi di daerah khatulistiwa.

Ia menjelaskan, Bumi ibarat medan magnet raksasa.

Medan magnet raksasa ini memiliki garis-garis gaya magnet yang bergerak dari kutub utara magnetik ke kutub selatan magnetik.

"Karena garis-garis gaya magnet ini bergerak sehingga sisi siang Bumi (yang menghadap Matahari) hanya dilalui oleh garis-garis gaya magnetnya saja," ujar Andi.

Sementara, ketika angin/badai Matahari berinteraksi dengan medan magnet Bumi, medan magnet sisi siang akan tertekan dan terdorong menuju ke kutub-kutubnya.

"Dari hal tersebut, sehingga aurora tidak memungkinkan terjadi di khatulistiwa," lanjut dia.

Baca juga: Hari Tanpa Bayangan Mulai 6 September-21 Oktober, Ini Penjelasan Lapan

Fenomena airglow

Andi mengatakan, fenomena yang mirip dengan aurora borealis adalah airglow.

Fenomena airglow umumnya disaksikan dari ketinggian 200-300 kilometer di atas permukaan Bumi, di mana kelengkungan/kurvatur Bumi terlihat.

Namun, Andi mengatakan, fenomena langit yang di Yogyakarta bukan airglow maupun aurora.

"Yang di Jogja tidak bisa disebut airglow juga, karena airglow lebih 'tipis' dibandingkan dengan aurora dan hanya terlihat di ketinggian 200-300 kilometer di atas permukaan Bumi," ujar Andi.

Airglow, lanjut dia, tak terjadi di eksosfer seperti aurora, melainkan di ionosfer (lapisan atmosfer yang terionisasi).

Selain airglow, di lapisan ionosfer juga terjadi gelembung plasma (plasma bubble).

Andi mengatakan, gelembung plasma terjadi karena mekanisme Invarian Waktu Rayleigh.

Sederhananya, pada lapisan ionosfer ada bagian yang terionisasi, yakni bagian yang lebih ringan dan bagian yang tidak terionisasi, yakni bagian yang lebih berat.

"Ketika bagian atmosfer yang lebih padat berada di atas bagian atmosfer yang lebih renggang," ujar Andi.

"Bagian yang renggang ini akan bergerak ke atas karena lebih ringan sehingga mendorong bagian yang ringan ini menerobos ke bagian yang lebih padat. Kemudian, memunculkan gelembung plasma," kata dia.

Gelembung plasma ini hanya terlihat secara visual setelah diolah terlebih dulu citranya.

Untuk mengamatinya menggunakan kamera all-sky yang medan pandangnya omnidireksional (ke segala arah atau 360 derajat).

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi