Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Hanya soal NIK Jadi NPWP, Berikut Poin-poin Aturan dalam UU HPP

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/SUKARMAN ST
Ilustrasi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau NPWP. Cara buat NPWP online.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com – Nomor Induk Kependudukan (NIK) kini difungsikan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi orang pribadi.

Hal tersebut seiring dengan disahkannya Rencana Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Kamis (7/10/2021).

Namun UU HPP diketahui tak hanya mengatur hal tersebut.

Baca juga: Demi Masa Depan, Lebih Baik Menabung atau Investasi?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengutip pemberitaan Kompas.com pada 7 Oktober 2021, dengan pengesahan Undang-Undang ini, maka penghasilan kena pajak (PKP) orang pribadi ditingkatkan menjadi Rp 60 juta dari sebelumnya Rp 50 juta dengan tarif PPh sebesar 5 persen.

Sehingga pekerja baru akan ditarik pajaknya sebesar 5 persen atas penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 60 juta per tahun dan bukan lagi Rp 50 juta.

"Artinya masyarakat dengan penghasilan Rp 4,5 juta per bulan tetap terlindungi dan tidak membayar pajak sama sekali," kata Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dikutip dari Kompas.com, Kamis (7/10/2021)

Baca juga: Penyebab Mengapa Harga Emas Kerap Naik Turun

Setidaknya ada enam kelompok pengaturan yang ditetapkan dalam UU HPP ini yakni:

  1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
  2. Pajak Penghasilan (PPh)
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  4. Program Pengungkapan Sukarela (PPS)
  5. Pajak Karbon
  6. Cukai

Berikut ini rincian aturan penting yang ada pada UU HPP seperti yang disampaikan Direktorat Jenderal Perpajakan (DJP) dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat (8/10/2021):

1. Kelompok ketentuan umum dan tata cara perpajakan 

  • Pemberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP).
  • Pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), selama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
  • Sinkronisasi dengan Undang-Undang Cipta Kerja dalam penerapan sanksi administrasi perpajakan
  • Pengaturan asistensi penagihan pajak global
  • Kesetaraan pengenaan sanksi melalui penurunan sanksi terkait permohonan keberatan atau banding wajib pajak
  • Pengaturan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) supaya bisa berjalan secara simultan dengan proses keberatan atau banding
  • Kuasa Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali Kuasa Wajib Pajak yang merupakan suami, istri, keluarga, sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
  • Sinergi antar instansi pemerintah untuk melakukan pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan kerja sama.

Baca juga: Viral Unggahan Foto Pajak Tukang Bakso Rp 6 Juta Sebulan, Ini Penjelasan BPKAD Kota Binjai

2. Kelompok Pajak Penghasilan (PPh)

Terdapat perubahan lapisan dan tarif penghasilan pajak yakni menjadi:

  • Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta kena tarif 5 persen
  • Penghasilan di atas Rp 60 juta-Rp 250 juta kena tarif 15 persen
  • Penghasilan di atas Rp 250 juta-Rp 500 juta kena tarif 25 persen
  • Penghasilan di atas Rp 500 juta-Rp 5 miliar kena tarif 30 persen
  • Penghasilan di atas Rp 5 miliar kena tarif 35 persen.

Selain itu, terdapat sejumlah aturan lain terkait Pajak Penghasilan yang disampaikan dalam UU HPP ini, yakni:

  • Pemberian dalam bentuk natura yang dapat dibiayakan.
  • Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta.
  • Pengaturan kembali penyusutan dan amortisasi.
  • Pemberlakuan tarif PPh Badan menjadi 22 persen mulai Tahun Pajak 2022.
  • Penyempurnaan upaya mencegah penghindaran pajak dengan menerapkan metode yang sesuai dengan international best practice.
  • Penambahan kewenangan Pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian multilateral.

Baca juga: Penjelasan Korlantas tentang Aplikasi SIGNAL, Bisa Urus STNK Online

3. Kelompok Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

  • Penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari barang dan jasa yang tidak dikenai PPN (negative list) dan memindahkannya menjadi barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
  • Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen yang mulai berlaku 1 April 2022, kemudian menjadi 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
  • Kemudahan dan kesederhanaan PPN dengan tarif final untuk barang atau jasa kena pajak tertentu.

Baca juga: Netflix, Diburu Sri Mulyani, Dirangkul Nadiem Makarim

4. Kebijakan dalam Program Pengungkapan Sukarela

Kebijakan I, subyek merupakan wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan badan peserta Tax Amnesty (TA) dengan basis aset per 31 desember 2015 yang belum diungkap saat Tax Amnesty.

Adapun tarif PPH finalnya yakni:

  • 11 persen untuk deklarasi
  • 8 persen untuk asset Luar Negeri (LN) repatraiasi dan asset Dalam Negeri (DN)
  • 6 persen untuk asset LN repatriasi dan asset DN yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN)/hilirisasi/renewable energy.

Kebijakan II, subyek WP OP dengan basis aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 dengan tarif PPh Final:

  • 18 persen untuk deklarasi
  • 14 persen untuk asset LN repatriasi dan asset DN
  • 12 persen untuk asset LN repatriasi dan asset DN yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.

Baca juga: Cara Lapor SPT Pajak dan Syaratnya

5. Kebijakan dalam pengenaan Pajak Karbon

Tarif pajak karbon ditetapkan Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dengan implementasi 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara

6. Cukai

Terkait dengan perubahan pengaturan cukai, DJP menyebut, dalam keterangannya kewenangan berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Baca juga: Saat Kenaikan Cukai Rokok Disebutkan Masih Terlalu Kecil...

Tujuan UU HPP

Sebagaimana diketahui, tujuan UU HPP adalah meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi.

“Pemulihan ekonomi dan mengembalikan pertumbuhan membutuhkan banyak sekali pemihakan dan resources dan harus di-design secara sangat hati-hati dan detail. Kita menggunakan semua hal instrumen yang ada di dalam pemerintahan, APBN, perpajakan baik pajak dan bea cukai, PNBP, belanja negara, belanja daerah,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rilis tersebut.

Selain itu, UU tersebut diharapkan bisa mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum, melaksanakan reformasi, administrasi serta kebijakan perpajakan sehingga makin harmonis dan konsolidatif.

“Dengan UU HPP, maka kita ingin terus meningkatkan sukarela kepatuhan wajib pajak,” imbuhnya.

Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS, Diteken Presiden, Ditolak DPR hingga Diamnya Sri Mulyani 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi