Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Update Corona 15 Oktober: WHO Bentuk Tim Baru Selidiki Asal-usul Covid-19

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/Shutterstock/Ridersuperone
Ilustrasi virus corona di dunia
Penulis: Mela Arnani
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Dua tahun berlalu, dan pandemi Covid-19 tak kunjung usai. Kasus baru infeksi virus corona masih dilaporkan di berbagai negara.

Melansir Worldometers Jumat (15/10/2021), terdapat total 240.329.146 kasus Covid-19 di seluruh dunia, dengan 217.589.541 kasus sembuh, dan 4.896.149 kasus meninggal.

Sementara itu, lima negara dengan kasus terbanyak, yaitu:

  1. Amerika Serikat (45.625.038 kasus)
  2. India (34.036.684 kasus)
  3. Brasil (21.612.237 kasus)
  4. Inggris (8.317.439 kasus)
  5. Rusia (7.892.980 kasus)

Adapun jumlah kasus Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, yakni total 4.232.099 kasus, sembuh 4.069.399 kasus, dan meninggal 142.848 kasus.

Berikut update corona global 15 Oktober 2021:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Daftar Indeks Pemulihan Covid-19, Indonesia Nomor 1 Se-ASEAN

WHO bentuk tim baru selidiki asal-usul virus corona

WHO mengumumkan pembentukan kelompok penasihat ilmiah untuk mengidentifikasi asal-usul Covid-19.

Kelompok Penasihat Ilmiah WHO untuk Origins on Novel Pathogens atau SAGO akan mencakup para ilmuwan dari AS, China, dan sekitar dua lusin negara lainnya.

Para ilmuwan akan mencoba mengungkap bagaimana virus corona pertama kali menginfeksi manusia, termasuk bertanggung jawab untuk membangun kerangka kerja dalam memerangi pandemi di masa depan.

Tim akan dipilih dari lebih 700 aplikasi para ahli di bidang epidemiologi, kesehatan hewan, ekologi, kedokteran klinis, virologi, genomik, epidemiologi molekuler, biologi molekuler, biologi, keamanan pangan, keamanan hayati, biosekuriti, dan kesehatan masyarakat.

Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, memahami dari mana patogen baru berasal, penting untuk mencegah wabah di masa depan.

“Kemunculan virus baru yang berpotensi memicu epidemi dan pandemi adalah fakta alam, dan meskipun SARS-CoV-2 merupakan virus terbaru, ini bukan yang terakhir,” ujar dia, seperti dikutip dari Upr.org, Jumat (15/10/2021).

Baca juga: Peluang Ungkap Asal Usul Covid-19 Hampir Tertutup, Lalu Bagaimana Selanjutnya?

China tolak penyelidikan asal usul Covid-19

Pembentukan kelompok terjadi saat China terus menolak upaya untuk mempelajari kemungkinan asal virus di sana.

Setelah penyelidikan awal oleh WHO, China menolak rencana penyelidikan fase kedua pada Juli, yang mungkin menggali berbagai hipotesis tentang asal usul virus, termasuk kemungkinan virus tersebut lolos dari laboratorium pemerintah China di Kota Wuhan.

Teori kebocoran laboratorium awalnya ditolak oleh WHO, tapi tetap mendapatkan daya tarik dalam beberapa bulan terakhir, sebagian didorong oleh kerahasiaan Beijing.

Banyak ilmuwan berpendapat bahwa kebocoran laboratorium jauh lebih kecil kemungkinannya dibandingkan alternatifnya, bahwa virus corona baru memiliki asal usul alami.

China tidak segera bereaksi terhadap pengumuman gugus tugas baru.

Terlepas dari temuan WHO, Tedros telah menyerukan audit laboratorium Wuhan, termasuk Institut Virologi Wuhan, yang diyakini beberapa ilmuwan sebagai sumber virus yang menyebabkan infeksi pertama di China.

Beberapa anggota SAGO yang diusulkan berada di tim WHO, sebanyak 10 orang yang mempelajari kemungkinan asal-usul di China, termasuk ilmuwan China Yungui Yang dari Beijing Institute of Genomics di Chinese Academy of Sciences.

Baca juga: Selidiki Asal-usul Covid-19, China Bersiap Uji Puluhan Ribu Sampel Darah

Tim akan memulai penyelidikan

Sebuah editorial yang ditulis bersama oleh Tedros yang diterbitkan di Science pada Rabu, mengatakan SAGO akan dengan cepat menilai status studi asal SARS-CoV-2 dan memberi tahu WHO tentang apa yang diketahuinya.

"Semua hipotesis harus terus diperiksa, termasuk studi tentang satwa liar yang dijual di pasar di dalam dan sekitar Wuhan, China (tempat kasus Covid-19 pertama kali dilaporkan pada Desember 2019),” tulis dia.

Selain itu, studi tentang virus mirip SARS virus corona yang beredar pada kelelawar di China dan Asia Tenggara, studi tentang pengambilan sampel biologis prapandemi di seluruh dunia, dan studi kerentanan hewan lainnya.

"Hipotesis laboratorium harus diperiksa dengan hati-hati, dengan fokus pada laboratorium di lokasi di mana laporan pertama infeksi manusia muncul di Wuhan," kata dia.

“Kecelakaan laboratorium tidak dapat dikesampingkan sampai ada cukup bukti untuk membuktikannya. melakukannya dan hasilnya dibagikan secara terbuka,” pungkas Tedros.

Baca juga: Draf Laporan WHO Sebut Ada 4 Skenario Asal Usul Corona, Ini Temuannya

Kasus kematian Covid-19 termuda di Singapura

Singapura melaporkan seorang pria berusia 23 tahun menjadi kematian Covid-19 termuda di negaranya, dengan tambahan 15 orang meninggal akibat komplikasi virus tersebut.

Sebanyak 15 kasus kematian ini terdiri dari delapan pria dan tujuh wanita, termasuk pria 23 tahun yang telah mendapatkan vaksinasi dosis pertama dan pria 34 tahun yang tidak divaksinasi, dengan keduanya mempunyai beberapa komorbid atau penyakit penyerta.

13 orang lainnya yang meninggal, berusia 60-89 tahun, dengan delapan orang tidak divaksinasi dan lima orang divaksin lengkap. Semuanya mempunyai berbagai kondisi medis yang mendasarinya.

Pada Kamis (14/10/2021), negara ini melaporkan 2.932 kasus baru dengan jumlah kematian akibat virus corona naik menjadi 207 orang.

Kasus baru yang dilaporkan, terdiri dari 2.929 infeksi lokal dan tiga kasus impor.

Dituliskan CNA, sebanyak 2.823 kasus berada di fasilitas perawatan masyarakat dan 438 kasus di fasilitas perawatan Covid-19.

Adapun 1.511 pasien yang dirawat di rumah sakit, sebanyak 310 pasien membutuhkan suplementasi oksigen dan 46 lainnya dalam perawatan intensif.

Selama 28 hari terakhir, di antara 63.299 orang yang terinfeksi, 1,1 persen membutuhkan oksigen dan 0,1 persen berada di perawatan intensif.

Di antara yang membutuhkan suplementasi oksigen atau perawatan intensif, sebanyak 50,1 persen divaksinasi lengkap dan 49,9 persen tidak divaksinasi atau divaksinasi sebagian.

Baca juga: Kesempatan Terakhir, WHO Bentuk Tim Baru Selidiki Asal-usul Covid-19

WHO: Kematian tuberkulosis meningkat karena Covid-19

Tuberkulosis (TB) meningkat lagi secara global untuk pertama kalinya dalam satu dekade, terkait gangguan akses ke layanan kesehatan karena pandemi Covid-19.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, kemunduran ini telah menghapus kemajuan bertahun-tahun dalam menangani penyakit yang dapat disembuhkan, yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia.

“Ini adalah berita mengkhawatirkan yang harus menjadi peringatan global akan kebutuhan mendesak akan investasi dan inovasi untuk menutup kesenjangan dalam diagnosis, pengobatan, dan perawata bagi jutaan orang yang terkena penyakit ini tapi dapat dicegah dan diobati,” ujar Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus seperti dikutip dari CNA, Jumat (15/10/2021).

Dalam laporan tahunan TB untuk 2020, WHO mengungkapkan kemajuan dalam pemberantasan penyakit ini menjadi lebih buruk dikarenakan meningkatnya jumlah kasus yang tidak terdiagnosis dan tak diobati.

Organisasi ini memperkirakan sekitar 4,1 juta orang menderita tuberkulosis tapi belum didiagnosis atau dinyatakan secara resmi, naik tajam dari 2,9 juta pada 2019.

Pandemi corona telah memperburuk situasi penderita tuberkulosis, karena dana kesehatan telah dialihkan untuk mengatasi corona dan orang-orang berjuang mengakses perawatan karena penguncian.

Ada juga penurunan jumlah orang yang mencari pengobatan pencegahan, dari 2,8 juta orang pada 2020, turun 21 persen dari 2019.

“Laporan ini menegaskan ketakutan kami bahwa gangguan layanan kesehatan penting karena pandemi dapat mulai mengungkap kemajuan bertahun-tahun melawan tuberkulosis,” ujar Tedros.

Sekitar 1,5 juta orang meninggal karena TB pada 2020, termasuk 214.000 di antara orang HIV-positif.

Jumlah tersebut naik dari 1,2 juta pada 2019, dengan 209.000 di antaranya positif HIV.

Peningkatan jumlah kematian akibat TB terjadi terutama di 30 negara dengan beban TB tertinggi.

Sebagian besar kasus TB hanya terjadi di 30 negara, banyak di antaranya negara di Afrika dan Asia, dan lebih dari separuh kasus baru terjadi pada pria dewasa, sedangkan wanita menyumbang 33 persen kasus dan anak-anak 11 persen.

“Tujuan WHO adalah mengurangi kematian akibat TB sebesar 90 persen, dan tingkat kejadian hingga 80 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2015, tetapi angka-angka terbaru mengancam untuk membahayakan strategi tersebut,” papar Tedros.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi