Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Kecelakaan Lion Air JT 610, 189 Orang Tewas

Baca di App
Lihat Foto
ADEK BERRY/AFP
Bagi Lion Air, investigasi yang dilakukan menghasilkan rekomendasi sebagai langkah perbaikan bagi Lion Air agar kecelakaan serupa tidak akan pernah terulang.
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Hari ini tiga tahun lalu, tepatnya pada 29 Oktober 2018, Pesawat Boeing 737 MAX 8 Lion Air penerbangan JT 610 mengalami kecelakaan.

Pesawat yang akan terbang dari Jakarta ke Pangkal Pinang itu jatuh 13 menit setelah mengudara.

Kejadian tragis ini menewaskan 189 orang yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, 5 kru pesawat.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Mengenang Satu Tahun Jatuhnya Lion Air JT 610

Kronologi jatuhnya pesawat

Pesawat Lion Air JT-610 lepas landas pada pukul 06.20 WIB dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Depati Amir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesawat dijadwalkan akan tiba di tujuan sekitar pukul 07.20 WIB.

Dikutip Kompas.com, 30 Oktober 2018, pada pukul 06.22 WIB, pilot menghubungi Jakarta Control dan menyampaikan masalah flight control di ketinggian 1.700 feet.

Pilot meminta naik ke ketinggian 5.000 feet. Kemudian, Jakarta Control mengizinkan pesawat naik ke 5.000 feet.

10 menit kemudian, tepatnya pada pukul 06.33 WIB, pesawat lost of contact atau hilang kontak dari radar.

Catatan terakhir sebelum hilang kontak, pesawat berada di ketinggian 2.500 feet.

Terkonfirmasi bahwa 13 menit setelah mengudara, pesawat jatuh pada pukul 06.33 WIB di koordinat S 5'49.052" E 107'06.628" atau di sekitar perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Baca juga: Ramai Rekaman Disebut dari Blackbox Lion Air JT-610, Ini Kata KNKT

Melansir Harian Kompas, 6 November 2018, jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 bernomor registrasi PK-LQP dapat segera terlacak berdasarkan pantauan radar Automatic Dependent Surveillance-Broadcast atau ADS-B di Air Navigation Indonesia Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Berdasarkan analisis, dari ketinggian 1.200 meter pesawat meluncur ke bawah dengan kecepatan 685 km per jam atau 190,3 meter per detik.

Dalam waktu 6,3 detik, pesawat sudah membentur permukaan laut. Proses penurunannya berlangsung sangat cepat, sehingga tidak diketahui penduduk di sekitar kejadian. Mereka hanya mendengar ledakannya.

Basarnas menerima laporan air traffic control bahwa JT 610 lost contact. Setelah dikonfirmasi, Basarnas mengirim tim ke lokasi hilang kontak.

Setelah mengerahkan berbagai tim penyelamat, pada pukul 13.02 WIB tim lapangan menemukan potongan tubuh di sekitar lokasi kejadian perkara.

Selanjutnya, serpihan pesawat dan potongan tubuh para korban terus ditemukan. Kejadian ini menewaskan 189 orang.

Baca juga: Kecelakaan Lion Air JT 610 dan Polemik Pesawat Boeing 737 Max

Investigasi penyebab jatuhnya JT 610

Dilansir dari Kompas.com, 25 Oktober 2019, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Kementerian Perhubungan merilis laporan akhir investigasi kecelakaan Lion Air JT610.

Dalam laporan tersebut, KNKT menyimpulkan ada sembilan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan yang menewaskan 189 orang itu, yang secara garis besar adalah gabungan antara faktor mekanik, desain pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat.

Selain itu, faktor lain yang berkontribusi adalah kurangnya komunikasi dan kontrol manual antara pilot dan kopilot, beserta distraksi dalam kokpit.

Berdasar bukti rekaman data dan percakapan selama penerbangan, kopilot dinilai tidak familiar dengan prosedur, meskipun telah ditunjukkan cara mengatasi pesawat saat training.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kecelakaan Pesawat Lion Air JT-610, 189 Orang Meninggal

Faktor yang berkontribusi pada kecelakaan Lion Air JT 610

Berikut adalah sembilan faktor yang berkontribusi kepada kecelakaan Lion Air JT 610, menurut KNKT Kementerian Perhubungan:

  1. Selama proses desain dan sertifikasi Boeing 737 MAX 8, dibuat asumsi-asumsi terkait respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, ternyata asumsi ini tidak benar.
  2. Berdasarkan pada asumsi ini, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.
  3. MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor Angle of Attack (AOA), hal ini membuatnya rentan terhadap input yang salah dari sensor itu. AOA adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat. Jika sudut ini terlalu tinggi, pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat. Data parameter diambil dari dua sensor, satu di antaranya terletak di sisi hidung pesawat.
  4. Dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot, tidak ada panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih terperinci. Ini semakin menyulitkan kru penerbangan untuk merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.
  5. Peringatan AOA DISAGREE tidak dengan benar diaktifkan selama pengembangan Boeing 737 MAX 8. Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi. Ini juga tidak dapat didokumentasikan oleh kru penerbangan dan karenanya tidak tersedia untuk membantu bagian pemeliharaan dalam mengidentifikasi sensor AOA yang salah dikalibrasi.
  6. Sensor pengganti AOA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya. Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan.
  7. Investigasi juga tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AOA telah dilakukan dengan benar; namun kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
  8. Kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan. Ini menyulitkan para pihak terkait untuk melakukan tindakan yang sesuai.
  9. Sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan pihak Air Traffic Control tidak dapat dikelola secara efektif. Ini disebabkan oleh sulitnya situasi dan kurangnya penanganan manual, eksekusi Non-Normal Checklist (NCC) - yang merupakan prosedur untuk memecahkan masalah - serta komunikasi awak pesawat, mengarah pada tidak efektifnya aplikasi Crew Resource Management yaitu metode koordinasi antarpilot yang dirancang untuk memperbaiki respons terhadap kesalahan dan mengurangi stres. Kekurangan ini sebelumnya telah diidentifikasi selama pelatihan dan muncul kembali selama penerbangan yang kemudian berakhir dengan kecelakaan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi