KOMPAS.com - Wacana hukuman mati bagi koruptor kembali muncul ke permukaan.
Kali ini, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengkaji kemungkinan penerapan hukuman tersebut.
Rencana ini dilatarbelakangi oleh perkara-perkara korupsi besar yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), seperti kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asbari.
Baca juga: Pusaran Kasus Korupsi Jiwasraya dan Dugaan Korupsi di PT Asabri
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, kemungkinan penerapan hukuman mati ini untuk memberi rasa keadilan dalam penuntutan perkara.
"Tentu penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia (HAM)," kata dia.
Rencana pemberian hukuman mati bagi koruptor bukan barang baru di Indonesia. Sayangnya, rencana itu hanya sebatas wacana dan tak pernah terealisasi.
Baca juga: Edhy Prabowo dan Mengapa Masih Ada Pejabat yang Doyan Korupsi?
Hukuman mati koruptor dan kehendak kuat dari masyarakat
Pada 2019, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa hukuman mati koruptor bisa diterapkan jika ada kehendak kuat dari masyarakat.
Menurutnya, penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR.
"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan," kata Jokowi saat itu.
Baca juga: Penangkapan Adelin Lis dan Daftar Panjang Buronan Kasus Korupsi yang Kabur ke Singapura
Pernyataan ini pun menuai respons berbagai pihak.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufik Basari menyebut, pemberian hukuman mati koruptor tidak akan memberikan efek jera.
Bagi Taufik, penegakan hukum yang konsisten menjadi upaya tepat untuk membuat pejabat tidak melakukan korupsi.
Baca juga: Jadi Tersangka Kasus Korupsi, Berikut Jejak Politik dan Harta Kekayaan Alex Noerdin
Hukuman harus tegas dan memberikan efek jera
Jauh sebelum itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas era Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie mengatakan, hukuman yang diterapkan terhadap koruptor di Indonesia tak bisa lagi setengah-setengah, tetapi harus tegas dan memberikan efek jera.
Ia menuturkan, apabila hukuman yang diterapkan tidak sampai drastis, upaya pemberantasan korupsi dipastikan akan gagal, seperti diberitakan Harian Kompas, 10 Maret 2004.
Untuk kasus korupsi di Indonesia, Kwik menilai hukuman yang paling tepat adalah hukuman mati atau paling tidak hukuman seumur hidup.
Baca juga: Tersangka Korupsi, Ini Profil dan Harta Kekayaan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono
Bahkan, tuntutan hukuman mati bagi koruptor sudah dilakukan sejak era 1960-an.
Harian Kompas, 25 September 1965 mencatat, seorang perwira TNI yang menjabat manajer perusahaan negara dituntut hukuman mati karena korupsi.
Perwira bernama Kapten Iskandar itu, melakukan tindak korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 6 miliar pada 1961.
Namun, Iskandar hanya divonis tujuh tahun penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi Jakarta dalam sidang tertutup 21 Oktober 1967.
(Sumber: Kompas.com/Wijaya Kusuma, Wisang Seto Pangaribowo | Editor: Dony Aprian/Teuku Muhammad Valdy Arief)
Baca juga: Mengenal Asabri, Perusahaan BUMN yang Diduga Terindikasi Korupsi oleh Mahfud MD