Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Apa Itu Green Economy dan Potensi Penerapannya di Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Gischa Prameswari
Ilustrasi hutan kota
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Utas dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Twitter, ramai diperbincangkan publik.

Cuitan yang memuat pernyataan menolak penghentian pembangunan besar-besaran atas nama emisi karbon dan deforestasi itu juga dikecam dari organisasi pemerhati lingkungan.

"Pembangunan besar-besaran era Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," tulis Siti Nurbaya di akun Twitter @SitiNurbayaLHK, Rabu (3/11/2021).

Twit tersebut dinilai sebagian masyarakat sebagai ketidakpedulian terhadap perubahan iklim yang sedang berlangsung dan menyebabkan banyak bencana ekologis, termasuk banjir bandang yang kerap terjadi di Indonesia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan memang dibutuhkan, tetapi tidak dengan pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan.

Konsep ekonomi hijau atau green economy kemudian muncul dan dianggap sebagai jalan tengah atas permasalahan ini.

Apa itu Green Economy?

Baca juga: Twit Deforestasi Menteri LHK, Peneliti Ekologi BRIN Sebut Harus Disertai Reforestasi

Mengenal Green Economy

Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira memberikan penjelasan tentang Green Economy.

"Sekarang era dari green economy di mana fokus pembangunan untuk kurangi deforestasi dan emisi karbon dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi yang baru," kata Bhima, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/11/2021).

Dia mencontohkan, besarnya kebutuhan transisi energi terbarukan di Indonesia yang tidak diimbangi dengan infrastruktur pendukungnya. Panel surya, misalnya.

"Bayangkan kalau mau rumah atapnya dipasang panel surya itu sebagian besar baterai, komponen charge controller dan inverter-nya impor dari luar negeri. Jadi kenapa enggak dibangun sekalian industri dan ekosistemnya sejak Pak Jokowi menjabat presiden atau sejak Bu Menteri LHK menjabat," ujar Bhima.

Melihat perkembangan kondisi yang ada saat ini, Bhima menyebut, apa yang dikemukakan Siti Nurbaya sebagai sesuatu yang tidak tepat.

"Justru pandangan menteri LHK sangat ketinggalan ya," kata dia.

Baca juga: Walhi Sebut Klaim Jokowi soal Deforestasi hingga Karhutla Tak Sesuai Fakta

Cocok diterapkan di Indonesia

Bhima menyebut konsep green economy ini cocok untuk diterapkan di Tanah Air.

"Green economy sangat cocok diterapkan di Indonesia, karena menjadi bagian dari stimulus pemulihan ekonomi paska pandemi," sebut dia.

"Dengan penerapan green economy akan membuka jutaan lapangan kerja baru dan profesi-profesi baru. Dampaknya luas ke berbagai sektor ekonomi termasuk penerimaan Negara," lanjut Bhima.

Hal ini mengingat besarnya kebutuhan akan faktor-faktor pendukung berjalannya green economy, sebagaimana disebutkan Bhima sebelumnya.

Baca juga: SBY Sarankan Indonesia Terapkan Green Economy

Hambatan penerapan Green Economy

Meski dinilai cocok, tetapi penerapan ekonomi berbasis ramah lingkungan di Indonesia ini bukan berarti mudah.

Ada sejumlah hambatan yang bisa membuat green economy sulit berkembang. Salah satunya karena kebijakan pemerintah.

"Ketidakpastian kebijakan di Indonesia cukup tinggi, misalnya obral diskon PPNBN 0 persen untuk dorong penjualan mobil berbahan bakar fosil, itu membuat investor yang mau masuk ke ekosistem baterai dan mobil listrik menjadi ragu," jelas Bhima.

Tidak hanya soal kebijakan yang belum mendukung berkembangnya green economy, lemahnya komitmen pemerintah dalam upaya mengurangi ketergantungan batu bara juga turut menjadi masalah.

"Konflik kepentingan cukup mengakar dan kronis, karena beberapa pejabat negara masih menjadi investor di (bisnis) batubara dan migas," pungkas Bhima.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi