Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Terancam Tenggelam, Menlu Tuvalu Bikin Pernyataan COP26 di Laut

Baca di App
Lihat Foto
Facebook: Ministry of Justice, Communication and Foreign Affairs, Tuvalu Government
Menteri Tuvalu, Simon Kofe, membuat video pernyataan untuk COP26 di atas laut.
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Menteri Luar Negeri (Menlu) Tuvalu Simon Kofe membuat video pernyataan untuk konferensi perubahan iklim internasional terbesar COP26 di tengah laut.

Beredar foto saat Kofe sedang membuat video pernyataan tersebut. Dalam foto itu, tampak Kofe berbicara di depan kamera di pinggir laut.

Ia berdiri di depan podium di tengah laut. Sementara di belakangnya, ada bendera dan latar biru seadanya. Di balik setelan jasnya, Kofe memakai celana pendek selutut.

Foto itu menarik perhatian warganet, karena menggambarkan secara nyata perubahan iklim yang sedang terjadi.

Negara kepulauan ini terancam tenggelam akibat krisis iklim yang mengakibatkan naiknya permukaan laut.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Foto Kofe di tengah laut ini salah satunya diunggah oleh akun Twitter @achandftv pada Jumat (5/11/2021). Unggahannya mendapat 31 ribu like, 6.483 komentar dan 593 quote.

Baca juga: Daftar 112 Wilayah di Indonesia yang Berpotensi Tenggelam

Pesan Menlu Tuvalu

Dilansir dari SBS, Minggu (7/11/2021), Menlu Simon Kofe sengaja menyampaikan pesan di tengah laut untuk konferensi tingkat tinggi (KTT) perubahan iklim COP26 yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ia mengungkapkan bahaya nyata yang dihadapi negaranya akibat dampak krisis iklim.

Video tersebut akan diputar pada hari Selasa (9/11/2021), di Glasgow sebagai bagian dari acara sampingan Mobilitas Perubahan Iklim Pasifik dan Keamanan Manusia di COP26.

“Pernyataan itu menyandingkan pengaturan COP26 dengan situasi kehidupan nyata yang dihadapi di Tuvalu karena dampak perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut, dan menyoroti tindakan berani yang diambil Tuvalu untuk mengatasi masalah mobilitas manusia yang sangat mendesak di bawah perubahan iklim,” tulis Kementerian Kehakiman Tuvalu dalam sebuah pernyataan.

Melalui video tersebut, Kofe juga membandingkan demonstrasi 2009 oleh pemerintah Maladewa, yang mengadakan rapat kabinet di bawah air dengan peralatan selam untuk menunjukkan betapa nyatanya bahaya naiknya permukaan laut.

Perwakilan dari Pasifik ini tidak bisa menghadiri KTT COP26 secara langsung karena terkendala pandemi Covid-19. Hanya tiga pemimpin dari empat belas negara Pasifik yang melakukan perjalanan ke Glasgow untuk berpidato.

Baca juga: 5 Isu Utama KTT Iklim COP26 Glasgow Hari Kedua


Tuvalu terancam tenggelam

Pemerintah Tuvalu mengatakan, sudah 2 dari 9 pulau Tuvalu berada di ambang kehancuran, karena tenggelam oleh kenaikan air laut dan erosi pantai.

Dikutip dari The Guardian, 16 Mei 2019, sebagian besar pulau terletak hampir tiga meter di atas permukaan laut, dan pada titik tersempitnya, di Fongafale hanya membentang sepanjang 20 meter.

Saat terjadi badai, ombak menghantam pulau dari timur dan barat, dan "menelan" negara itu.

Para ilmuwan memperkirakan Tuvalu bisa menjadi negara tidak layak huni dalam kurun waktu 50 hingga 100 tahun ke depan. Namun, penduduk setempat merasa kurun waktu itu bisa lebih cepat.

Program Pembangunan PBB mengklasifikasikan Tuvalu sebagai negara miskin sumber daya atau “negara kurang berkembang” yang “sangat rentan” terhadap dampak perubahan iklim.

Tanah yang keropos dan asin membuat wilayah tersebut sulit sekali ditanami. Tanah keropos dan dasin ini merusak tanaman pokok pulaka dan menurunkan hasil panen berbagai buah dan sayuran. Pulaka adalah makanan pokok khas Tuvalu atau di sekitar Pulau Pasifik.

Sejak naiknya air laut yang mencemari persediaan air, Tuvalu sekarang benar-benar bergantung pada air hujan.

Bahkan jika penduduk setempat bisa menanam dengan sukses, mereka tidak memiliki cukup air hujan di musim kemarau untuk mengairi tanaman.

Baca juga: Mengenal Perubahan Iklim, Cara Mengetahui, dan Dampaknya bagi Manusia...

Rusaknya terumbu karang

Menurut National Geographic, 13 Februari 2015, pulau-pulau di Tuvalu, tersebar di lebih dari 500.000 mil persegi sepanjang laut khatulistiwa di antara Hawaii dan Australia.

Negara kepulauan ini tampak begitu tipis dan sangat rendah. Tinggi pulaunya tidak lebih dari 15 kaki di atas permukaan laut, sehingga mudah membayangkan negara ini tersapu ombak begitu saja.

Total luas kepulauannya hanya sekitar 26 kilometer persegi, dengan populasi penduduk sekitar 11.700 orang.

Ahli geomorfologi pesisir Selandia Baru dari Fakultas Lingkungan Universitas Auckland, Paul Kench dan rekan-rekannya di Australia dan Fiji, telah mempelajari bagaimana pulau-pulau karang di Pasifik dan Samudra Hindia menanggapi naiknya permukaan laut.

Selain kerusakan yang ditimbulkan oleh kenaikan permukaan laut itu sendiri, ada faktor lain yang perlu diperhatikan, seperti erosi pantai, banjir dari permukaan, dan intrusi air asin ke dalam tanah dan air tanah.

Pulau-pulau di wilayah Pasifik, menurutnya, akan mengalami cuaca ekstrem yang semakin sering dan parah, serta matinya terumbu karang di lautan.

Faktor lain yang mengancam pulau ini adala pemanasan dan pengasaman, yang mengarah pada potensi keruntuhan ekosistem laut yang menyediakan makanan dan mata pencaharian bagi penduduk pulau.

Ia menyoroti wilayah Tepuka dan merupakan salah satu dari segelintir pulau di Ibu Kota Tuvalu, Funafuti yang menyusut.

Di sisi laut pulau, tebing tanah berpasir setinggi satu meter di atas vegetasi menunjukkan bagaimana gelombang air laut menyapu daratan.

Kench berpendapat, penyusutan daratan ini karena abrasi di satu sisi pulau, akresi di sisi lain, dengan seluruh pulau bergeser pada platform terumbu mereka sebagai respons terhadap angin, ombak, dan perubahan permukaan laut.

"Tapi mereka sering lupa untuk melihat sisi lain pulau, di mana pantai tumbuh," kata Kench.

Sejak awal periode industri, sekitar 250 tahun yang lalu, keasaman air permukaan tropis telah meningkat sebesar 30 persen. Suhu permukaan laut juga telah meningkat sekitar 1,8 derajat Fahrenheit atau 1 derajat Celcius sepanjang abad yang lalu.

Suhu air yang tinggi bisa membunuh karang, dan pengasaman mempengaruhi kemampuan mereka untuk menghasilkan kerangka, karena kalsium karbonat larut dalam asam. Eksperimen laboratorium menunjukkan bahwa tingkat pengapuran beberapa karang dapat menurun sepertiga selama tiga hingga lima dekade mendatang.

Namun hilangnya terumbu karang hidup dapat menjadi keuntungan pulau, setidaknya dalam jangka pendek.

Pada tahun 1998, ketika peristiwa pemutihan karang di seluruh dunia membunuh hingga seperenam dari terumbu karang dunia, gudang besar puing-puing karang tersedia untuk pembangunan pulau.

Jika kematian karang terkait panas terjadi dalam beberapa dekade mendatang, pasokan sedimen untuk pulau-pulau kemungkinan akan meningkat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi