HAI, apa kabarmu?
Semoga kabarmu baik ya. Banyak hal yang kita rindukan nyaris dua tahun terakhir, kini kita dapati.
Ada perasaan gembira. Lega. Penuh syukur karena harapan menjadi nyata. Namun, ada perasaan lain yang membuat perasaan jadi campur aduk juga.
Menghadapi macet di jalan-jalan karena mulai normalnya aktivitas warga misalnya. Tidak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, kemacetan juga kita jumpai kota atau bahkan desa yang tumbuh ekonominya karena pariwisata.
Hal yang kita rindukan selama nyaris dua tahun karena pandemi mewujud. Pada saat bersamaan kita seperti tidak ingin kerinduan itu hadir juga. Campur aduk rasanya.
Karena masih dalam suasana syukur atas mewujudnya harapan, level penerimaan atau toleransi kita atas macet di jalan-jalan masih tinggi.
Nyaris dua tahun kita tidak mendapati macet seperti ini. Ya, sudahlah, mari dinikmati. Bukankah ini jawaban atas doa dan harapan kita selama ini?
Tidak hanya hari kerja, Sabtu-Minggu kemacetan juga kita jumpai. Sabtu (6/11/2021) lalu misalnya. Perjalanan ke Kemang, Jakarta Selatan dari Tangerang tersendat di banyak titik.
Perjalanan ketika pandemi bisa ditempuh 30 menit, kini butuh waktu 2 jam. Kawasan Kemang menggeliat dan beraktivitas penuh layaknya sebelum pandemi.
Juga perjalanan dari Tangerang ke kawasan Pasar Baru, Jakarta. Kemacetannya justru seperti bertambah dibandingkan saat sebelum pandemi.
Karena situasi masih pandemi, transportasi publik belum jadi pilihan untuk bepergian dari satu titik ke titik lainnya.
Kegembiraan meluap-luap juga yang mengantar saya ke kawasan Pasar Baru, tepatnya Gedung Kesenian Jakarta.
Di Gedung Kesenian Jakarta yang dibangun tahun 1821, saya diundang Soleh Solihun untuk menyaksikan pentas pertamanya sebagai komika sejak pandemi bersama sembilan komika di Hahaha Corp.
Panggung bertajuk Jakarta Zona Meriah yang didukung Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta ini menjadi tanda. Tanda beralihnya Jakarta yang merah karena pandemi menjadi Jakarta yang meriah karena kita bisa bersama-sama mengendalikan pandemi.
Tampil selama nyaris empat jam tanpa jeda adalah Ardit Erwanda, Bene Dion, Muhadkly Acho, Aci Resti, Ge Pamungkas, Kristo Imanuel, Arie Kriting, Ernest Prakasa, dan Soleh Solihun.
Masing-masing komika diberi waktu sekitar 15 menit, kecuali Soleh lebih dari 30 menit.
Selain tampil sebagai komika, Soleh tampil sebagai pendakwah yang mengajak penonton merenung setelah tertawa-tawa melihat hidup masing-masing. Untuk peran ini, 30 menit tetap terasa kurang.
Panggung yang digelar dengan syarat penonton sudah vaksin dua kali dan negatif antigen sebelum masuk gedung pertunjukan ini sukses untuk semua kategorinya.
Komika dan penonton sama-sama terhibur. Kerinduan keduanya terjawab karena ada perjumpaan lagi bernama panggung.
Sponsor yang mengambil risiko juga beruntung karena tercatat dalam sejarah sebagai sponsor yang berani bertaruh untuk sesuatu yang belum tentu membawa untung.
Saya sendiri sangat beruntung menatap terus-menerus ke arah panggung. Letupan energi sembilan komika yang mengisahkan hidupnya selama dua tahun tidak bertemu panggung sampai ke saya, juga penonton lainnya.
Keluarga yang jadi bahan cerita mulai dari ayah, ibu, pasangan, dan bahkan anak-anak adalah sumber kekuatan sembilan komika.
Kemampuan merefleksikan peristiwa dalam keluarga sehingga punya makna apakah itu duka atau tawa menjadi sumber energi sembilan komika.
Sekali lagi, beruntung saya dapat kesempatan pertama untuk panggung bertema keluarga dengan segala kerumitan dan persoalannya meskipun hanya cocok untuk penonton dewasa.
Tema remeh-temeh seperti kepanikan anak tujuh tahun yang ereksi dan bagaimana ayah menyikapi dan berusaha menjelaskan adalah tanda kejelian dan keleluasaan pembahasan tema.
Generasi kita makin terbuka, makin bisa terus terang atau apa adanya, makin bisa merespons perbedaan dengan sikap yang wajar juga. Kabar baik ini tentunya.
Dari panggung sembilan komika itu saya terutama berkaca soal keluarga. Sambil melihat ke dalam seperti ajakan Soleh di akhir panggung, saya teringat kisah Ibu Trimah (69), yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah.
Karena sakit persendian dan karenanya menggunakan kursi roda, Trimah diserahkan ketiga anaknya ke panti jompo Griya Lansia Husnul Khatimah di Malang, Jawa Timur.
Tiga anak Trimah (dua perempuan, satu laki-laki) karena kesibukan bersepakat menyerahkan perawatan ke panti jompo. Dalam surat penyerahan itu, ketiga anak juga bersepakat menyerahkan prosesi pemakaman kepada panti jompo.
Perstiwa ini diketahui Rabu (27/10/2021) karena viral di media sosial lantaran unggahan Ketua Yayasan Griya Lansia Husnul Khatimah Arief Camra. Bersamaan dengan penyerahan Trimah, ada tiga lansia lain yang diserahkan dengan alasan sama.
Sedih mendengar hal ini. Saya mencari tahu ketiga anak Trimah.
Trimah pernah tinggal bersama anaknya di Pekalongan. Tak lama karena situasi, Trimah pinah dan tinggal bersama salah satu anaknya di Jakarta.
Ketiga anak bersepakat menyerahkan Trimah ke panti jompo lantaran kontrakan di Jakarta sudah habis masa sewanya dan situasi menjadi makin tidak pasti karenanya.
Ketiga anak tidak berterus terang akan menyerahkan Trimah ke panti jompo. Trimah hanya diberi tahu akan diajak jalan-jalan saat ternyata dibawa ke panti jompo di Malang.
Mendapati ini, Trimah kecewa. Hancur hatinya. Menetes air matanya. Bergetar suaranya saat bercerita.
Trimah menerima dalam kecewa. Panti jompo dirasa lebih baik untuknya daripada tersia-sia.
Dalam perasaan kecewa yang diterimanya, Trimah tetap berdoa untuk ketiga anaknya yang berjuang menghadapi kerumitan dan kesulitannya.
Doa itu berlaku juga untuk kita yang masih punya orangtua.
Semoga anak-anak masih ingat bahwa punya orangtua.
Salam keluarga,
Wisnu Nugroho.