Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengkritisi Konten-konten Nir-empati Pascakecelakaan Vanessa Angel

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/MOH. SYAFIÍ
Kondisi kendaraan yang ditumpangi keluarga Vanessa Angel, saat dievakuasi petugas jalan tol ke Kantor Satlantas Polres Jombang, Kamis (4/11/2021).
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Di media sosial, banyak beredar konten-konten yang berkaitan dengan tewasnya pasangan selebritas, Vanessa Angel dan Bibi Andriansyah. 

Vanessa dan suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil di Tol Nganjuk arah Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis (4/11/2021).

Keduanya kemudian dimakamkan di TPU Islam Malaka, Jalan Swadarma, Ulujami, Jakarta Selatan, pada Jumat (5/11/2021) pagi.

Pasca-kepergian Vanessa, warganet menyoroti maraknya peredaran konten-konten video YouTube yang dianggap minim empati dan tak beretika etika terkait kecelakaan Vanessa dan suaminya.

Baca juga: [HOAKS] Anak Vanessa Angel Meninggal saat Perjalanan ke RS

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konten-konten yang disoroti, misalnya, unggahan video YouTube yang mengeklaim melakukan wawancara dengan arwah dari Vanessa Angel untuk mengetahui penyebab kematiannya.

Video semacam itu banyak bertebaran di YouTube dan mendulang puluhan ribu hingga jutaan views, meski kebenaran isi konten tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Mengapa ada pihak-pihak yang membuat konten minim empati dan etika di tengah suasana duka?

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Kuskridho Ambardi, mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat konten-konten gaib pasca-kematian Vanessa Angel bermunculan dan mendulang banyak views.

Menurut Dodi, demikian ia biasa disapa, faktor pertama yang membuat konten-konten semacam itu eksis adalah adanya akar kultural yang masih bertahan pada masyarakat Indonesia.

"Yakni percantolan antara dunia gaib dan dunia nyata, dan sebagian orang melihatnya sebagai hubungan kasual. Yang gaib dipakai untuk menjelaskan yang nyata," kata Dodi saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/11/2021).

Ia mengatakan, konten-konten semacam itu juga masih diminati karena baik pembuat konten maupun penikmatnya, sama-sama merasa sebagai pihak yang tidak berkaitan dengan bencana.

"Bahwa yang mendapat bencana bukan saya, saya lebih beruntung. Jadi di sana ada semacam fungsi katarsis dari media online atau media sosial," ujar Dodi.

Selain itu, menurut Dodi, saat ini ada norma baru yang makin terbentuk di masyarakat, yang membuat hal-hal viral akhirnya menjadi bagian dari obrolan sehari-hari.

"Ada norma yang makin terbentuk bahwa yang viral itu bagian dari kehidupan normal. Itu bagian dari obrolan sehari-hari," kata Dodi.

"Ketika yang viral dianggap normal, maka faktor etika biasanya tertinggal dan tak terpikirkan," ujar dia.

Dodi mengatakan, karena yang viral ini sudah dianggap normal, besar kemungkinan hal-hal serupa juga akan terjadi seandainya ada peristiwa yang sama di masa mendatang.

"Sebagian dari kita berkampanye tentang perilaku etis, untuk tidak menyebarkan foto bencana yang tak empatik, dan tidak selfi di tempat-tempat bencana. Tapi ini perlu waktu untuk menjadi norma etis yang diterima luas," ujar Dodi.

Baca juga: [HOAKS] Video Detik-detik Kecelakaan Vanessa Angel

Tidak ada pendidikan empati dan etika

Sementara itu, pengamat media sosial dan founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, berpendapat, ketiadaan pendidikan etika dan empati menyebabkan banyak content creator tidak memperhatikan aspek-aspek tersebut saat memproduksi sebuah konten.

Hal tersebut diperparah dengan target audiens mereka, yang juga sama-sama tidak mendapatkan pengetahuan mengenai hal tersebut.

Sehingga, kata Ismail, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau menyaring konten yang bertentangan secara etika.

"Kita kan memang tidak diajari soal etika. Enggak ada pelajaran tentang etika siber, orang Indonesia enggak belajar soal itu. Mulai dari, apa sih yang etis dan tidak etis, kita enggak belajar tentang itu," kata Fahmi saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/11/2021).

Fahmi mengatakan, kebanyakan warganet Indonesia, termasuk para pembuat konten, kurang memahami tentang nilai-nilai privasi yang dimiliki oleh seseorang.

"Kita enggak ada izin-izin begitu. Langsung saja jepret. Umumnya merasa 'Ini HP, HP saya, konten-konten saya, ya upload saja' meskipun itu melanggar privasi orang lain," ujar Fahmi.

Apalagi, jika konten yang mereka buat berpotensi mengundang traffic dalam jumlah besar, batas-batas privasi itu semakin tidak ada artinya lagi.

Fahmi mengatakan, sorotan warganet terhadap konten-konten minim empati dan etika pasca-kematian Vanessa menunjukkan bahwa nilai-nilai moral dan pemahaman mengenai literasi digital perlu diajarkan melalui pendidikan formal.

Jika edukasi tidak dilakukan, konten-konten nir-empati akan terus bermunculan setiap terjadi suatu peristiwa sensasional di masa mendatang.

"Memang enggak akan cepat. Tapi kalau dimulai dengan edukasi itu, suatu saat kita akan menjadi lebih baik," kata Fahmi. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi