Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Update Corona 12 November: 5 Singa di Singapura Positif Covid-19 | UE Tambah Daftar Efek Samping J&J

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi patung Merlion yang ikonik di Singapura.
Penulis: Mela Arnani
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Virus corona masih terus menginfeksi orang-orang di seluruh dunia, dengan beberapa negara mencatat adanya ribuan kasus baru.

Melansir Worldometers, jumlah total kasus Covid-19 per 12 November 2021, yakni total infeksi 252.597.477 kasus, total sembuh 228.502.574 kasus, dan total meninggal 5.094.453.

Berikut lima negara dengan kasus infeksi terbanyak:

Baca juga: Singapura Tidak Menanggung Biaya Perawatan Pasien Covid-19 yang Menolak Divaksin

Lima singa di Singapura positif Covid

Singa Afrika di Singapore Zoo dinyatakan positif Covid-19, setelah menunjukkan gejala sakit pada 8 November lalu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Animal and Veterinary Service (AVS), ini merupakan singa kelima di Singapura yang terinfeksi virus corona, setelah empat singa Asia di Night Safari dinyatakan positif Covid-19 pada Selasa (8/11/2021).

Pengetesan reaksi berantai polimerase (PCR) dilakukan dengan pengambilan sampel feses dari singa Afrika, menunjukkan positif virus SARS-CoV-2.

“Telah dikeluarkan perintah untuk mengisolasi sembilan singa Asia dan lima singa Afrika sebagai dua kelompok terpisah, masing-masing di dalam Night Safari dan Singaporee Zoo,” tulis AVS seperti dikutip dari The Strait Times, Jumat (12/11/2021).

Isolasi termasuk kepada lima singa yang dinyatakan positif, dengan semuanya diisolasi dalam sarangnya masing-masing.

Dituliskan bahwa singa-singa ini dipantau secara cermat, termasuk memberikan vitamin C ke dalam makanan.

Organisasi Kesehatan Dunia untuk Kesehatan Hewan telah menyarankan bahwa risiko penularan dari hewan yang terinfeksi ke manusia sangat rendah.

Kendati begitu, pameran untuk singa telah ditutup sementara.

Baca juga: Kasus Covid-19 Dunia Naik, Pemerintah Masih Berlakukan Karantina Pelaku Perjalanan Internasional 3 Hari

UE tambah daftar efek samping vaksin Johnson & Johnson

Regulator obat Eropa merekomendasikan untuk menambahkan jenis peradangan tulang belakang yang langka atau mielitis transversa sebagai efek samping dari vaksin Covid-19 dosis tunggal Johnson & Johnson (J&J).

Sindrom ini menjadi kondisi serius tapi jarang terjadi, yang membuat bagian tubuh yang berbeda menjadi meradang, termasuk jantung, paru-paru, ginjal, otak, kulit, mata, atau organ pencernaan.

Dikabarkan CNA, laporan tentang penyakit saraf serius ini juga merupakan inti dari penghentian uji coba tahap awal pengembangan suntikan AstraZeneca dan J&J, yang didasarkan pada teknologi serupa.

Memberikan pembaruan tentang keamanan semua suntikan virus corona, Badan Obat Eropa (EMA) tengah menilai laporan kondisi darah langka yang dikenal sebagai sindrom kebocoran kapiler (CLS) setelah inokulasi vaksin Moderna.

EMA telah mencatat enam kasus CLS dan menilai semua data, tapi belum jelas mengenai hubungan sebab akibat antara laporan dan vaksin.

Pada CLS, cairan bocor dari pembuluh darah terkecil menyebabkan pembengkakan dan penurunan tekanan darah.

Kondisi ini juga telah dipelajari dengan vaksin AstraZeneca dan J&J.

EMA menyampaikan, saat ini tidak ada cukup bukti tentang kemungkinan hubungan antara kasus langka sindrom inflamasi multisistem (MIS) dan vaksin berbasis mRNA dari vaksin Moderna dan Pfizer-BioNTech.

Baca juga: Pandemi Belum Usai, Epidemiolog: China Lockdown, Belum Lagi Eropa...

Studi: terapi RNA baru melindungi tikus dari virus

Para peneliti telah mengidentifikasi molekul RNA yang merangsang sistem pertahanan antivirus awal dan dapat melindungi tikus dari berbagai varian SARS-CoV-2.

Studi ini diterbitkan pada Rabu (10/11/2021) di Journal of Experimental Medicine.

Penelitian ini mengarah pada pengobatan baru untuk Covid-19 pada pasien dengan gangguan kekebalan, dan memberikan terapi yang murah untuk negara-negara berkembang yang kekurangan akses ke vaksin.

India Today menuliskan, garis pertahanan pertama tubuh melawan SARS-CoV-2 sebelum keterlibatan antibodi dan sel T diperkirakan bergantung pada molekul reseptor seperti RIG-I, yang mengenali materi genetik virus dan menginduksi produksi protein pensinyalan sebagai interferon tipe I.

Para peneliti di Yale School of Medicine di AS, mencatat interferon ini meningkatkan produksi protein yang dapat menghambat reproduksi virus dan merangsang perekrutan sel kekebalan untuk melawan infeksi.

Berbagai penelitian menunjukkan, produksi interferon awal dan kuat melindungi terhadap Covid-19, sedangkan produksi yang tertunda dikaitkan dengan penyakit parah.

Para peneliti mecatat bahwa merawat pasien dengan molekul RNA pendek yang meniru materi genetik SARS-CoV-2 dan mengaktifkan reseptor RIG-I untuk merangsang produksi interferon tipe I oleh sel-sel tubuh sendiri dapat mengurangi kematian.

Asam ribonukleat (RNA) merupakan molekul penting dalam berbagai peran biologis dalam coding, decoding, regulasi, dan ekspresi gen.

Baca juga: Update Corona 11 November: Gelombang Kelima Covid-19 di Perancis

Tim menguji pendekatannya pada tikus yang rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.

Dosis tunggal molekul RNA bernama SLR14 sudah cukup untuk melindungi tikus dari penyakit parah dan kematian, terutama jika pengobatan diberikan sesaat sebelum atau segera setelah terpapar virus.

SLR14 melindungi tikus dari semua varian SARS-CoV-2, termasuk Delta.

Para peneliti juga menguji SLR14 pada tikus immunocompromised yang secara kronis terinfeksi SARS-CoV-2.

Molekul RNA mampu sepenuhnya membersihkan virus dari heawan-hewan tersebut, meski kekurangan sel T dan sel B penghasil antibodi.

Tercatat, molekul RNA seperti SLR14 relatif murah dan mudah dibuat. Sehingga, SLR14 sangat menjanjikan sebagai terapi RNA kelas baru yang dapat diterapkan sebagai antivirus terhadap SARS-CoV-2.

"Selain itu, karena pendekatan terapeutik berbasis RNA ini sederhana dan serbaguna, penelitian kami akan memfasilitasi kesiapsiagaan dan respons pandemi terhadap patogen pernapasan di masa depan yang sensitif terhadap interferon tipe I," ujar Akiko Iwasaki, seorang profesor di Yale School of Medicine.

Meskipun vaksin COVID-19 yang disetujui sangat efektif untuk mencegah penyakit parah dan kematian, ketersediaan vaksin sangat terbatas di banyak negara berpenghasilan rendah.

Para peneliti mengatakan, efektivitas vaksin sudah berkurang pada orang dengan gangguan kekebalan yang tidak dapat membentuk antibodi atau sel T dalam jumlah yang cukup yang secara khusus menargetkan protein lonjakan virus.

Orang-orang dalam kelompok ini rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 kronis jangka panjang.

"Sehingga selain penggunaan vaksin dalam pencegahan COVID-19, diperlukan upaya pengembangan terapi yang manjur terhadap SARS-CoV-2," pungkas Iwasaki.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi