KOMPAS.com - Sudah hampir tiga pekan banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) tak kunjung surut.
Akibatnya, dua warga meninggal dunia, masing-masing di Kecamatan Tempunak dan Binjai.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pekan lalu, kerugian sementara tercatat sebanyak 21.000 unit rumah dan 5 jembatan terdampak, termasuk sejumlah sarana tempat ibadah terendam air.
Baca juga: Derita Warga Sintang Kalbar yang Dilanda Banjir Selama Dua Minggu
Banjir Sintang ini juga mendapat perhatian besar dari warganet di media sosial Twitter hingga hari ini.
Kata "Sintang" beberapa hari terakhir menjadi terpopuler di Twitter dan banyak memuat kondisi banjir di wilayah itu.
Ahli hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Pramono Hadi mengatakan, Sintang secara fisiografi memang terletak di dataran banjir atau flood plain.
Baca juga: Joe Biden Sebut Jakarta Tenggelam 10 Tahun Lagi, Ini Kata Ahli Hidrologi
Sintang masuk dataran banjir
Meski jauh dari pantai, ketinggian atau elevasi tanah di Sintang hanya 35-40 meter di atas permukaan air laut (mdpl).
"Kalau kita bandingkan, Jogja itu dekat pantai tapi ketinggian 100 mdpl. Maksud saya poin pertama itu memang dari fisiografi letak Sintang sendiri di dataran banjir (flood plain)," kata Hadi saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (13/11/2021).
"Di sana juga ada percabangan sungai utama. Jadi sungai Kapuas itu bercabang dua, hampir sama besarnya. Di posisi percabangan itulah Sintang berkembang," sambungnya.
Baca juga: Viral, Video Polisi di Medan Diamuk Warga Usai Diduga Meminta Uang Rp 200 Ribu ke Pengendara Motor
Kondisi inilah yang mengharuskan Sintang memiliki program, baik adaptasi maupun mitigasi.
Hadi menuturkan, letak Sintang yang berada di daerah aliran sungai (DAS) besar itu membuat adanya tanggul yang juga dimanfaatkan sebagai jalan, saat pembangunan kota.
Karena tanggul itulah, ketika terkena banjir besar, air pun terjebak dan tidak bisa mengalir ke sungai.
Baca juga: Analisis BMKG Terkait Banjir Alor dan Banjir Bandang Kota Batu
Hal ini kemudian diperparah dengan curah hujan yang sangat lebat sejak pertengahan Oktober 2021.
"Saya lihat dari data mulai pertengahan Oktober sudah hujan lebat lebih dari 150 mm per hari, itu besar sekali, hampir setiap dua hari hujan di sana," jelas dia.
"Kemudian puncak hujan awal November. Artinya, dari sisi fisiografi memang potensi tergenang, ditambah air luar biasa dari hujan, pengaruh La Nina kemungkinan, itulah yang kemudian menjadi satu kesatuan," tambahnya.
Penggundulan hutan bukan faktor utama
Dalam konteks banjir Sintang, Hadi menyebut penggundulan hutan bukanlah faktor utama penyebabnya. Sebab, lahan dan sistem hutan pasti memiliki kapasitas penyimpanan.
Apabila terjadi hujan terus menerus dan membuat kapasitas penyimpanan penuh, akibatnya adalah tanah menjadi jenuh.
Penggundulan hutan biasanya memicu terjadinya lonsor di satu wilayah. Namun, hal itu sangat tidak relevan di Sintang yang berada di tanah datar.
"Kecuali daerah tebing-tebing kemudian ada longsor, mungkin itu pengaruh dari penggundulan hutan," ujarnya.
Baca juga: Saat Pohon Terbesar di Dunia Terancam oleh Kebakaran Hutan...
Ia menuturkan, cara terbaik untuk mengatasi banjir saat ini adalah evakuasi, karena tak bisa dibendung lagi.
Menurutnya, pemerintah setempat harus melakukan upaya penyelamatan warga dan pemulihan sistem kehidupan.
Terkait wilayahnya, Hadi menyebut hal itu sulit dilakukan di Sintang dan membutuhkan infrastruktur yang masif.
"Untuk membangun kota yang tahan bencana itu harus niru kota di Belanda yang notebene sudah siap, dari awal didesain menghadapi periode ulang hujan yang sekian banyak, mereka siap," tuturnya.
"Butuh dana tidak sedikit, itu jangka panjang. Tidak bisa diatasi di Pilkada-Pilkada. Harus ada berkesinambungan antara program satu dengan yang lain. Tapi kalau itu tidak terindikasi, ya akan selamanya Sintang dalam ancaman banjir," tutupnya.
Baca juga: INFOGRAFIK: Waspada Leptospirosis