Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mantan Wartawan
Bergabung sejak: 6 Okt 2021

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Menuju Muktamar, Umat Terpaksa Menolak

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/ACHMAD FAIZAL
Pimpinan PWNU Jatim mengumumkan calon Ketua Umum PBNU yang didukung pada Muktamar NU ke-34.
Editor: Ana Shofiana Syatiri

Alkisah

Alkisah, awal tahun 1980-an. Setelah kelar pendidikan tingkat dasar; ibtidaiyah pagi dan diniyah sore di Pondok Pesantren Nurul Huda, Penulis melanjutkan ke Pondok Pesantren Al Amien. Nurul Huda adalah pondok yang diasuh oleh KH Achmad Badar Rois lulusan Mambaul Ulum Batabata dan PP Banyuanyar, sedang PP Al Amien dirintis oleh pendirinya, KH Achmad Djauhari Chotib yang, antara lain, berguru kepada KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng.

Saat Penulis mulai nyantri, Al Amien diasuh oleh KH Moh Idris Jauhari. Seorang ulama yang rendah hati, sangat berwibawa, zahid, mutawarri' (dapat menjaga harga diri). Ia menghidupi keluarganya dari hasil menjual buah kelapa yang berderet-deret ; pohon jangkung yang jadi pagar hidup pondok. Senyum mengembang. Tawa berderai. Perbawa menyelimuti semua sudut pondok. Itulah Kyai Idris. Sumber kedamaian dan ketenangan santri. Time table hidup bagi mereka.

Begitu besar pengaruh Kyai Idris, suara motor bebeknya pun mampu mengusir kantuk yang menggelayut di kelopak mata santri. Muwajahah jadi bergairah, hanya dengan kelebat bayangannya di midyafah ; ruang tamu kyai yang lokasinya dipisahkan lapangan bola dengan asrama santri. Seperti mengandung aliran listrik, tiada seorang santri pun yang tidak menghindari lintasan jalan di depan kediamannya. Santri mendengar dan taat. Sami'na wa atho'na.

Sebuah Ambiguitas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suasana batin yang Penulis rasakan, pasti dirasakan oleh seluruh santri di pondok pesantren mana pun di nusantara ini. Adagium "sam'an wa tho'atan --saya dengar dan saya patuh" bukan semata deretan huruf. Ia menjelma mantra yang dirapal santri sejak di pondok hingga pulang ke tengah umat. Untaian kata itu menjelma landasan teologis santri dalam beribadah dan bermuamalah. Senakal-nakal santri, hatinya akan masygul jika disebutkan nama kyainya.

Semua itu bersumber, pertama, dari sosok sang kyai/ulama sebagai pengasuh dan, kedua, kitab turots yang day to day mereka pelajari, kritisi dan kuasai. Dua sumber nilai intrinsik itu menjadi pelindung pesantren dari pengaruh luar. Karena sifatnya yang lentur, nilai yang mendekati dogma itu, dalam perkembangannya mengalami sejumlah adjustment. Seperti kaidah "Al Muhafadzah Alal Qodimis Sholeh wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah."

Apa maknanya? "Menjaga nilai-nilai lama yang tetap baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik." Selain dari tradisi dan dinamika lingkungan sekitar, nilai-nilai baru bisa datang dari praktek kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas. Contohnya adalah sistem demokrasi yang berasal dari dunia modern. Kalau konsep a la Barat ini diamalkan dalam konteks hubungan santri-kyai, akan muncul kesan ambiguitas dan terjadinya crash of values.

Karena dampaknya yang sulit ditolak, maka tidak semua urusan diselesaikan lewat mekanisme demokrasi. Takzim kepada ulama, taat kepara guru, manut kebiasaan para awliya, termasuk ranah yang tidak mudah didekati dengan alat-alat dan pranata sosial modern seperti demokrasi. Dalam kaitan inilah, maka mekanisme demokrasi belum kompatibel untuk disebut lebih "ashlah" dari pada nilai lama. Dalam hal tertentu, ia malah potensial meruntuhkan.

Lihatlah, bagaimana santri bisa dengan bebas menolak kyai dalam forum konferensi NU di tingkat wilayah dan cabang. Puncaknya di muktamar. Di forum tertinggi setelah konferensi besar PBNU dan musyawarah nasional alim ulama itu, para santri yang biasanya "sami'na --saya dengar", bukan saja tidak "wa atho'na --kami taat," tapi juga berani mencatat daftar kekurangan dan "aib" sejumlah ulama yang akan maju di pemilihan Ketua Umum PBNU.

Kekurangan

Termasuk di muktamar ke-34 NU yang akan dihelat Desember bulan depan. Sebagai petahana, KH Said Aqil Siradj sudah mendiami ruang bawah sadar nahdliyin, khususnya para pengurus. Dari tingkat Pusat hingga Wilayah dan Cabang. Paling kurang, dalam satu dasawarsa terakhir, "dunia Kyai Said" sudah dikunjungi oleh para pemilik suara di muktamar. Ada yang sering, tapi mungkin ada juga yang belum pernah. Beragam alasan bisa dianalisis.

Mereka hafal benar siapa, perangai, keilmuan, dan sepak terjang Kyai Said. Sejumlah nama di PBNU, wilayah hingga cabang yang di muktamar Jombang adalah pendukung utamanya, di Lampung bisa menjadi penentang dan penolaknya. Sejumlah kyai khos dan ulama besar yang dulu merestuinya, boleh jadi tidak lagi di muktamar kali ini. Tanpa menyebut nama, sejumlah kader tenar yang ada di "pihak" KH Yahya Staquf, adalah para tim suksesnya di masa lalu.

Bahkan, Gus Yahya--sapaan KH Yahya Cholil Staquf adalah sahabat karib Kyai Said dan sesama santri langsung KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia yang memberi jalan. Dia yang merestui Gus Yahya menjadi calon Ketua Umum tapi dia juga yang menyaingi orang yang dia restui itu. Apa iya Gus Yahya dan timnya tidak kenal sangat mendalam Kyai Said? Kalau diminta mendaftar apa saja, mereka bisa paham di luar kepala kekurangan-kekurangan Sang Kyai.

Sangat mungkin, daftar kekurangan itu pulalah yang dalam beberapa bulan terakhir jadi bahan penolakan dan chatting di banyak jejaring sosial para pengurus NU. Bagi para pendukung fanatiknya, catatan kekurangan adalah medium muhasabah. Itu sisi positifnya. Dari sisi sebaliknya, akan menjadi kumpulan postulat untuk memberi sanggahan kepada pihak kompetitor. Membela dengan cara-cara sesuai niat di balik dukungan mereka.

Siapa yang menyebabkan mereka menolak, lalu melawan? Ya Kyai Said. Mereka adalah kader-kader yang sudah ditempa, dilatih, dididik, dipersiapkan melalui mekanisme yang ketat untuk menerima tongkat estafet. Mereka adalah para "santri" Kyai Said dalam satu-dua dasawarsa terakhir. Mereka adalah medium yang digunakan Kyai Said dalam menyetir jam'iyaah NU. Mereka paham gaya mengemudi, ke mana kemudi diarahkan dan untuk apa.

Umat terpaksa menolak. Menolak terang-terangan. Di mana kita bisa menemukan medium umat dibolehkan menolak ulama? Di locus mana kita bisa menyaksikan santri dihalalkan menolak kyai? Antara lain di Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam'iyyah diniyah ijtima'iyah) terbanyak jumlah "warganya" itu, menyediakan prosedur, alat kelengkapan dan konstruksinya. Alatnya adalah muktamar dan konferensi.

Ibroh Sahabat Utsman

Sejatinya, Kyai Said sudah menolak memimpin NU untuk ketiga kalinya. Dalam sejumlah kesempatan, keengganannya itu dia sampaikan secara terbuka. Bukan hanya di internal para pengurus tapi juga di luar NU. Termasuk di hadapan Presiden Joko Widodo dan puluhan ribu nahdliyat, pada sebuah acara Muslimat NU. Tak jelas apa alasannya. Yang pasti, saat ini usia Kyai Said mendekati kepala 7. Calon tertua dalam sejarah muktamar modern.

Diktum batas usia ini, pernah jadi ikon ketenaran Kyai Said. Di awal kemunculannya di pentas nasional, ia pernah diserang ramai-ramai oleh sejumlah kader NU akibat konstatasinya soal Khalifah Utsman bin Affan. Kisruh yang muncul dalam pemerintahannya, disebut Kyai Said karena Sahabat Utsman sudah terlalu tua untuk memimpin, setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab. Utsman diangkat menjadi khalifah di usianya yang ke-70.

"Saya hanya merangkum kok. Ada referensinya. Bahasa pikun memang ada. Pikun itu artinya sudah tua, seperti piramid Mesir, itu sudah sangat tua. Saya hanya mengatakan sejarah yang ditulis oleh orang-orang Suni seperti Imam Thabari, Ibnu Qutaibah, Ibnu Khuldun," kata Kyai Said menjawab Dani Hamdani, Nur Hudayat dan Mauludin Anwar dari GATRA, dalam buku "Kiai Menggugat--Mengadili Pemikiran Kang Said", Hal. 39, Pustaka Ciganjur, 1999.

Kalau saja. Ya, kalau saja kesempatan itu diberikan kepada anak-anaknya, kader-kadernya, para generasi penerusnya, maka penolakan dan perlawanan secara terbuka akan dapat dihindari. Tingkat keilmuan yang mumpuni, pengalaman yang panjang, akses yang luas, pengaruh yang besar, menempatkan Kyai Said di jajaran para penjaga moral. Dan itu di Syuriyah. Sebagai ulama "muda", maqamnya adalah mendampingi ulama senior. (*)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi