Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tren Kasus Covid-19 di 126 Kabupaten/Kota Meningkat, Apa yang Harus Dilakukan?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/Shutterstock/Pordee Aomboon
Ilustrasi pasien infeksi virus corona, pasien Covid-19.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Meskipun kasus virus corona penyebab Covid-19 secara nasional menurun, namun tren kasus di 126 kabupaten/kota disebutkan justru meningkat.

Diberitakan Kompas.com, Selasa (16/11/2021), kenaikan kasus itu terutama disumbang oleh kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dan kegiatan keagamaan.

"Beberapa di antaranya ada juga yang sudah tiga minggu berturut-turut naik dan sebagian besar kenaikannya memang disebabkan adanya kasus positif di sekolah dan takziah," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan pers di Istana Negara, Senin (15/11/2021).

Baca juga: Miliki Gejala Serupa, Ini Beda Flu dengan Covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas bagaimana solusinya dan apa yang harus dilakukan?

Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menyarankan untuk menghentikan sekolah yang memiliki klaster.

"Sekolah di mana ada klaster harus dihentikan PTM-nya sementara untuk dilakukan pembinaan dalam hal prokes dan dilakukan asesmen ulang. Klaster terjadi pasti karena ada ketidakpatuhan dalam prokes," ungkap Windhu saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/11/2021).

Adapun yang disebut klaster yaitu bila ada dua atau lebih kasus positif yang saling berkorelasi di sebuah sekolah.

Tapi adanya kasus positif di sekolah belum tentu adalah klaster.

Baca juga: Soal Penularan Covid-19 di Sekolah, Menkes: Itu Bukan Klaster

Penentuan terjadinya klaster Covid-19

Windhu menjelaskan, penentuan terjadinya klaster atau tidak berasal dari hasil tracing (pelacakan epidemiologi).

Kemudian bila terjadi banyak klaster di sebuah kabupaten/kota sampai 5 persen sekolah atau lebih dari total sekolah yang melakukan PTM.

"Hal itu menunjukkan pengawasan terhadap PTM di kabupaten/kota itu sangat lemah, sehingga kab/kota tersebut harus menghentikan PTM-nya. Kebijakan pengaktifan PTM di daerah itu harus ditinjau ulang," imbuh Windhu.

Baca juga: Kapan Vaksin Sinovac untuk Anak 6-11 Tahun Dimulai? Ini Penjelasan Kemenkes

Langkah selanjutnya adalah surveilans, terutama surveilans faktor risiko (perilaku kepatuhan prokes) selain surveilans kasus.

Langkkah itu harus terus menerus dilakukan oleh satgas internal sekolah dan satgas pemerintah daerah.

"Cegah jangan sampai 'kebakaran' terlanjur terjadi," tegasnya.

Baca juga: Kapan Vaksin Sinovac untuk Anak 6-11 Tahun Dimulai? Ini Penjelasan Kemenkes

Windhu mengungkapkan bahwa anak sekolah tertular selalu diawali oleh penularan yang terjadi di luar sekolah terutama dari keluarga.

Lanjutnya, anak tertular biasanya karena diajak orangtuanya bepergian ke lokasi/area publik yang tidak aman.

Anak yang tertular itulah yang membawa virusnya ke sekolah dan menulari warga sekolah (sesama anak didik, pendidik, dan tenaga kependidikan).

"Karena itu orangtualah yang seharusnya sadar dan bertanggungjawab, mampu memilih ke mana anak diajak bepergian dengan memastikan terlebih dulu bahwa destinasi yang dipilih memang aman," tutur Windhu.

Baca juga: Vaksin Sinovac untuk Anak Usia 6-11 Tahun, Ini Kata Kemenkes

Perlunya vaksinasi Covid-19 dosis lengkap

Selain itu, Windhu menyarankan untuk melakukan vaksinasi dosis lengkap di semua kabupaten/kota.

Hal itu harus terus dipercepat sampai 100 persen penduduk tervaksinasi, terutama vaksinasi lansia.

Sehingga meski terjadi penularan di berbagai tempat, termasuk sekolah, tidak membahayakan jiwa karena sudah terlindungi oleh antibodi sebagai efek vaksinasi.

Baca juga: Mengenal Molnupiravir dan Paxlovid, Dua Obat yang Diklaim Ampuh untuk Covid-19

Selain itu, menurut Windhu, pemerintah harus memperluas penerapan platform PeduliLindungi ke semua area publik, termasuk berbagai hajatan, secara standar, tidak sekadar formalitas.

Lalu satgas pemda harus mengawasi pelaksanaan penggunaan PeduliLindungi itu.

"Tapi ada aktivitas masyarakat yang sulit dikontrol oleh pemerintah daerah, yaitu misalnya takziah pada peristiwa kematian. Di sinilah RT/RW yang harus punya peran besar, harus mampu mengurai kerumunan yang mungkin terjadi," pungkasnya.

Baca juga: Kata Epidemiolog soal Molnupiravir yang Diklaim Ampuh Obati Covid-19

Dihubungi terpisah, Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Satria Wiratama mengatakan peningkatan kasus tidak terlalu besar.

"Kalau dikatakan meningkat memang meningkat tapi tidak besar. Berdasarkan informasi memang didominasi PTM, ini karena PTM saat ini banyak yang sudah uji coba 50 persen ke atas walaupun jamnya belum full seharian," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (17/11/2021).

Hal tersebut menurut Bayu, menunjukkan kesadaran warga sekolah terhadap Covid-19 masih belum sepenuhnya baik.

Baca juga: Masih PJJ, Kapan KBM Tatap Muka di Sekolah Bisa Dilangsungkan?

Perlunya edukasi ke semua warga sekolah

Terutama jika seseorang mengalami gejala atau menjadi kontak erat, seharusnya tidak boleh masuk sekolah.

"Namun juga kita apresiasi bahwa kasusnya tidak ada yang sampai luas karena cepat ditangani oleh satgas masing-masing daerah dan efek dari vaksinasi juga terasa di mana kebanyakan kasus adalah gejala ringan sampai ke tidak bergejala," kata Bayu.

Kemudian terkait langkah yang harus diambil, menurutnya adalah peningkatan pengawasan dan edukasi ke semua warga sekolah.

"Peningkatan pengawasan termasuk edukasi ke semua warga sekolah bahwa jika ada gejala sekecil apa pun atau menjadi kontak erat dari kasus Covid-19 maka tidak boleh hadir di sekolah," tegasnya.

Baca juga: Deretan Sanksi di Berbagai Negara bagi Warga yang Menolak Vaksinasi Covid-19

Jika ada yang mengalami gejala sekecil apa pun, bisa membahayakan orang lain. Sehingga Bayu menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan.

"Kalau bergejala seringan apa pun tapi mengarah ke Covid-19 maka sebaiknya periksa. Istirahat di rumah hanya untuk yang tidak bergejala namun jadi kontak erat," ujar Bayu.

Terkait perlu tidaknya testing rutin di sekolah yang mengadakan PTM, menurut Bayu jika semua langkah sudah dilakukan maka testing rutin tidak diperlukan.

Langkah yang dia maksud adalah vaksinasi, skrining gejala, melarang orang yang bergejala masuk sekolah, dan melarang kontak erat masuk sekolah.

"Tapi jika memang mau dan mampu melakukan tes rutin maka disarankan dengan antigen per minggu," imbuhnya.

Baca juga: Eropa Alami Gelombang Baru Covid-19, Beberapa Negara Kembali Lockdown

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 10 Kondisi Anak yang Tidak Boleh Menerima Vaksinasi Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi