Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Guru Pesantren di Bandung: Perkosa 12 Murid, Paksa Korban Jadi Kuli Bangunan hingga Manfaatkan Bayi untuk Minta Sumbangan

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/DOIDAM 10
Ilustrasi korban
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wiryawan, seorang guru pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat menghebohkan masyarakat.

Tindakan bejat itu dilakukan pelaku terhadap 12 murid perempuannya dalam rentang waktu cukup lama, yakni sekitar tahun 2016 sampai 2021.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Dodi Gazali mengatakan, dari belasan korban pemerkosaan, beberapa di antaranya hamil dan ada yang sudah melahirkan.

"Korbannya 12 anak, yang melahirkan 8, yang tengah hamil 2," kata Dodi seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (8/12/2021).

Tak hanya melakukan pemerkosaan, Herry ternyata memanfaatkan anak-anak yang lahir akibat tindakan bejatnya itu untuk meminta sumbangan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak-anak yang dilahirkan oleh para korban pemerkosaan diakui sebagai anak yatim piatu, dan dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana sumbangan kepada sejumlah pihak.

Berikut kejahatan yang diduga dilakukan Herry Wiryawan:

1. Memperkosa 12 murid hingga hamil dan melahirkan

Diberitakan Kompas.com, Jumat (10/12/2021) Herry Wiryawan alias HW merupakan pengelola Pesantren Manarul Huda Antapani yang berlokasi di Kota Bandung, Jawa Barat.

Ia telah ditangkap dan kasusnya sudah masuk dalam persidangan. HW diketahui memperkosa 12 muridnya dalam rentang waktu lima tahun, yakni sekitar tahun 2016 sampai 2021.

Menurut Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, bayi yang sudah dilahirkan akibat tindakan bejat HW berjumlah sembilan orang dari empat santriwati.

Sedangkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut menyebutkan, dari 12 korban perkosaan, telah lahir delapan bayi dari tujuh korban.

Salah satu korban bahkan punya dua anak dari perbuatan asusila HW.

Baca juga: Fakta di Balik Kasus 12 Santriwati Korban Pemerkosaan Guru Pesantren di Bandung

 

2. Manfaatkan anak untuk minta sumbangan

Perbuatan keji Herry Wiryawan lainnya adalah memanfaatkan anak-anak yang lahir akibat tindakan bejatnya itu untuk meminta sumbangan.

Anak-anak yang dilahirkan oleh para korban pemerkosaan diakui sebagai anak yatim piatu, dan dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana sumbangan kepada sejumlah pihak.

3. Paksa korban jadi kuli bangunan

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Livia Istania DF Iskandar mengatakan, korban pemerkosaan HW juga dipaksa oleh pelaku untuk menjadi kuli bangunan saat proses pembangunan gedung pesantren di daerah Cibiru.

"Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil pelaku. Salah satu saksi memberikan keterangan bahwa ponpes mendapatkan dana BOS yang penggunaannya tidak jelas, serta para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru," kata Livia.

Baca juga: Santriwati Korban Perkosaan Herry Wirawan Juga Dipaksa Jadi Kuli Bangunan

4. Korupsi dana BOS untuk sewa apartemen

Diberitakan KompasTV, Jumat (10/12/2021) Kejati Jabar menduga HW melakukan penggelapan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk melancarkan perbuatan bejatnya.

Kepala Kejati Jawa Barat Asep N Mulyana mengatakan dugaan tersebut didapat setelah pihaknya melakukan penyelidikan dan pengumpulan data.

"Kemudian juga terdakwa menggunakan dana, menyalahgunakan yang berasal dari bantuan pemerintah, untuk kemudian digunakan misalnya katakanlah menyewa apartemen," kata Asep.

 

5. Pesantren tidak punya ijazah

Diberitakan Kompas.com, Jumat (10/12/2021) Ketua P2TP2A Garut, Diah Kurniasari Gunawan mengatakan, pesantren yang dikelola HW tidak mengeluarkan ijazah untuk murid-muridnya yang sudah lulus.

Ketidakjelasan ijazah ini membuat P2TP2A sempat kesulitan memfasilitasi para korban melanjutkan ke jenjang SMA.

"Ijazahnya ini benar apa enggak, ternyata ada yang sekolah di sana dari SD, ijazah SD enggak ada, ijazah SMP enggak ada, jadi itu harus ikut persamaan," katanya.

Menurut penelusuran P2TP2A Garut, para santri yang menjadi korban perkosaan HW ternyata diiming-imingi biaya pesantren hingga sekolah gratis.

Kebanyakan korban berasal dari Garut, Jawa Barat. Rata-rata para korban masuk ke pesantren tersebut mulai dari tahun 2016, atau sejak masih duduk di bangku SMP.

Baca juga: Kisah Pedih Santriwati Korban Guru Pesantren, Melahirkan Diantar Teman dan Menjaga Anak Sama-sama

Terungkap karena korban pulang kampung

Berdasarkan penelusuran P2TP2A Garut, meski disebut sebagai pesantren, tapi pengajar yang mengajar di pesantren tersebut hanya pelaku HW saja.

Jika pun ada guru lain yang datang, tidak tentu waktunya dan hanya bersifat guru panggilan, tidak seperti halnya sekolah atau pesantren pada umumnya.

"Sisanya (waktu) mereka masak sendiri, gantian memasak, tidak ada orang lain lagi yang masuk pesantren itu," kata Diah.

Dari hasil persidangan sementara, tindakan asusila yang dilakukan HW kepada belasan muridnya ini dilakukan tak hanya di yayasan pesantren saja, tapi juga dilakukan di beberapa tempat lainnya.

Kasus pemerkosaan ini terungkap setelah salah satu korban pulang ke rumah saat akan merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Orangtua korban rupanya melihat ada sesuatu yang berubah pada anaknya hingga diketahui anaknya hamil. Dari sana, korban dan keluarga ditemani oleh kepala desa setempat melapor ke Polda Jabar.

Polisi melakukan penelusuran hingga mengungkap bahwa ada 12 santriwati yang diperkosa oleh HW, seorang guru pesantren di Bandung.

Baca juga: Atalia: Kasus Terkuak, Foto Pelaku Terpampang, Santriwati Korban Perkosaan Guru Down Lagi

 

Hukuman penjara hingga ancaman kebiri

Diberitakan Kompas.com, Kamis (9/12/2021) dalam dakwaan primair, HW melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Sedangkan dakwaan subsider, melanggar Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

"Terdakwa diancam pidana sesuai pasal 81 Undang-undang perlindungan anak, ancamannya pidana 15 tahun tapi perlu digarisbawahi ada pemberatan, karena dia sebagai tenaga pendidik sehingga hukumannya menjadi 20 tahun," kata Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Riyono.

Riyono menambahkan, kemungkinan menjatuhkan hukuman kebiri untuk pelaku akan dipertimbangkan dari hasil persidangan.

"Nanti kita kaji dari hasil persidangannya, karena ini (hukuman kebiri) adalah pemberatan sehingga nanti kita kaji lebih lanjut," ujar Riyono.

Baca juga: Guru Pesantren di Bandung Perkosa Belasan Santriwati, Dihukum Kebiri?

(Sumber: Kompas.com: Kontributor Bandung, Agie Permadi, Kontributor Garut, Ari Maulana Karang | Editor: Aprilia Ika, Khairina, David Oliver Purba) 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: Kompas.com
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi