Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Babak-Bunyak Mempelajari Musik

Baca di App
Lihat Foto
DOK. PRIBADI
Jaya Supradi
Editor: Sandro Gatra

SAMBIL menunggu saat menarik kemudian menghembuskan nafas terakhir, saya berusaha mempelajari apa pun yang bisa saya pelajari ketika menempuh perjalanan hidup di marcapada.

Niat saya sederhana saja, yaitu sekadar berupaya lebih dapat mengerti makna para benda yang benda mau pun benda yang tak-benda di universe, yang kemudian disebut multiverse serta kini sementara disebut metaverse ini atau itu.

Musik

Seingat saya dari sekian banyak benda tak-benda yang pertama saya pelajari adalah musik.

Meski suara adalah Anugerah Yang Maha Kuasa, namun musik adalah rekayasa manusia meski kemampuan membuat musik an sich juga merupakan Anugerah Yang Maha Kuasa.

Pertama saya mempelajari cara membuat musik dengan menggunakan kaleng-kaleng kosong yang saya asyik pukuli demi memunculkan aneka nada dan irama.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemudian lanjut dengan harmonika mulut, gitar, kontrabas, biolin, drum, pianoforte.

Semula saya merasa mengerti apa yang disebut sebagai musik. Namun setelah lebih jauh, lebih luas, lebih mendalam mempelajari apa yang disebut sebagai musik, yang ternyata sangat kompleks, merambah ke harmoni, melodi, birama, warna, polifon, homofon, bentuk, struktur, notasi, solfegio, analisa, era, jenis, semantika, morfologi, etnis, aleatorika, matematika, fisika, persepsi, epistrmologi, kelirumologi, interval, lingkaran kuintal, fraktal, dodekafoni, sejarah, estetika, orkestrasi, akustik, psikoakustik et cetera, et cetera tanpa kenal batas akhir mau pun awal maka alih slih merasa makin mengerti ternyata saya justru malah merasa makin tidak mengerti apa yang disebut sebagai musik.

Gagal mengerti

Misalnya saya tidak habis mengerti kenapa paralel interval kuint dan kuart apalagi tritonus dilarang keras dalam ilmu harmoni yang disepakati para musikolog akademis Barat sebelum Claude Debussy dan Armold Schoenberg.

Saya merasa gagal mengerti mengenai konspirasi rezim musik akademis Barat bahwa gerak akord dominan tidak boleh langsung ke akord sub dominan, tetapi harus disela tonika atau tonika sejajar.

Ternyata ilmu kontratitik Jawa beda banget dari ilmu kontratitik Barat warisan Bach.

Masalah menjadi makin sulit saya mengerti apabila musik dikaitkan dengan neuroscience, maka terkait dengan apa yang disebut sebagai selera mau pun kesadaran yang sengit mempertanyakan bukan hanya tentang benda dan tak-benda namun juga tentang ada dan tidak ada atau diadakan atau teradakan yang rawan menggelincir ke mengada-ada.

Belum lagi ketika saya berhadapan dengan misteri Michael Anthony yang tunanetra merangkap autis pada usia 8 tahun mendadak tanpa ada yang mengajar mampu mempergelar tiga sonata pianoforte no 8, no 14 dan no 23 mahakarya Ludwig van Beethoven.

Suatu keajaiban yang tidak perlu dijelaskan oleh para mahasaintis lewat jalur sains yang paling sains pun justru agar tidak kehilangan sukma estetika misterinya.

Saya senantiasa berupaya mematuhi kearifan Jawa seperti ojo dumeh dan ojo kagetan, namun mohon dimaafkan bahwa saya tidak mematuhi ojo gumunan karena saya memang keras-hati maka bersikeras menikmati indahnya keindahan yang terkandung di dalam gumun.

Babak Bunyak

Akhirnya setelah babak-bunyak akibat terseak-seok sehingga jatuh-bangun mempelajari apa yang disebut sebagai musik, maka lambat laun namun pasti saya tersadar bahwa pada hakikatnya saya tidak perlu mengerti tetapi cukup merasakan keindahan indahnya anugerah Yang Maha Kuasa dalam bentuk tak-benda kasat indera dengar yaitu apa yang disebut sebagai musik.

Memang apa boleh buat dengan daya pengertian manusia yang mustahil sempurna, pada hakikatnya tidak semua benda mau pun tak-benda di antara bumi dan langit bisa maka perlu dimengerti apalagi secara apa yang disebut sebagai ilmiah.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi