Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

293 Wartawan Dipenjara Sepanjang Tahun 2021, Terbanyak di China

Baca di App
Lihat Foto
AP Photo
Wartawan Jepang Yuki Kitazumi dibawa ke kantor polisi Yangon pada bulan Februari 2021, termasuk di antara sejumlah jurnalis yang ditangkap setelah tindakan keras militer Myanmar pasca kudeta. Kitazumi didakwa menyebarkan berita palsu, tetapi diizinkan kembali ke Jepang pada Mei 2021.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Jumlah wartawan yang dipenjara di seluruh dunia mencatat rekor pada tahun 2021.

Menurut laporan Comittee to Protect Journalists (CPJ) ada 293 wartawan yang dipenjara sepanjang 2021 di seluruh dunia.  Jumlah tersebut naik dari total revisi 280 pada tahun 2020.

Selain itu, 24 jurnalis tewas karena liputan mereka sepanjang tahun ini; 18 lainnya tewas dalam keadaan yang terlalu suram untuk menentukan apakah mereka adalah target spesifik.

Baca juga: Polisi Rampas Alat Kerja Wartawan dan Paksa Hapus Video, Kapolda Sulteng Minta Maaf

China terbanyak

China menempati posisi pertama selama tiga tahun berturut-turut sebagai negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis, dengan 50 wartawan mendekam di balik jeruji besi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Myanmar melonjak ke posisi kedua setelah tindakan keras kepada media, menyusul kudeta militer 1 Februari. Mesir, Vietnam, dan Belarus, masing-masing, melengkapi lima besar.

19 wartawan dibunuh sepanjang 2021

CPJ mencatat 19 jurnalis dibunuh karena liputan mereka per 1 Desember 2021.

Tiga jurnalis tewas tahun ini saat meliput dari zona konflik, dan dua lainnya tewas saat meliput protes atau bentrokan jalanan yang berubah menjadi mematikan.

Meksiko tetap menjadi negara paling mematikan di belahan bumi Barat bagi wartawan.

Tiga jurnalis dibunuh karena pemberitaan mereka, dan CPJ sedang menyelidiki enam pembunuhan lainnya untuk menentukan apakah hal itu terkait tugas jurnalistik.

Di India, tercatat empat orang jurnalis dibunuh karena liputan mereka. Sebagian terbunuh saat meliput aksi protes.

Baca juga: Kasus Pembunuhan Wartawan Marsal Harahap, Pelaku Kesal Sering Diberitakan Negatif oleh Korban

 

Pemerintahan otoriter

Direktur Editorial CPJ Arlene Getz, mengatakan, alasan meningkatnya jumlah jurnalis yang ditahan berbeda antar negara.

Namun menurut Getz, semuanya mencerminkan tren yang mencolok, yaitu tumbuhnya intoleransi terhadap pelaporan independen.

"Para pemimpin otoriter semakin berani mengabaikan proses hukum dan melanggar norma-norma internasional untuk mempertahankan kekuasaannya," kata Getz.

"Di dunia yang disibukkan dengan Covid-19 dan prioritas terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, pemerintah yang represif jelas menyadari bahwa kemarahan publik terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sudah tumpul dan pemerintah negara demokratis kurang berminat menjatuhkan sanksi politik atau ekonomi," ujar dia.

Melansir New York Times, Kamis (9/12/2021) Direktur Eksekutif CPJ Joel Simon mengatakan, meningkatnya jumlah jurnalis yang dipenjara ini menunjukkan keengganan di antara pemerintah otoriter untuk merilis informasi yang mereka anggap sebagai ancaman.

“Angka tersebut mencerminkan dua tantangan yang tidak dapat dipisahkan – pemerintah bertekad untuk mengontrol dan mengelola informasi, dan mereka semakin berani dalam upaya mereka untuk melakukannya,” kata Simon.

“Memenjarakan jurnalis karena melaporkan berita adalah ciri rezim otoriter,” ujar dia.

Baca juga: Wartawan di Lampung Dibegal Saat Pulang Liputan, Motor Dirampas, Kemaluan Diremas

 

Nobel perdamaian 2021

Penghargaan Nobel Perdamaian 2021 diberikan kepada dua jurnalis asal Filipina dan Rusia, Maria Ressa dan Dmitry Muratov.

Melansir The Guardian, Jumat (10/12/2021) Ressa dan Muratov menjadi jurnalis pertama yang memenangi penghargaan ini setelah terakhir tahun 1935.

Ressa (58) kepala eksekutif dan salah satu pendiri platform berita online Rappler, dipuji karena mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatnya otoritarianisme di bawah kepemimpinan Presiden Filipina saat ini, Rodrigo Duterte.

Sementara, Muratov (59) merupakan pemimpin redaksi Novaya Gazeta, surat kabar oposisi terkemuka di Rusia dan digambarkan sebagai salah satu pembela kebebasan berbicara yang paling menonjol di Rusia saat ini.

Kiprah keduanya dalam melaksanakan tugas jurnalistik kerap mendapatkan sandungan dari pemerintah setempat, terutama Ressa yang saat ini menghadapi menghadapi dakwaan yang membuatnya terancam sekitar 100 tahun penjara.

Ressa dan Muratov adalah dua dari sekian banyak jurnalis di dunia yang harus berhadapan dengan hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Baca juga: Mengenal Maria Ressa, Jurnalis Filipina Penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2021

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi