Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Staf Komisi X DPR RI
Bergabung sejak: 13 Des 2021

Aktivis Muda NU
Staf Komisi X DPR RI

G20 dan Urgensi Pergeseran Nilai

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Foto Biro Pers, Media, dan Sekretariat Presiden: Presiden Joko Widodo saat mengikuti KTT G20 Roma, di Italia, Minggu (31/10/2021).
Editor: Sandro Gatra

TERHITUNG sejak tanggal 1 Desember 2021, Indonesia secara resmi memegang tampuk kepemimpinan atau presidensi Group Of Twenty (G20).

Adapun rangkaian pertemuan Sherpa Meeting I telah dimulai pada selasa (7/12).

Sherpa Track Meeting perdana yang dihadiri 38 negara tersebut fokus merumuskan arah kerja sama dan pembahasan agenda G20 selama satu tahun kedepan.

Indonesia akan mengetengahkan tiga isu penting, yakni penanganan pandemi, isu lingkungan, hingga pencapaian sustainable development goals (SDGs).

Namun dalam tulisan ini, penulis berusaha fokus tentang perubahan iklim sebagai ancaman serius yang tidak terelakan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanggungjawab G20

G20 punya relevansi dan kepatutan dalam menanggung berbagai permasalahan global khususnya perubahan iklim.

Forum kerja sama ini merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi dunia, 75 persen perdagangan global, 80 persen PDB dunia dan sekaligus penyumbang emisi gas dunia sebesar 80 persen.

Karena itu, G20 harus menomorsatukan diskursus tentang ancaman perubahan iklim sebagai tanggungjawab besar yang perlu dijawab dengan suatu langkah konkret.

Setiap kebijakan dan komitmen di antara negara G20, seyogianya dilandasi kesadaran akan pentingnya memperhatikan keseimbangan ekologi untuk kelangsungan generasi selanjutnya.

Untuk suatu alasan yang rasional dan bersifat mendesak, Fakta Iklim Glasgow harus diseret dan dielaborasi secara tajam dalam pembahasan forum G20 yang akan datang.

Stabilitas pembangunan ekonomi global berkesinambungan harus sejalan dengan kesiapan inovasi dalam penyediaan infrastruktur alternatif yang menunjang pemanfaatan energi bersih.

Indonesia yang saat ini memegang Presidensi G20, harus berperan aktif dalam menyuarakan pentingnya mengembalikan keseimbangan lingkungan sebagai prioritas kebijakan di antara anggota G20.

Indonesia perlu menekankan pentingnya kerja sama global di bidang inovasi dan kerja sama strategis dalam menciptakan road map penggunaan energi bersih dan menekan emisi karbon.

Indonesia juga perlu memberi penekanan pada negara-negara di dalam keanggotaan G2O yang dipandang kurang ambisius dalam jalur untuk menekan suhu kenaikan bumi di angka 1,5 derajat celcius.

Obsesi sejumlah negara industrialis besar di dunia dalam mengejar kejayaan singkat dengan konsekuensi penderitaan berkepanjangan jelas tidak rasional.

Padahal sejak setengah abad yang lalu, sekelompok ilmuan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), telah memperingatkan dalam buku berjudul The Limits to Growth (1972).

Peradaban industri pasti akan runtuh jika perusahaan dan pemerintah terus mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, berapa pun biayanya.

Manusia tampak berada di jalur keruntuhan dalam dua dekade mendatang jika tidak ada perubahan serius dalam prioritas global.

Pada Journal of Industrial Ecology edisi November 2020, yang dikutip dari BBC Indonesia (23/7/2021), Gaya Herrington memperluas penelitian dengan menganalisis prediksi The Limits to Growth disertai data dunia terkini.

Herrington menemukan bahwa keadaan dunia saat ini, termasuk populasi, tingkat polusi, produksi pangan, dan hasil industri, sangat selaras dengan dua skenario yang diusulkan ilmuan MIT pada 1972.

Skenario pertama ialah Business as Usual (BAU), yang menyajikan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2040-an, lalu mengalami penurunan tajam disertai permasalahan populasi dan kelangkaan pangan dan energi.

Skenario kedua ialah Comprehensive Technology (CT), di mana kemajuan teknologi membantu mengurangi polusi dan meningkatkan persediaan makanan, bahkan ketika sumber daya alam habis.

Meskipun sama-sama akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, tapi dalam skenario CT grafik penurunannya tidak terjadi secara radikal.

Herrington ingin menunjukkan bahwa bila komunitas global tetap mempertahankan keadaan seperti pada skenario pertama (BAU/melanjutkan bisnis seperti biasa), yaitu mengejar pertumbuhan berkelanjutan, maka hasilnya keruntuhan ekonomi global.

Lebih lanjut, Herington menjelaskan skenario alternatif, yakni Stabilized World (SW).

SW menitikberatkan pada upaya penurunan standar hasil industri dan konsumsi keluarga.

SW juga mengalihkan fokus pada upaya menomorsatukan investasi di bidang pendidikan serta kesehatan.

Semuanya itu dilakukan berdasarkan kesadaran sebelum keadaan (kelangkaan sumber daya) memaksa untuk melakukannya.

Pada grafik skenario SW, pertumbuhan industri disertai berkurangnya polusi dapat terwujud setelah pergeseran nilai ini terjadi.

Puasa global

Makna pergeseran nilai yang diungkapkan Herrington secara implisit mengandung pengertian bahwa komunitas dunia, perlu untuk menyadari pentingnya menghentikan budaya “melampiaskan” yang melekat sebagai jati diri industi modern.

Krisis iklim jelas merupakan ancaman nyata yang dampaknya bersifat multidimensi.

Kerakusan, kelalaian, dan ketiadaan kontrol terhadap kegiatan industrialisasi yang digerakan oleh investasi besar-besaran dari pihak swasta dan sejumlah negara industri besar selama lebih dari setengah abad, benar-benar menghadirkan ancaman mengerikan.

Manfaat industrialisasi yang hanya dirasakan oleh segelintir pihak, tentu tidak sebanding dengan dampaknya yang dirasakan oleh seluruh populasi di bumi.

G20 harus melahirkan resolusi berani sekaligus tidak biasa. Salah satunya ialah komitmen untuk berpuasa (menahan dan mengendalikan diri).

Skenario puncak kejayaan ekonomi global tahun 2040, kemudian terjadi penurunan ekonomi secara signifikan merupakan paradoks yang menjelaskan kepada kita tentang pentingnya puasa global.

Penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan harus segera ditekan dan dihentikan dalam waktu dekat.

Visi stabilitas pembangunan ekonomi berkelanjutan jangan sampai menjadi kedok menutupi keengganan dan ketidakmampuan G20, khususnya dalam menekan penggunan sumber daya dari bahan fosil dan batu bara yang sudah mendarah daging.

Capaian kemajuan teknologi abad 21 seharusnya tidak membuat negara-negara besar pesimistis dalam menciptakan teknologi alternatif untuk penggunaan energi bersih dalam waktu dekat.

Sebaliknya, upaya untuk menghadirkan teknologi dan adaptasi terhadap penggunaan energi bersih dijadikan sebagai tantangan untuk keluar dari krisis besar.

Keberanian untuk mengambil jarak dari hasrat penambangan keuntungan dari sektor industri, merupakan hal penting yang bersifat mendesak.

Penurunan hasil industri ialah problem yang tidak terlalu besar dibanding ancaman perubahan iklim.

Jika komunitas global terutama sekali G20 mampu menjalankan langkah berani untuk berpuasa dengan mengganti budaya melampiaskan menjadi budaya pengendalian, maka masa depan bumi yang cerah merupakan suatu keniscayaan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi