Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Doktor Sosiologi
Bergabung sejak: 13 Des 2017

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Moderasi Politik Ganjar Pranowo

Baca di App
Lihat Foto
DOK. Humas Pemprov Jateng
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam salah satu kesempatan.
Editor: Sandro Gatra

Dibanding bakal calon presiden lain yang sering muncul dalam survei-survei politik nasional, Ganjar Pranowo bisa dikategorikan sebagai bakal calon yang lebih cenderung ke tengah alias "centerist" dalam berbagai aspek.

Posisi Ganjar secara ideologis hampir mirip dengan Jokowi, Joe Biden, bahkan Angela Merkel.

Jokowi, misalnya, adalah kader PDI-P yang tidak terikat secara genealogis politik kepada elite-elite tradisional partai dan bukan trah Soekarno.

Posisi ideologi ini membuat Jokowi cenderung lebih mudah diterima oleh kalangan non PDI-P, baik religius maupun sekuler.

Keberhasilan Jokowi mempertahankan kursi Istana di laga 2019 bersama dengan Ma'ruf Amin, yang notabene masih termasuk elite religius Nahdlatul Ulama(NU), membayar kekalahan Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU kala itu) tahun 2004 lalu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arti sementaranya, di saat kader PDI-P yang bukan dari "nuclear family"(keluarga inti) elite tradisional PDI-P dipasangkan dengan elite religius, peluangnya untuk menang jauh lebih besar ketimbang memasangkan elite "totok" PDI-P sebagaimana yang terjadi tahun 2004.

Tentu ketika itu juga distimulasi oleh besarnya dukungan pada SBY, sebagai pelengkap konfigurasi yang kurang fleksibel antara elite totok PDI-P dengan elite NU.

Kedua faktor ini membuat kemenangan SBY-JK cukup signifikan.

Hal tersebut bisa terjadi karena secara ideologis, sebagaimana Prabowo dan Gerindra, tokoh inti partai sudah memiliki massa yang "captive."

Memang angkanya tergolong besar tapi tidak "determinant", sehingga dibutuhkan sokongan dari partai dan kekuatan ideologi lain yang beririsan dengan ideologi partai untuk menorehkan angka yang "determinant".

Artinya, PDI-P sangat berpeluang menang jika memasangkan kader partai yang tidak "totok" secara ideologis dan latar belakang politik, alias nasionalis moderat seperti Jokowi dan Ganjar Pranowo, dengan calon lain di luar partai, ketimbang sebaliknya.

Karena, calon yang cenderung "centerist" lebih mudah diterima oleh kalangan non PDI-P dan justru menambah daya gedor dari kolaborasi PDI-P dengan partai dan kelompok non PDI-P.

Sementara jika memajukan calon yang sangat "totok", PDI-P jusru cenderung mengunci daya gedor partai hanya pada pendukung internal dan partai koalisi (captive voter).

Hal itu dalam tataran teknis akan sangat sulit menggandeng suara pemilih mengambang (floating voter) dalam jumlah yang besar.

Faktor semacam inilah yang membuat Jokowi-Ma'ruf tidak saja diperjuangkan secara sungguh-sungguh oleh PDI-P dan NU, tapi juga oleh elemen partai lain dan kelompok relawan yang tidak terafiliasi dengan partai.

Alasan utamanya adalah karena Jokowi cenderung lebih fleksibel dalam ideologi dan lebih akseptabel dari sisi latar belakang politik.

Jokowi tidak terikat secara penuh oleh suara captive partai yang berpeluang membuat perolehan suaranya terkunci pada kategori pemilih tertentu.

Begitu juga di laga 2014. Elektabilitas Jokowi secara personal yang cukup tinggi, berpadu dengan akseptabilitas publik Jokowi di hadapan kalangan non PDI-P, didongkrak pula dengan sosok JK yang diterima di NU dan Golkar, membuat Jokowi menjadi pilihan satu-satunya yang masuk akal secara matematika politik, ketimbang Megawati yang ketika itu terkesan sangat ingin maju pasca SBY selesai menjabat.

Posisi Jokowi di PDI-P hampir mirip SBY di Demokrat tahun 2004, sekalipun peran keduanya berbeda di dalam partai.

Tapi yang jelas, keduanya sama-sama bisa diterima di dalam dan di luar partai alias tidak tergantung pada "captive voter" dari partai sepenuhnya.

Bahkan, pencalonan SBY ataupun Jokowi menjadi salah satu faktor krusial dalam menambah raihan suara partai (coat-tail effect) karena memiliki sisi yang tidak terlalu fanatis kepada salah satu ideologi.

Tak berbeda dengan Joe Biden saat berhadapan dengan Donald Trump, misalnya, sebagai contoh pembanding lain.

Partai Demokrat tahun 2019-2020 menyadari bahwa melawan Donald Trump yang super kanan (far right) tidak bisa dengan kandidat yang super kiri (far left), karena akan mengunci pemilih pada "captive voter" masing-masing partai.

Dengan kata lain, Demokrat harus menghadirkan kandidat yang "center left" untuk meraih suara-suara yang tercecer oleh Donald Trump karena fanatisme kanannya.

Dan Joe Biden adalah kandidat yang tepat, bukan Bernie Sanders atau Elizabeth Warren, yang cenderung sangat ke kiri.

Menghadirkan Bernie Sanders atau Elizabeth Warren sebagai calon presiden akan membuat suara Partai Demokrat terkunci pada kalangan "left" dan "far left" di dalam partai.

Hal semacam itulah yang dialami oleh Hillary Clinton di tahun 2016.

Hillary Clinton adalah representasi dari "liberal wing" atau "Clintonian" di dalam Partai Demokrat, yang menjadi kompetitor kontradiktif dari kelompok "far left" besutan Bernie Sanders cs.

Walhasil, Bernie Sanders tidak meng-endorse Hillary Clinton secara ekplisit sehingga sebagian pendukung Partai Demokrat sayap kiri memilih tidak ke bilik suara ketimbang harus terjebak antara Hillary Clinton dan Donald Trump.

Sebagaimana telah disaksikan, meskipun mengantongi jumlah "popular vote" yang lebih banyak dibanding Donald Trump, Hillary Clinton tetap kekurangan kursi di Electoral College alias gagal melanjutkan estafet kepemimpinan Barrack Obama, yang cenderung agak miring ke kiri dari sisi kebijakan ekonomi pasca krisis finansial 2008 (pasca bailout Wall Street).

Orientasi kebijakan Obama tersebut, menjadi salah satu sebab menguatnya suara populisme yang diteriakkan oleh Donald Trump, yakni anti "establishment" dengan motonya yang sangat tenar "Drain the swamp."

Namun hanya dalam waktu empat tahun kurang, fanatisme kanan Donald Trump memudar.

Partai Demokrat dengan cepat membaca tren ini dan berusaha meng-engineering keterpilihan tokoh-tokoh "centerist" di dalam konvensi partai, agar bisa mengunci Donald Trump dalam "captive voter"-nya, lalu floating voter bisa beralih ke Joe Biden.

Dengan kata lain, jika dikembalikan kepada konteks Indonesia tahun 2024, tokoh yang memiliki fleksibilitas ideologis alias cenderung ke tengah dari ideologi dasar partainya akan berpeluang besar menjadi penghimpun suara tidak saja dari "base" pemilih sendiri, tapi juga dari nyaris semua kalangan pemilih.

Formula sederhana ini bukanlah kalkulasi politik semata, tapi justru menggambarkan kebhinekaan dan keberagaman latar belakang pemilih Indonesia.

Artinya, tokoh atau kader partai yang mampu diterima di biduk partai lain tanpa harus meninggalkan biduknya sendiri adalah tokoh yang berpeluang mendulang banyak suara di satu sisi dan berkapasitas menjahit keberagaman menjadi sumber kekuatan di sisi lain, bukan sebagai sumber pertengkaran dan konflik.

Dari semua bakal calon yang sudah wara-wiri di survei-survei politik belakangan ini, hanya nama Ganjar Pranowo yang nampaknya berpeluang memenuhi syarat tersebut.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi