Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi dan konsultan komunikasi
Bergabung sejak: 6 Mei 2020

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Berita Duka Cita: Matinya Nurani di Musibah Erupsi Semeru

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Warga mengunjungi Dusun Kamar Kajang yang tertimbun material pasir Gunung Semeru di Desa Sumberwuluh, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, Jumat (10/12/2021). Pembersihan material pasir dan batu dari letusan Gunung Semeru tersebut dilakukan untuk memperlancar proses evakuasi korban di wilayah itu.
Editor: Sandro Gatra

Kala hati nurani telah mati
Tak akan ada lagi rasa kasih mengasihi
Tak akan ada lagi rasa sayang menyayangi
Kala hati nurani telah mati
Semua yang diraih tak akan bermanfaat lagi
Karena ego telah menguasai diri
Karena hanya nafsu yang mengendalikan diri

Kala hati nurani telah mati
Apapun akan dilakoni
Untuk memenuhi segala hasrat diri
Meski itu salah dia tak perduli
Meski itu akan menyakiti
Dia tak akan menyadari

Segalanya akan dipungkiri
Meskipun kenyataan akan merintangi
Kala hati nurani telah mati
Tak akan lagi harga diri
Harga diri telah mati
Harga diri telah terkubur rapi

Penggalan puisi “Kala Hati Nurani Telah Mati” karya Aris Azwar ini sepertinya ditulis untuk merefleksikan aneka peristiwa yang terjadi di masyarakat kita.

Walau ditulis medio Februari 2008 silam, namun maknanya sangat konstektual dengan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini di lokasi pengungsian korban musibah erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Betapa tidak, di saat korban erupsi Gunung Semeru masih berbalut duka karena ada sanak keluarganya masih hilang karena terkubur lumpur, menderita sakit karena luka bakar, hilangnya harta benda karena rumahnya rusak atau musnahnya tanah pertanian karena erupsi, tetapi ada pihak lain lain yang tega “menggadaikan” nuraninya.

Dengan alasan untuk kepentingan tayangan stripping sinetron “Terpaksa Menikahi Tuan Muda”, pengambilan gambar yang berlokasi di pengungsian di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang mengundang keprihatinan dari berbagai kalangan.

Selain ada adegan para pemainnya seperti Christ Laurent, Alisia Rininta, Leo Cons dan Rebecca Tamara saling baku peluk di hadapan pengungsi anak-anak, ketidak etisan shooting di kala bencana masih terjadi adalah tidak mempertimbangkan kondisi psikologis para pengungsi.

Setelah mendapat kecaman berbagai kalangan, barulah pihak Verona Pictures yang menjadi rumah produksi sinetron tersebut mengajukan permohonan maaf, walau pihaknya tetap bersikukuh telah mengantungi izin dari Bupati Lumajang.

Seakan hendak menabalkan alasan penguatnya, pihak Verona Pictures menyebut tidak ada niat untuk memanfaatkan musibah demi kepentingan konten.

Kedatangan para pemain sinetron ke lokasi pengungsian adalah upaya untuk meringankan beban para korban erupsi Gunung Semeru.

Kebetulan alur cerita dari sinetron yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta itu berkisah tentang tokoh utamanya menjadi relawan aksi kemanusian (Kompas.com, 23/12/2021).

Memang terdengar absurb jika melihat pembelaan seperti ini, apalagi alasan awal dari rumah produksi Verona bahwa pengambilan gambar di lokasi pengungsian telah mengantongi izin dari Bupati Lumajang.

Nyatanya baik pihak bupati atau Komandan Satgas Semeru Kolonel (TNI) Irwan Subekti juga tidak pernah menerima pemberitahuan atau permintaan izin pengambilan gambar di lokasi pengungsian.

Apalagi kondisi Gunung Semeru masih belum stabil dan masih kerap mengeluarkan erupsi sehingga sewaktu-waktu bisa membahayakan warga yang ada di sekitar Gunung Semeru – termasuk awak pendukung sinetron “Terpaksa Menikahi Tuan Muda” yang tengah shooting di lokasi.

Partai politik pun menumpulkan nurani

Seperti berlomba menunjukkan tumpulnya nurani, di sekitaran lokasi pengungsian dan desa-desa yang dilanda erupsi juga bertebaran baliho dan spanduk dari tokoh partai politik.

Seakan menujukkan simpatinya yang paling dalam, justru munculnya wajah gambar para politisi ditambahi selarik kalimat penuh motivasi seakan “mengejek” penderitaan para pengungsi.

Seperti melupakan definisi komunikasi, para kreator spanduk atau baliho tokoh politik di lokasi pengungsian rupanya khilaf bahwa komunikasi adalah proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam (Everet M. Rogers & Lawrence Kincaid dalam Communication Network Toward a New Paradigm for Research, 1981).

Bagaimana mungkin “spanduk” bisa berdampak menimbulkan saling pengertian yang mendalam jika yang dibutuhkan para pengungsi saat ini adalah jaminan masa depan kehidupannya setelah sandang pangannya tercerabut karena musibah?

Bagaimana tega jika yang dipikirkan partai politik hanyalah elektabilitas dan popularitas sang tokoh, sementara persoalan kebutuhan para pengungsi seperti kesehatan, pendidikan dan rasa aman masih menjadi persoalan keseharian?

Salah satu tujuan berkomunikasi menurut mendiang Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Prof. Onong Uchjana Effendy dalam bukunya “Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi” (2003) adalah menghibur.

Penyampaian rasa simpati kepada warga yang bersedih, misalnya, adalah bentuk komunikasi.

Alih-alih menghibur, jika mau obyektif justru munculnya spanduk atau baliho dari partai politik di sejumlah lokasi bencana lebih banyak menuai kecaman.

Selain tidak mempertimbangkan sensivitas perasaan korban, juga seakan mengolok intelektual publik bahwa urusan “capres” jauh lebih penting daripada sekedar simpati berupa bantuan materi.

Beruntungnya, tanpa pandang bulu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Lumajang segera menertibkan baliho partai politik yang berterbaran di desa-desa terdampak erupsi Gunung Semeru.

Selain tidak berizin, pemasangan baliho juga melanggar prosedur sehingga harus ditertibkan.

Sekitar 33 baliho bergambar tokoh partai politik yang berada di Kecamatan Candipuro hingga ke arah Gladak Perak diturunkan (Cnnindonesia.com, 23 Desember 2021).

Fenomena selfi dan piknik di lokasi erupsi

Duka yang masih melanda para korban erupsi Gunung Semeru juga tidak dihiraukan oleh wisatawan dadakan.

Mereka kerap mendatangi lima dusun yang masuk kategori zona merah bencana erupsi seperti Curah Kobokan, Kajar Kuning, Kamar Kajang, Renteng dan Gondeli.

Aneka foto dan video yang diunggah para wisatawan nir simpati di linimasa seakan menjadikan bencana dan penderitaan warga sebagai obyek turisme.

Pose tertawa dan bergaya demi konten media sosial di sungai aliran lahar dari Gunung Semeru lebih menunjukkan kebahagian ketimbang simpati untuk para keluarga korban (Detik.com, 11 Desember 2021).

Korban erupsi berharap aksi wisatawan di lokasi bencana bisa dicegah dan dilarang, selain untuk kepentingan tugas jurnalistik dan misi sosial relawan.

Dalam konteks kebencanaan termasuk erupsi Gunung Semeru, ranah informasi dan komunikasi menjadi aspek yang sangat seksi untuk dieksploitasi.

Bagaimana sutradara sinetron, relawan tokoh partai politik, dan wisatawan dadakan menggugah simpati dan empati korban menurut versi cara mereka masing-masing.

Namun ada yang mereka lupakan, proses komunikasi akan berjalan lancar apabila para pihak yang terlibat memiliki kompetensi komunikasi yang baik.

Kompetensi komunikasi interpersonal seperti keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesamaan harus melekat agar tujuan komunikasi bisa tergapai.

Dari “kelakuan” kru sinetron, pemasang spanduk dan wisatawan dadakan, terlihat jelas aspek empati begitu dilupakan dan ditanggalkan oleh mereka.

Padahal empati adalah kemampuan seseorang untuk menampakkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain.

Seseorang harus harus mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh para korban bencana.

Dengan empati, seseorang bisa melihat dan merasakan seperti yang dirasakan oleh orang lain.

Harus diakui, bencana telah mengubah konfigurasi dan tatanan sosial para korban. Dinamika penanganannya menuntut keseriusan serta keteguhan untuk mengubah kondisi yang terjadi sebagai cara dan jembatan yang menyatukan keberagaman identitas yang selama ini sering menjadi faktor pembeda antar individu.

Bencana ikut mengetuk toleransi agar hubungan dan interaksi sesama saling bahu membahu dan tolong menolong.

Komunikasi yang mendasari relasi manusia dalam konteks bencana berupaya menemukan alternatif solusi dalam mengatasi persoalan yang muncul.

Peran dan posisi komunikasi lebih pada upaya yang mengarah kepada tindakan bersama guna membantu korban yang terkena erupsi yang selaras serta berdimensi jangka panjang, serta berkontribusi pada multi aspek serta luas (Ade Chandra, 2011).

Pola komunikasi tidak hanya dalam kemasan filosofis yang abstrak dan spekulatif seperti tangismu tangisku, ceriamu ceriaku serta saatnya bangkit menatap masa depan seperti bunyi spanduk yang bertebaran di lokasi terdampak erupsi.

Pola komunikasi justru harus dikongkretkan dalam sikap dan tindakan agar kemasan tersebut lebih bermanfaat dan dinikmati sebanyak-banyaknya oleh para korban musibah erupsi.

Tidak ada salahnya, para pesohor negeri yang ingin “memanfaatkan” bencana lebih bijak dengan berkhidmat kepada filosofi air hujan. Menjadi penebar kebaikan dengan memberi manfaat yang nyata.

Belajarlah dari air hujan
Rela jatuh dari langit dan terburai menjadi tetesan air
Demi bumi yang ingin bahagia

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi