Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Epidemiolog: Jangan Terkecoh dengan Dampak Ringan-Sedang Omicron

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/FunKey Factory
Ilustrasi pasien Covid-19 varian Omicron. Studi awal menunjukkan tingkat rawat inap pasien yang terinfeksi varian Omicron lebih rendah dibandingkan pada mereka yang terinfeksi Covid varian Delta.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, terus bertambahkan kasus Covid-19 dengan varian Omicron di Indonesia bukan sesuatu yang mengejutkan.

Hal ini disampaikannya merespons penambahan kasus infeksi virus corona varian Omicron di Indonesia.

Pada Minggu (26/12/2021), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali melaporkan temuan kasus baru Omicron di Tanah Air.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyebutkan, ada 46 kasus varian Omicron di Indonesia.

Kasus-kasus varian Omicron tersebut sebagian besar berasal dari para pelaku perjalanan internasional.  

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kasus-kasus dari luar itu sebetulnya ada. Bahkan mungkin dari sejak awal November, dan itu artinya juga potensi bahwa itu (Omicron) ada di masyarakat juga relatif besar," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Senin (27/12/2021).

Baca juga: Ramai Istilah Delmicron Kombinasi Delta dan Omicron, Epidemiolog: Tidak Ada!

Menurut dia, hal itu menunjukkan adanya respons yang sangat bagus di titik-titik pintu masuk perjalanan internasional.

"Itu yang seharusnya efektif kita lakukan sejak awal. Jangan hanya karena ada varian baru saja. Itu yang harus dijaga sampai ancaman itu dianggap sudah mereda," kata Dicky.

Menanggapi anggapan bahwa potensi bahaya Omicron terlalu dibesar-besarkan, menurut Dicky, kasus-kasus Omicron dapat dikatakan "belum terlihat" karena jumlah orang yang memiliki imunitas jauh lebih tinggi dibanding ketika varian Delta pertama kali muncul.

"Baik itu karena vaksinasi maupun terinfeksi," ujar dia.

Dicky mengatakan, kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena dapat menimbulkan surveillance bias atau bias pengawasan.

"Seperti tidak terlihat, padahal kita kan masih dalam level community transmission. Artinya kemampuan kita mendeteksi kasus di masyarakat ini belum membaik sebetulnya," kata Dicky.

Ia menyebutkan, terus bertambahnya kasus-kasus Omicron ini harus direspons dengan peningkatan surveillance atau deteksi dini di masyarakat, terutama pada kelompok rawan.

Dampak bisa timbul di kemudian hari

Menurut Dicky, alasan kemunculan varian Omicron seolah tidak menimbulkan dampak signifikan karena hal tersebut membutuhkan waktu, seperti pada kejadian Delta.

Saat ini, kelompok yang paling banyak terinfeksi Omicron adalah kalangan muda dan belum menyentuh kelompok rawan.

"Itu sebagaimana Delta awal-awal. Delta itu kan perlu waktu untuk akhirnya mencapai, merambah, menginfeksi kelompok rawan yang belum tervaksinasi, belum terinfeksi," ujar Dicky.

Dicky mengatakan, saat ini sebagian besar populasi dunia telah memperoleh imunitas berkat vaksinasi atau karena menjadi penyintas Covid-19.

"Tapi dia (Omicron) masih bisa menyebar. Masih bisa menginfeksi," kata dia.

Omicron, lanjut Dicky, sudah seharusnya diwaspadai karena varian tersebut memiliki kemampuan menginfeksi yang lebih besar daripada Delta.

"Dia ini memiliki kemampuan yang lebih besar, setidaknya tiga kali daripada Delta dalam menginfeksi orang-orang yang sudah terinfeksi. Termasuk, dibandingkan Delta, dia masih bisa menginfeksi orang yang sudah divaksinasi," kata Dicky.

Baca juga: UPDATE Omicron di Indonesia: 19 Kasus, Gejala Ringan, dan Belum Ada Transmisi Lokal

Jangan terkecoh dengan gejala ringan-sedang

Dicky mengatakan, dampak dari Covid-19 tidak bisa dipandang hanya dari angka rawat inap rumah sakit maupun jumlah korban meninggal.

Menurut Dicky, ada dampak jangka panjang pada para penyintas infeksi virus corona yang tidak boleh disepelekan, seperti Long Covid-19.

Selain itu, penurunan kualitas kesehatan akibat terjadinya kerusakan organ tubuh, misalnya otak, ginjal, paru-paru, dan sebagainya.

Dampak jangka panjang itu dapat dialami oleh mereka yang bahkan hanya mengalami gejala mild atau gejala yang ringan-sedang.

Dicky mengatakan, dampak yang ditimbulkan Long Covid-19 dapat menjadi sesuatu yang sangat fatal dan bahkan bisa menyebabkan kematian.

Ia menyebutkan, gejala ringan-sedang Covid-19 pada lansia menyebabkan 10 persen kematian pada kelompok tersebut.

Selain itu, menurut Dicky, gejala ringan-sedang Covid-19 juga dapat mengakibatkan kerusakan pembuluh darah pada anak. 

"Jangan sampai kita terkecoh, terdistraksi dengan pengertian 'mild'. Mild ini, ringan-sedang, semua varian begitu. Tapi kalau bicara ringan-sedangnya Covid, itu sangat-sangat berbeda dengan flu atau dengan penyakit-penyakit, katakanlah, masuk angin," ujar Dicky.

Baca juga: Apa Saja Gejala Varian Omicron, dan Apa Bedanya dengan Varian Lain?

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo INgfografik: 10 Gejala Varian Virus Corona Omicron

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi