Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trending #YogyaTidak Aman, Apa Itu Klitih, dan Penyebabnya...

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/Wisang Seto Pangaribowo
Pengunjung melihat senjata-senjata yang digunakan untuk klitih
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Tagar YogyaTidakAman menjadi salah satu trending topik di media sosial pada Rabu (29/12/2021) pagi.

Diduga hal itu berkaitan dengan adanya aksi kejahatan jalanan atau klitih yang terjadi di Yogyakarta.

Sebelumnya, dugaan aksi klitih dibagikan oleh seorang warganet di media sosial.

Baca juga: Menyelisik Awal Mula Munculnya Klitih di Yogyakarta...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ia mengaku dipepet oleh seseorang ketika sedang berkendara di daerah underpass Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Dia menceritakan, ketika sedang berkendara, pelaku yang menggunakan motor mendekatinya dari sebelah kiri dan memegang tangan korban.

Ternyata tangan korban disayat benda tajam hingga melukai lengannya.

Baca juga: #DIYdaruratklitih Ramai di Twitter, Apa Itu Klitih?

Lantas, apa itu klitih dan apa penyebabnya?

Istilah klitih marak di pemberitaan media sekitar 2016 silam.

Saat itu, tercatat ada 43 kasus kekerasan yang melibatkan remaja. Per bulan rata-rata polisi menangani 3 kasus klitih.

Namun kriminal yang melibatkan remaja pernah muncul pada 1990-an.

Dalam arsip Harian Kompas, 7 Juli 1993, Kapolwil DIY yang saat itu dijabat oleh Kolonel (Pol) Drs Anwari menyebutkan bahwa polisi telah memetakan keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan aksi kejahatan di Yogyakarta.

Baca juga: Menyelisik Awal Mula Munculnya Klitih di Yogyakarta...

Pengertian klitih

Dilansir dari pemberitaan Kompas.com (14/1/2021), kata klitih adalah bentuk kata ulang yaitu klitah-klitih yang bermakna jalan bolak-balik agak kebingungan.

Hal itu merujuk pada Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito, seperti diberitakan di Harian Kompas, 18 Desember 2016.

Pranowo pakar bahasa Jawa sekaligus Guru Besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta menjelaskan bahwa klithah-klithih masuk kategori dwilingga salin suara atau kata ulang berubah bunyi seperti pontang-panting dan mondar-mandir.

Baca juga: Apa Itu Klitih, Aksi Kriminalitas Jalanan Remaja di Yogyakarta?

Namun ia mengartikan klithah-klithih sebagai keluyuran yang tak jelas arah.

”Dulu, kata klithah-klithih sama sekali tidak ada unsur negatif, tapi sekarang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Katanya pun hanya dipakai sebagian, menjadi klithih atau nglithih yang maknanya cenderung negatif,” kata Pranowo.

Menurut sosiolog kriminal dari UGM Yogyakarta Soeprapto, makna klitih sendiri mengalami pergeseran makna.

Waktu masih menempuh pendidikan sekolah menengah, sekitar 1973, dia sering melihat perkelahian antarpelajar di Yogyakarta.

"Kalau dulunya ini kan lebih kepada upaya membela temannya yang memiliki masalah dengan orang lain, seperti dari daerah atau sekolah berbeda. Zaman saya sekolah dulu juga ada, tetapi hanya sebatas perkelahian antarpelajar," kata dia.

Baca juga: Sejarah dan Asal-usul Nama Yogyakarta

Akibat perkelahian antarpelajar yang tidak kunjung usai, pemerintah setempat sekitar 2008 dan 2009, sempat menegaskan aturan bahwa setiap pelajar yang terlibat perkelahian maka akan dikembalikan kepada orangtua.

"Akhirnya beberapa pelajar yang kemudian sadar, tidak lagi terlibat. Tapi anak-anak yang masih dalam lingkaran kekerasan, mencari atau melampiaskan ke jalanan. Inilah kemudian terjadi penyimpangan makna klitih," ujar Soeprapto.

Geng-geng pelajar ini kemudian mencari musuh secara acak, sehingga belakangan motifnya menjadi lebih beragam.

Bahkan kini para pelajar yang terlibat kriminalitas di jalanan sudah menggunakan alat-alat, seperti rantai, gear sepeda motor, celurit, golok, atau senjata tajam lainnya.

Baca juga: Mengintip Praktik Kurikulum Tersembunyi pada Budaya Kekerasan di Sekolah...

Penyebab aksi klitih

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sari Murti menjelaskan, penyebab pelaku melakukan klitih di jalanan salah satunya karena tidak nyaman saat berada di keluarga.

"Sekarang ini banyak geng, mereka merasa lebih nyaman karena mungkin di dalam keluarga kurang mendapatkan perhatian. Setelah masuk geng mereka merasa diterima, remaja juga butuh pengakuan dari lingkungan," ujarnya saat ditemui di kompleks kepatihan, Selasa (28/12/2021).

Dari hasil pendataan yang dilakukannya, sebagian besar pelaku klitih masih berusia belia yakni rentan usia 15-17 tahun.

Menurutnya, pendekatan kepada anak-anak yang terlibat kejahatan jalanan dibutuhkan teknik khusus, tidak bisa hanya dengan ceramah belaka.

Baca juga: Mengapa Kasus Kekerasan di Sekolah Taruna Masih Terjadi?

Sari menambahkan, butuh tempat khusus bagi anak-anak pelaku klithih yang mendapatkan diversi, karena saat pelaku mendapatkan diversi pelaku dikembalikan ke orangtua masing-masing.

"Itukan kembali ke keluarga atau LPKS, itukan harus ada yang nampani (menerima). Orangtuanya disiapkan, kalau orangtua enggak siap nanti baleni meneh (ulang kembali)," kata dia.

Ia berharap kepada Pemerintah DIY agar dalam melakukan penanganan klitih tidak terjadi tumpang tindih. Terlebih saat ini setiap organisasi perangkat daerah (OPD) memiliki tupoksi yang sama.

Yang terpenting, saat ini adalah mensinergikan setiap program OPD. Sehingga, kebersamaan dalam melakukan penanganan klitih ini dapat lebih optimal.

"Harus lebih matang dulu konsepnya, jangan tumpang tindih antar OPD. Juga butuh pemetaan kenakalan remaja ini seperti apa," kata dia.

Baca juga: Soal Kawin Tangkap di Sumba dan Budaya Kekerasan terhadap Perempuan...

Sebagian besar pelaku klitih merupakan remaja atau pelajar

Kabid Humas Polda DI Yogyakarta Kombes Yuliyanto mengatakan bahwa kriminalitas jalanan yang kerap disebut klitih ini sebagian besar pelakunya merupakan remaja atau pelajar.

"Kejadian kejahatan di jalanan, kriminalitas di jalanan yang disebut klitih itu kan kebanyakan dilakukan oleh anak-anak di bawah umur yang menggunakan sepedah motor," ujar Yulianto saat dihubungi Kompas.com, Selasa (28/12/2021).

Kejadian semacam ini umumnya terjadi di malam hari. Sehingga pihaknya rutin melakukan patroli ke titik-titik lokasi di mana kerap terjadi kasus klitih.

Baca juga: Mengapa Kasus Pengaturan Skor Sepak Bola Indonesia Masih Terjadi?

Karena pelaku banyak dari kalangan pelajar, pihaknya juga melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan merazia kendaraan yang dipakai anak-anak yang belum cukup umur.

Karena klitih melibatkan anak-anak atau remaja, maka hukuman yang diberikan juga lebih ringan. Maka, solusi terbaik menurut Yulianto adalah dengan pencegahan.

"Penyuluhan ke sekolah juga sering dilakukan. Dulu saat masih ada pembelajaran tatap muka kita juga berkegiatan di sekolah untuk menyampaikan supaya tidak terjadi kekerasan antarsekolah," kata dia.

Baca juga: Suporter Sering Berulah, Ada Apa dengan Sepak Bola Kita?

Kendati demikian, Yulianto berpendapat bahwa penanganan masalah klitih tidak bisa dilakukan oleh institusi polisi saja. Ada peran besar masyarakat dalam memberi perhatian pada remaja dan pelajar.

"Tanggung jawab penanganan klitih itu bukan hanya ada di polisi. Polisi urusan penegakan hukum itu pasti akan dilakukan oleh polisi, manakala anak-anaknya atau pelakunya tertangkap pasti akan dilakukan proses," tutur dia.

Merespons kasus yang baru-baru ini terjadi dan diunggah di media sosial, pihaknya akan memantau dan mendata lokasi yang dilaporkan oleh pengunggah.

Namun, menurut Yulianto, akan lebih baik jika masyarakat langsung melapor kepada kepolisian meski tidak mengetahui pelat motor atau ciri pelaku.

Baca juga: Saat Kemendikbud Tekan Kekerasan pada Anak dengan Kawal Sekolah Aman...

(Sumber: Kompas.com/Rizal Setyo Nugroho, Dandy Bayu Bramasta, Wisang Seto Pangaribowo | Editor: Rizal Setyo Nugroho, Sari Hardiyanto, Khairina)

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: #DIYdaruratklitih

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi