Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cegah Kekerasan Seksual, Terapkan Pola Asuh Ini Ke Anak Sejak Dini

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
ilustrasi cyberbullying, ilustrasi kekerasan seksual digital
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Dewasa ini, banyak terjadi kasus kejahatan dan kekerasan seksual.

Bahkan, sebagian pelaku dan korban berasal dari kelompok usia yang terbilang masih anak-anak maupun remaja.

Pelecehan seksual merusak kehidupan korban, pelaku, berikut keluarganya. Banyak faktor yang bisa memengaruhi seseorang menjadi pelaku atau korban kekerasan seksual.

Namun, pola asuh di dalam keluarga sedikit bisa menjadi dasar agar tidak melakukan kekerasan tersebut.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa saja pola asuh yang mesti diterapkan?

Psikolog Anak dan Keluarga Astrid Wen menjelaskan, beberapa pola asuh yang bisa membentuk seorang anak jauh dari tindak kekerasan seksual atau kekerasan pada umumnya.

Baca juga: Kita Tengah Mengalami Darurat Kekerasan Seksual...

1. Beri edukasi seks dan relasi

Hal pertama adalah pentingnya ditanamkan edukasi seks dan relasi sejak usia dini.

"Perlu. Edukasi seks itu yang penting supaya setiap orang memiliki kehidupan seksualitas yang aman. Sedangkan menanamkan pemahaman tentang konsep relasi mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau the power of abuse," kata Astrid, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (29/12/2021).

Dua hal ini menjadi poin utama agar anak bisa memahami apa itu seksualitas dan ke depannya tidak akan menggunakan kekuatannya untuk menekan pihak lain sehingga timbul kerugian.

"Kesetaraan gender, bagaimana laki-laki menghargai perempuan. Bagaimana perempuan memperlakukan laki-laki. Adanya rasa hormat satu sama lain," jelas Astrid.

Baca juga: Melihat Kekerasan pada Perempuan dan Anak? Segera Lapor ke Sini!

2. Hindari kekerasan

Kekerasan baik dalam bentuk verbal maupun fisik sangat dianjurkan untuk dihindari dalam sebuah keluarga.

Terutama, kekerasan jangan sampai dilihat oleh anak-anak yang masih ada dalam proses perkembangan.

"Dicek saja, keluarga kita masih ada kekerasan atau enggak, karena kalau masih familiar dengan kekerasan, ketika anak nantinya melihat kekerasan yang lain, tidak aneh. Dia dipukuli pacarnya, atau dia mukulin pacarnya, itu dunianya dia," jelas dia.

Dengan orangtua selalu mencontohkan perilaku yang lembut dan penuh dengan kasih sayang, maka anak tidak akan terbiasa dengan tindak kekerasan.

Itu akan ia bawa dalam caranya memperlakukan orang lain di kemudian hari.

Baca juga: Kasus Bunuh Diri NW dan Alarm Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia

3. Perbaiki kemampuan komunikasi

Selanjutnya, komunikasi. Orangtua harus selalu mau untuk memperbaiki kemampuannya dalam berkomunikasi dengan anak.

Sebagian orangtua bertindak otoriter atau keras terhadap anak, tetapi tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya yang diharapkan dari sikap itu.

Ada juga yang menyakiti anaknya hanya karena belum cukup lihai mengendalikan emosi diri pribadinya.

"'Kenapa sih saya dipukul? Kadang enggak jelas kenapa dia dipukul. Alasannya enggak disampaikan atau alasannya enggak masuk akal," ungkap dia.

"Itu karena orangtua masih sulit mengomunikasikan keinginan atau kondisinya kepada anak, orangtua masih ingin dilihat lebih superior dari anak, orangtua masih kesulitan mengendalikan dirinya," sambung Astrid.

Dia juga menyebut, orangtua semestinya belajar untuk memperbaiki diri, tidak mengulang kesalahan yang sama, dan berani meminta maaf kepada anak, jika memang mereka salah.

Dengan demikian, anak akan belajar untuk mempunyai sikap yang baik, termasuk dalam memperlakukan orang lain.

Baca juga: Menemukan Kekerasan Seksual di Kampus, ke Mana Harus Mengadu?

4. Jangan abaikan emosi

Poin ini biasanya terjadi pada anak laki-laki atau pada suami dalam sebuah rumah tangga

Mereka diposisikan untuk menjadi seorang yang kuat, tidak boleh terlihat lemah, mampu melindungi, dan sebagainya.

"Nangis enggak boleh, enggak ada ruang berekspresi yang cukup untuk beban mereka yang berat. Laki-laki butuh sedikit ruang untuk mengungkapkan ekspresi emosinya," jelas Astrid.

Contoh lain dari pengabaian emosi ini, misalnya tidak adanya teguran ketika anak berbuat salah, pujian ketika berbuat baik, ungkapan bangga ketika berprestasi, dan lain sebagainya.

"Pengabaian emosi, baik sengaja atau tidak sengaja pada anak kita yang laki-laki akan menyebabkan dia bingung sekali, emosi apa sih yang terjadi di dalam dirinya. Akhirnya dia mencoba mengatasinya dengan cara yang enggak tepat," ungkap dia.

"Ketika emosi disepelekan, dia akan merasa emosi yang ada dalam dirinya tidak penting. Kalau begitu emosi orang lain juga enggak penting, dia bisa berbuat semena-mena ke orang," sebut Astrid.

Apabila beberapa poin di atas bisa diterapkan dengan optimal, maka potensi seorang anak untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain bisa ditekan.

Mereka tidak memiliki cukup alasan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.

Selain mendapatkan pendidikan seksual sejak dini, mereka juga telah memahami konsep relasional, menjaga satu sama lain, menghargai sesama, dan lain sebagainya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi