KOMPAS.com - Beberapa orang bisa melakukan hitungan matematika tanpa alat bantu elektronik sama sekali, namun beberapa lagi mengalami kesulitan meskipun hanya menghadapi hitung-hitungan dalam digit sederhana saja.
Banyak orang yang mengaku buruk dalam matematika, alias lemah dalam hitung-menghitung angka.
Mengapa seseorang bisa mudah melakukan soal matematika dan beberapa lainnya lagi lemah dalam penambahan, pengurangan bahkan perkalian angka?
Melansir dari The Conversation, faktor mengapa seseorang bisa buruk dalam hitung-hitungan karena adanya trauma yang biasa disebut trauma matematika.
Baca juga: Cegah Kekerasan Seksual, Terapkan Pola Asuh Ini Ke Anak Sejak Dini
Kemampuan matematika tak berkaitan dengan genetika
Kemampuan dan ketidakmampuan seseorang dalam soal hitung-hitungan atau matematika tak berkaitan sama sekali dengan gender, ras, atau bahkan status ekonomi.
Kemampuan dan ketidakmampuan dalam matematika sangat tidak terkait dengan genetika mengingat matematika belum begitu lama menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Mengutip dari laman Big Think, insting matematika pada masing-masing orang baru diterapkan dan dikenalkan ketika seorang anak mulai memasuki jenjang sekolah. Seperti dengan menghitung gambar apel atau gambar berbagai binatang.
Inting awal inilah yang akhirnya berguna ketika nantinya seseorang menjadi dewasa dan menyelesaikan soal-soal geometri, aritmatika, dan lain sebagainya.
Beberapa anak sudah dibekali orang tuanya insting berhitung sederhana sebelum memasuki jenjang Paud, sedangkan beberapa lainnya baru mengenal angka setelah memasuki pintu Paud.
Jadi hal yang normal dan wajar, jika anak yang belum mendapatkan "bekal" sama sekali akan mengalami perkembangan lebih lamban dibanding anak yang sudah mengenal insting dasar matematika.
Dalam beberapa soal ujian yang diberikan gurunya, anak yang sudah membawa "bekal" ini lebih bisa menguasai soal dan menemukan jawaban dengan cepat. Sehingga tanpa disadari, mereka melabeli dirinya sebagai seseorang yang ahli berhitung, atau ahli matematika.
Pelabelan yang tanpa disadari ini akan memicu semangat dan membuat mereka lebih senang belajar matematika dalam berbagai level.
Nah anak yang belum diberi bekal matematika sama sekali, tak pernah mengetahui jika teman-temannya yang lain sudah mencuri start dengan belajar insting hitung-hitungan sedari dini.
Yang mereka tahu, mereka buruk dalam soal hitung-hitungan, dan pemahaman diri ini akan membuat mereka semakin takut menghadapi berbagai soal matematika.
Baca juga: Manfaat Kesehatan Permen Karet, Meredakan Gerd dan Meningkatkan Memori
Apa itu trauma matematika?
Trauma matematika biasanya dimanifestasikan ke dalam rasa cemas dan takut jika melakukan kesalahan dalam hal menghitung angka.
Selain karena faktor kurangnya pembekalan insting hitung-hitungan sedari dini, trauma akan matematika juga bisa disebabkan oleh sistem pengajaran yang kurang tepat.
Menurut Randy Palisoc, pengajar dari James Jordan Middle School, jika saja semua guru bisa menunjukkan bahwa matematika adalah salah satu bahasa berkomunikasi layaknya bahasa inggris dan bahasa-bahasa lainnya, maka anak-anak akan lebih bisa mengenal talenta alaminya dalam berlogika.
Pemberian batas maksimal waktu pengerjaan soal hitung-hitungan kepada seseorang yang lemah dalam berhitung juga akan memicu ketakutan, dan mematikan memori otak mereka. Hal ini juga akan menyebabkan trauma matematika.
Jadi bagaimana agar semua anak tak mengalami trauma matematika? Kenalkan matematika sedari dini dengan pendekatan yang menyenangkan, seperti lewat permainan.
Ketika anak melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal hitungan, jangan pernah memberi anak pesan bahwa mereka lemah dalam angka.
Baca juga: 6 Jenis Olahraga yang Tepat untuk Memacu Tinggi Badan Anak
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.