Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi
Bergabung sejak: 7 Okt 2019

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Pemimpin Harus Mau Mendengarkan

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/ANDREY_Popov
Ilustrasi pemimpin rapat yang bersifat arogan.
Editor: Egidius Patnistik

MENJADI seorang pemimpin bukan hal yang mudah karena selain menjadi faktor penentu bagi kemajuan dan keberlanjutan suatu organisasi, segala tindakan baik berupa kebijakan maupun keputusan yang diambil seorang pemimpin akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan banyak orang.

Namun sayangnya, menjadi seorang pemimpin kerap disalahpahami sebagai sang empunya kekuasaan, yang seolah-olah memiliki privilege penuh untuk memerintah. Bahayanya lagi, kekuasaan tersebut secara politis digunakan untuk mendominasi orang lain tanpa memperhatikan dampaknya terhadap keberlanjutan organisasi di masa yang akan datang.

Baca juga: Kenali Bedanya Mendengar dan Mendengarkan

Padahal, dalam memajukan organisasi seorang pemimpin tidak mungkin bekerja sendirian, melainkan bersama tim karena seperti kata Alfred North Whitehead, “Tidak ada satu orang pun yang berhasil meraih keberhasilan tanpa bantuan dari orang-orang lain”.

Oleh karena itu, dari pemahaman ini, kita bisa mengambil suatu pelajaran penting tentang kualitas pemimpin yang baik, salah satunya adalah kemampuan mendengarkan pendapat orang lain yang bisa digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan dalam hal pengambilan keputusan yang tepat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

‘Mendengar’ bukan berarti ‘mendengarkan’

Mendengar (hearing) dengan mendengarkan (listening to) adalah dua hal yang berbeda. Jika kita ‘mendengar’, kita hanya akan terfokus pada sumber bunyi berupa kata-kata. Namun jika kita ‘mendengarkan’, artinya kita benar-benar menyimak secara seksama dengan tujuan memahami maksud dan tujuan dari lawan bicara.

Elle Kaplan dalam artikel berjudul "The Power of Listening" yang ditulis oleh Jonathan H Westover (2020) menjelaskan bahwa kemampuan menyimak yang efektif harus dibarengi dengan fokus yang bersifat intensional ketimbang hanya mendengar arti kata-katanya dari lawan bicara kita.

Dengan kata lain, menyimak bukan hanya sekedar mendengar kata-kata dari lawan bicara tetapi memahami dengan tujuan mengerti informasi dan kebutuhan secara akurat karena menyimak dengan baik artinya kita sedang menunjukkan empati, menunjukkan keperdulian, dan berusaha untuk mengerti kondisi lawan bicara.

Penulis buku The Seven Habits of Highly Effective People, Stephen E Covey berargumen bahwa umumnya kebanyakan orang tidak benar-benar mendengarkan dengan tujuan memahami maksud, tetapi hanya sekedar membalas lawan bicara yang seolah menunjukkan bahwa ia aktif dalam sebuah percakapan.

Apa yang disampaikan oleh Covey mungkin dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja seseorang yang menganggap dirinya ‘benar’ dan paling tahu segalanya sehingga pendapat orang lain tidak dianggap penting dan bermakna.

Hal ini bisa saja terjadi dalam relasi kerja, relasi antara orangtua dan anak, pertemanan, percintaan, dan relasi lainnya. Parahnya lagi, rasa enggan mendengarkan pendapat orang lain dapat menjadi faktor pemicu yang memunculkan konflik antar sesama manusia.

Baca juga: 8 Alasan Anak Tidak Mau Mendengarkan Kita dan Cara Mengatasinya

Dalam teori sosial, kemampuan mendengarkan juga bisa dikaitkan dengan adanya relasi kuasa. Filsuf posmoderenis Perancis, Michel Foucault mengatakan bahwa di setiap relasi atau hubungan sosial selalu ada unsur kekuasaan di dalamnya yang posisinya tidak pernah setara dan hal ini yang memungkinkan salah satu subjek yang merasa memiliki kekusaan lebih memiliki ego tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Artinya, penyalahgunaan kekuasaan ini bisa saja terjadi di berbagai lingkungan sosial misalnya saja di lingkungan kantor yang toksik. Pimpinan yang kerap kali merasa dirinya memiliki posisi tertinggi dalam struktur berpotensi merasa dirinya paling ‘benar’ dan cenderung berjalan sendiri serta sering mengabaikan pendapat karyawannya.

Hal yang sama juga bisa terjadi di lingkungan pendidikan yang menempatkan guru pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan peserta didik, bahayanya di lingkungan pendidikan yang feodalistik, guru akan berpotensi berperan sebagai sumber kebenaran (source of truth) yang sangat anti-kritik dan abai terhadap masukkan dari peserta didik.

Sehingga yang terjadi adalah kualitas siswa yang tidak percaya diri dan tidak kritis-inovatif-solutif karena merasa selalu disalahkan oleh gurunya, dan jika ini terjadi di banyak tempat kita bisa membayangkan betapa buruknya kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Begitu juga yang pernah terjadi dalam sistem politik nasional, di rezim Orde Baru kekuatan militerisik yang sangat represif menutup keran kebebasan berpendapat publik kepada pemimpin negara dan keengganan pemerintah untuk mendengarkan suara-suara rakyat, khususnya kelompok minoritas selama 32 tahun.

Sebagai akibatnya, kondisi tersebut akhirnya menjadi bom waktu yang ‘meledak’ pada Mei 1998 dengan kerusuhan massa dan memporak-porandakan berbagai sektor penting negara.

Hal yang sama juga terjadi di era reformasi, meskipun kebebasan berpendapat sudah jauh lebih demokratis. Namun hal tersebut ternyata masih menimbulkan masalah sosial akut, misalnya konflik berbasis SARA masih kerap mewarnai pemeberitaan di media massa dan media sosial kita.

Banyak ditemukan konflik sosial di berbagai wilayah yang lagi-lagi akar masalahnya adalah intoleransi sebagai wujud keengganan seseorang atau kelompok mayoritas untuk secara baik-baik mendengarkan suara-suara kelompok minoritas.

Dari beberapa contoh di atas, kita bisa membayangkan betapa buruknya dampak yang mungkin terjadi karena rendahnya kemampuan mendengar yang diperparah dengan sikap otoriter dan resisten terhadap segala bentuk kritik.

Maukah kita belajar ‘mendengarkan’?

Mendengarkan atau menyimak adalah skill yang sangat bisa dilatih. Melatih diri untuk memiliki kualitas ini menurut Gerszberg, penulis positive psychology life coach, akan memiliki banyak sekali manfaat bagi kehidupan kita, seperti mencegah konflik di kemudian hari, meningkatkan empati, dan memperkuat berbagai relasi, memotivasi orang lain untuk menjadi pribadi lebih baik, dan masih banyak lagi

Paling sederhana, kita bisa mulai dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan lawan bicara secara penuh perhatian, sebisa mungkin kita menahan diri untuk tidak berkomentar apalagi memberikan penilaian kepada lawan bicara karena orang bercerita kepada kita memiliki kecenderungan untuk didengarkan ketimbang dinilai.

Gerszberg menyatakan bahwa seseorang yang sedang bercerita cenderung merasa tidak nyaman apabila terdapat distraksi berupa interupsi selama percakapan berlangsung, sehingga sebaiknya kita menyimak sampai lawan bicara selesai bercerita.

Satu hal lagi yang paling penting dimiliki oleh seorang pendengar yang baik adalah keterbukaan akan hal-hal baru dan mengakui adanya relativitas makna. Hal ini berfungsi untuk mencegah kita menjadi individu yang judgmental dan tidak peduli terhadap kebutuhan serta perasaan orang lain yang menjadi lawan bicara kita.

Bagi seorang pemimpin di lingkungan kerja, ia harus mampu mendengarkan pendapat dari para karyawannya, meskipun bukan berarti bahwa ia harus mengakomodir semua pendapat untuk direalisasikan. Paling tidak ia tahu apa yang sedang terjadi di organisasi yang ia pimpin sehingga jika terdapat masalah ia dapat berpikir secara logis-reflektif untuk memberikan solusi cerdas yang bisa merangkul semua elemen.

Dengan mendengarkan, seorang pemimpin diharapkan mampu bersikap adil karena semua elemen di dalam suatu organisasi memiliki peran penting dalam menggapai kesuksesan sehingga segala bentuk kontribusi mereka harus dihargai.

Kesimpulannya, jika kita mau melatih diri untuk menjadi pendengar yang baik, kita harus punya komitmen dan kesadaran penuh serta kemauan untuk mendengarkan lawan bicara dengan penuh penghargaan dan perhatian.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi