KOMPAS.com – Kehadiran internet memudahkan seseorang mengakses informasi dalam hal apa pun, tetapi juga mendatangkan bahaya pada akses konten pornografi.
Pornografi adalah gambar atau video atau tulisan yang menggambarkan perilaku seksual untuk menimbulkan gairah seksial.
Konten pornografi bisa tersebar mulai dari film, animasi kartun, komik, foto, majalah, dan bahkan pada games atau permainan.
Baca juga: Herry Wirawan dan Mengenal Apa Itu Kebiri Kimia...
Diberitakan Kompas.com (28/11/2015), riset internasional memperkirakan jumlah anak dan remaja yang mengakses konten pornografi bervariasi dari 43-99 persen pada kelompok yang lebih tua.
Paparan pada pornografi online biasanya dimulai pada usia 11 tahun dan akan semakin sering seiring bertambahnya usia.
Patut menjadi kewaspadaan, pornografi diketahui dapat membuat kecanduan dengan cara yang sama persis seperti halnya narkoba.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Fetish dan Bagaimana Bisa Muncul?
Lantas apa dampak atau bahaya video porno untuk anak di bawah umur?
Dampak video porno untuk anak di bawah umur
Psikolog Anak dari Lembaga Psikologi Anava Solo Maya Savitri menjelaskan, dampak dari seorang anak yang belum cukup umur melihat tayangan porno bisa luar biasa.
“Dampaknya luar biasa. Rusaknya syaraf PFC pre frontal cortex,” ujar Maya saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.
Diketahui, prefrontal korteks merupakan bagian depan otak yang terletak di belakang dahi.
Baca juga: Viral Utas soal Predator Fetish Kain Jarik, Ini Tanggapan Unair
Prefrontal korteks adalah suatu bagian otak yang spesial pada manusia, yang berfungsi untuk mengatur fungsi eksekutif, yaitu kemampuan merencanakan sesuatu, membuat keputusan, memecahkan masalah, mengontrol diri, mengingat instruksi, menimbang konsekuensi dan masih banyak lagi.
Maya mengatakan kerusakan prefontal korteks bisa mengakibatkan kerusakan akhlak anak di masa depan nanti.
"Hal ini karena PFC mengatur managemen kendali di dalam diri seseorang seperti terkait sopan santun, etika, pengaturan emosi, dan sebagainya," katanya lagi.
Baca juga: Ahli Sebut Fetish Tak Bisa Sembuh tapi Bisa Dikontrol, Bagaimana Caranya?
Ia menilai orang tua berperan penting dalam mengontrol tontonan anak. Sehingga seharusnya orang tua tegas, konsisten, dan menyadari diri.
Selain itu, orang tua juga sebaiknya memperbaiki hubungannya dengan anak supaya bisa terjalin komunikasi yang bagus.
Sehingga orang tua bisa memberikan masukan dan arahan pada anak mengenai apa yang ia tonton.
Dan bila perlu, menurutnya anak bisa dibawa ke profesional untuk diberikan penanganan lanjutan apabila anak kecanduan.
Baca juga: Ramai Pembahasan soal Fetish, Bagaimana Gejala, dan Penanganannya?
Kunci pembentukan perilaku anak
Ia mengingatkan orang tua adalah kunci pembentukan perilaku anak.
“Awasi anak dalam memegang gadget-nya terutama kondisi pandemi saat ini dan jangan membiarkan anak berselancar sendiri di dunia maya,” kata dia.
Lebih lanjut, ia mengingatkan efek pornografi akan muncul tidak hanya untuk masa sekarang namun juga jangka panjang.
Baca juga: Viral Twit tentang Pegawai KPI Alami Pelecehan Seksual dan Perundungan
Melansir pemberitaan Kompas.com (25/3/2020), berikut ini beberapa kerugian lain yang bisa didapat oleh para pencandu pornografi:
- Fungsi otak menurun
- Jalur komunikasi di dalam otak terganggu. Dalam hal ini akan mengganggu fungsi otak seperti, emosi, pemusatan perhatian, pergerakan, kecerdasan dan pengambilan keputusan
- Seseorang mencontoh perilaku seperti yang dilihat dalam tayangan atau gambar pornografi
- Pada anak-anak, pornografi bisa membuat cemas dan sedih karena imajinasi mereka mengenai seksualistas tidak tercapai secara langsung
- Anak-anak juga bisa merasa jijik, syok, malu, marah, dan takut karena mereka masih terlalu muda untuk memperlajari hal-hal tersebut
- Sulit bermain dengan teman-teman karena fungsi kesenangan di otak sudah berbeda dengan anak seumuran lainnya
- Berperilaku kasar, di mana pada saat dewasa orang yang sudah kecanduan pornografi cenderung akan menganggap pasangannya sebagai obyek seksual semata sehingga harga diri pasangananya dianggap rendah dan berhak melakukan apa pun.
Baca juga: Marak soal Kasus Penyimpangan Seksual, Bagaimana Cara Menghadapinya?