Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Harian Covid-19 Tembus 1.000, Apakah Omicron Sudah Menyebar di Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Petugas kesehatan melakukan tes usap COVID-19 kepada seorang warga saat tes massal di Kelurahan Krukut, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Senin (10/1/2022). Tes usap yang dilakukan kepada 500 warga Krukut tersebut menindaklanjuti ditemukannya 36 kasus COVID-19 di wilayah itu di mana satu di antaranya suspek varian Omicron. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Pada 15 Januari 2022 lalu, pemerintah melaporkan ada penambahan 1.054 kasus Covid-19 di Indonesia dalam 24 jam terakhir.

Angka tersebut merupakan penambahan kasus harian tertinggi setelah sekitar tiga bulan laju kasus Covid-19 berada di titik terendah.

Selain itu pada Minggu (16/1/2022) Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut bahwa Jakarta bakal menjadi "medan perang" pertama Indonesia melawan Covid-19 Varian Omicron.

"Sekitar 90 persen transmisi lokal (varian Omicron) terjadi di Jakarta. Kita harus persiapkan khusus DKI Jakarta sebagai medan perang pertama menghadapi Omicron dan harus kita pastikan kita menang," ujar Budi, dikutip Kompas.com, Minggu (16/1/2022).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah meningkatnya kasus Covid-19 menjadi 1.000 per hari jadi tanda Varian Omicron sudah menyebar luas di Indonesia?

Baca juga: 7 Daerah di Indonesia yang Sudah Mendeteksi Varian Omicron

Penjelasan epidemiolog

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Satria Wiratama mengungkapkan, tanda Varian Omicron telah menyebar justru adalah saat muncul kasus transmisi lokal.

"Sebenarnya salah satu tandanya adalah adanya kasus transmisi lokal yang tidak berhubungan dengan PPLN (Pelaku Perjalanan Luar Negeri) dan itu sudah terjadi beberapa hari lalu," kata Bayu pada Kompas.com, Senin (17/1/2022).

Bayu mengungkapkan, kemungkinan besar ketika pertama kali Omicron terdeteksi itu sudah masuk transmisi lokal. Akan tetapi, saat itu pemerintah tidak bisa membuktikannya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, peningkatan kasus tidak hanya dipicu oleh adanya varian ini saja.

"Peningkatan kasus tidak hanya dipicu varian saja. Peningkatan kasus Covid menjadi 1000 per hari salah satunya disebabkan mobilitas yang kemarin terjadi, munculnya varian baru dan berkurangnya kedisiplinan masyarakat terkait 5M," ujar Bayu.

Dia mengatakan, yang paling penting sekarang adalah respon sistem kesehatan yang diperkuat agar 3T (Testing, Tracing, Treatment) bisa cepat mencegah peningkatan kasus.

"Lebih ke ditingkatkan responnya karena kemarin kan kita sempat turun kasusnya dan 3T kita agak rileks. Nah untuk Januari-Maret ini dikembalikan lagi menjadi seperti level saat gelombang kedua kapasitasnya," tutur Bayu.

Dia menuturkan, harapannya Indonesia tidak perlu sampai melakukan peningkatan level PPKM, karena kasus-kasusnya dapat ditekan dengan 3T yang bagus.

"Selain itu edukasi 5M juga kembali diperketat dan akses ke ruang publik sebaiknya diperketat dengan meningkatkan kedisiplinan penggunaan PeduliLindungi," pungkas Bayu.

Baca juga: Berapa Lama Gejala Omicron Akan Mendekam di Dalam Tubuh?

Pentingnya testing dan tracing

Dihubungi terpisah, Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan Varian Omicron telah menyebar tanpa terkendali di berbagai negara, termasuk Indonesia.

"Di semua negara bahkan dengan kemampuan 3T lebih baik dari Indonesia menyebar tanpa terkendali, apalagi di Indonesia yang kita tahu 3T-nya tidak memadai dan pasif sehingga fakta ini tidak terhindarkan," ungkap Dicky pada Kompas.com, Senin (17/1/2022).

Dia mengingatkan kembali tentang pentingnya testing dan tracing. Terkait penemuan kasus menjadi hal yang sangat penting saat ini.

"Ketika kita gagal mendeteksi kita menyimpan bom waktu. Ini akan menimbulkan masalah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang," ujar Dicky.

Masalah jangka pendek yang akan timbul jika gagal mendeteksi kasus di masyarakat tentunya adalah munculnya banyak orang yang sakit atau terinfeksi Covid-19.

Dicky mengatakan saat ini 90 persen yang terinfeksi Varian Omicron tidak bergejala. Hal itu karena saat ini sudah banyak yang memiliki imunitas, baik karena vaksinasi, pernah terinfeksi, maupun sudah terinfeksi lalu melakukan vaksinasi.

Namun menurut Dicky hal tersebut berbahaya, karena dengan gejala ringan atau tanpa gejala orang-orang bisa bebas beraktivitas.

Baca juga: Bukan Masker Kain, Ini Jenis Masker yang Ampuh Tangkal Omicron

Hal itu bisa menularkan penyakit pada orang lain dan akhirnya menginfeksi orang-orang yang berisiko tinggi seperti lansia, komorbid, ibu hamil, dan lainnya.

"Banyak kelompok berisiko tinggi belum divaksinasi, termasuk anak-anak atau bayi atau ibu hamil. Ini yang terlihat di banyak negara. 20 persen dampaknya lebih berat pada anak karena mayoritas mereka belum divaksinasi. Kematian pada anak lebih signifikan terjadi setelah Omicron," kata Dicky.

Selain itu, kata Dicky, juga akan berdampak pada tumbangnya fasilitas kesehatan hingga kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) akibat banyaknya nakes (tenaga kesehatan) dan pelayan publik yang sakit atau menjalani karantina.

"Bisa kolaps. Stok makanan berkurang. Testing sulit, karena nakesnya banyak yang sakit. Dampak omicron ini lebih besar, memang bukan pada aspek individu, tapi public health-nya dan sektor kesehatannya banyak sektor yang terganggu," ungkap Dicky.

Terkait dampak jangka panjangnya adalah long Covid. Dicky mengatakan meski bergejala ringan atau tidak bergejala, organ vital orang yang terinfeksi bisa terserang.

Selain itu juga bisa membiarkan Varian Omicron bergerak bebas, sehingga bisa menciptakan varian baru yang lebih ganas, kebal vaksin, bahkan lebih mematikan.

"Penyakit jantung meningkat, paru meningkat, ginjal meningkat, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam setiap wabah, 3T tidak bisa diremehkan," pungkas Dicky.

Baca juga: Kapan Pasien Covid-19 Varian Omicron Dinyatakan Sembuh dan Selesai Isolasi?

Kasus menyebar tanpa terdeteksi

Dihubungi terpisah, Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengatakan penyakit menular apa pun yang sebagian besar kasusnya tanpa gejala berisiko menyebar luas tanpa terdeteksi.

"Makin tak bergejala, makin sulit terdeteksi, risiko penyebaran luas makin besar. Demikian pula Covid-19 varian apa pun, lebih-lebih varian Omicron yang keparahannya lebih rendah, termasuk di Indonesia yang tingkat testingnya di antara negara-negara di dunia termasuk tidak tinggi, meski pun sejak pertengahan tahun 2021 sudah jauh meningkat dari pada sebelumnya," ujar Windhu pada Kompas.com, Senin (17/1/2022).

Seperti dua epidemiolog sebelumnya, Windhu mengatakan untuk solusinya adalah memperkuat penemuan kasus.

"Ya. Surveilans untuk case finding harus diperkuat melalui testing dan contact tracing yang memadai, salah satunya secara digital melalui platform PeduliLindungi (PL) yang berfungsi juga sebagai pelacak kontak, selain sebagai penapis dan pelindung, sepanjang PL diimplementasikan secara standar, bukan sekedar formalitas hanya dipasang QR codenya, tapi tidak dipindai oleh setiap pengunjung," pungkas Windhu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi