Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arteria Dahlan dan Sederet Kontroversinya...

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Humas DPR
Arteria Dahlan, Deputi Penerangan Masyarakat untuk Satgas Covid-19 DPR RI memberikan keterangan pers terkait tiga aksi nyata Satgas Covid-19, Minggu (19/4/2020)
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Politisi PDI-Perjuangan Arteria Dahlan kembali menuai sorotan publik, karena ucapannya.

Anggota Komisi III DPR itu meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mencopot seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) yang berbicara bahasa Sunda dalam rapat.

"Ada kritik sedikit Pak JA, ada Kajati Pak dalam rapat, dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda, ganti Pak itu," kata Arteria dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kejagung, Senin (17/1/2022).

"Kita ini Indonesia, Pak. Nanti orang takut, kalau pakai bahasa Sunda ini orang takut, ngomong apa, sebagainya. Kami mohon yang seperti ini dilakukan tindakan tegas," tambahnya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernyataan ini pun mendapat respons dari banyak kalangan, tak terkecuali Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang menuntut Arteria meminta maaf kepada masyarakat Sunda.

Insiden ini menambah catatan panjang kontroversi yang pernah dilakukan oleh Arteria Dahlan.

Baca juga: Ramai soal Arteria Dahlan, dari Puncaki Trending Twitter hingga Ejekan di Wikipedia

Berikut catatan kontroversi Arteria Dahlan:

1. Protes tak dipanggil "Yang Terhormat"

Pada 2017, Arteria melayangkan protes kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak dipanggil "Yang Terhormat" dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan pimpinan KPK.

Padahal, sepanjang pimpinan KPK menjawab pertanyaan dan memaparkan hasil kerja, Arteria menunggu-nunggu dipanggil "Yang Terhormat".

"Ini mohon maaf ya, saya kok enggak merasa ada suasana kebangsaan di sini. Sejak tadi saya tidak mendengar kelima pimpinan KPK memanggil anggota DPR dengan sebutan 'Yang Terhormat'," kata Arteria.

Ia menuturkan, pimpinan KPK seharusnya memanggil anggota DPR dengan sebutan "Yang Terhormat", seperti yang dilakukan Kapolri dan Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Beragam Respons atas Usulan Arteria Dahlan soal Jaksa, Polisi, dan Hakim Tak Bisa Kena OTT

2. Melontarkan umpatan kasar kepada Kemenag

Arteria bahkan sempat melontarkan umpatan kasar kepada Kementerian Agama (Kemenag) dalam rapat kerja bersama DPR pada 2018 terkait kasus First Travel.

Saat itu, Arteria meminta Kejaksaan tidak hanya menginventarisasi aset First Travel, tetapi juga secara aktif melacaknya karena itu berkaitan dengan kerugian yang diderita masyarakat.

"Saya satu komisi satu bulan sama (kasus First Travel) ini, Pak. Ini masalah dapil, Pak. Yang dicari jangan kayak tadi Bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak. Ini Kementerian Agama bang**t, Pak, semuanya, Pak," tutur Arteria kepada Jaksa Agung HM Prasetyo.

Menurut dia, kasus penipuan tersebut terjadi lantaran pengawasan Kementerian Agama yang lemah.

Karena menuai kritikan, ia pun meminta maaf apabila pernyataannya menyinggung Kemenag. Arteria mengaku kesal lantaran salah satu pejabat Kemenag yang malah menyalahkan calon jemaah umrah yang gagal berangkat.

Baca juga: Mengapa KPK Kesulitan Melawan PDI-P?

3. Menyebut Emil Salim sesat

Pada 2019, pernyataan Arteria Dahlan kembali dikritik usai menyebut ekonom Emil Salim sesat.

Peristiwa itu terjadi ketika keduanya berdebat soal Peraturan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK di acara Mata Najwa.

Arteria menyebut pemikiran Emil Salim sesat saat menyampaikan sebuah argumen bahwa KPK menyampaikan laporan pertanggungjawaban setiap tahun.

"Tidak ada Prof. Prof sesat nih," ujar Arteria Dahlan sambil menunjuk-nunjuk Emil Salim.

Ia berdalih, tindakannya itu dilakukan hanya untuk menyampaikan hal benar. Ia juga menyayangkan acara tersebut mendatangkan Emil Salim untuk mengutarakan hal-hal yang bukan kapasitasnya.

Baca juga: Menyoroti Etika Politisi dari Diskusi antara Arteria Dahlan Vs Emil Salim

4. Meminta KPK tak lakukan OTT kepada penegak hukum

Pada November 2021, Arteria mengusulkan agar penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim tidak ditangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT).

Menurutnya, penegak hukum merupakan simbol negara yang harus dijaga marwahnya.

Ia menjelaskan, OTT selama ini membuat gaduh dan rasa saling tak percaya antarlembaga. Karenanya, ia berharap agar OTT tidak dilakukan sebagai satu-satunya cara penegakan hukum.

"Bukan hanya disharmoni lagi, sehingga hubungannya pada rusak, sehingga jauh dari apa yang dicita-citakan. Sedangkan kalau hanya untuk melakukan penegakan hukum ya kita masih bisa punya instrumen-instrumen yang lain," kata dia.

Baca juga: 5 Fakta soal Bupati Banjarnegara, dari Pamer Slip Gaji hingga Jadi Pesakitan KPK

(Sumber: Kompas.com/Haryanti Puspa Sari, Ardito Ramadhan, Rakhmat Nur Hakim | Editor: Krisiandi, Bayu Galih, Sandro Gatra)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi