Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siniar KG Media
Bergabung sejak: 15 Okt 2021

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Menulis sebagai Ekspresi Keresahan, Kreativitas, dan Kritik

Baca di App
Lihat Foto
Freepik_Rawpixel
Ilustrasi menulis
Editor: Sandro Gatra

Oleh: Fauzi Ramadhan & Brigitta Valencia Bellion

DALAM sejarah perpolitikan Indonesia, negara ini mengalami banyak dinamika. Di masa-masa tersebut banyak sekali guncangan politik yang melibatkan banyak golongan, baik militer, masyarakat, maupun golongan intelektual seperti mahasiswa.

Setiap era memiliki pemimpin dan gayanya sendiri. Akan tetapi, yang paling dekat dengan masa modern ini adalah perpindahan dari Orde Baru menuju Reformasi pada 24 tahun lalu.

Era pasca-Soeharto ini adalah masa ketika sekat-sekat perpolitikan yang militeristik dan represif di Orde Baru mulai dihapus.

Kemudian, ia digantikan oleh napas baru demokrasi yang berlandaskan Pancasila.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam buku Revolusi Politik Kaum Muda (2008), reformasi lahir setelah negara Indonesia mengalami krisis yang melanda berbagai aspek, mulai dari ekonomi, politik, hukum, kepercayaan, hingga kebutuhan pokok.

Krisis-krisis ini hadir di penghujung era Orde Baru sehingga terjadi gerakan masif yang berusaha untuk melengserkan kepemimpinan militeristik Soeharto.

Metode gerakan yang digunakan sangatlah beragam, tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga kritik sosial lewat tulisan, sastra, dan seni.

Sebut saja Wiji Thukul, Nezar Patria, dan Puthut EA sebagai tokoh-tokoh pelopor gerakan kritik melalui tulisan, sastra, dan seni.

Kini, di era modern, dinamika politik kian berkembang. Ruang-ruang demokrasi telah hadir bagi seluruh masyarakat.

Akan tetapi, penyelewengan kekuasaan, tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi suatu parasit yang hinggap di era reformasi ini.

Bahkan, menurut survei yang diadakan SMRC pada September 2021, masyarakat yang menilai kondisi perpolitikan nasional semakin buruk bertambah 9,9 persen menjadi 24,4 persen dalam dua tahun.

Untuk mengatasinya, kritik-kritik sosial dan politik harus tetap disuarakan sehingga demokrasi tetap terawat dengan baik.

Tak harus turun ke jalan, kini setiap orang dapat melakukannya lewat karya-karya kreatif, seperti tulisan dan sastra.

Lantas, bagaimana cara kita untuk menuangkan aspirasi, keresahan, dan kritik sosial yang baik dan kreatif? Simak penjelasan berikut.

Membaca buku sebagai modal kritik sosial

Sebelum menulis, alangkah baiknya kita memahami substansi penulisan dengan cara membaca.

Dengan begitu, kita sekaligus membuka cakrawala pengetahuan agar bisa menjadi paradigma berpikir baru sehingga tidak berada dalam pemikiran yang sempit.

Membaca bisa dimulai dari buku-buku sastra, sejarah, atau politik.

Menurut Agnes Setyowati, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Pakuan, yang dikutip dalam artikel Kompas.com “Sastra: Antara Hiburan, Kritik, dan Perubahan”, dengan membaca sastra, kita diajak untuk peka terhadap kemanusiaan.

Dengan demikian, kepekaan tersebut membawa kita menjadi semakin bijaksana.

Karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang ada meskipun itu berbentuk fiksi.

Sebab, hubungan sastra dengan realitas sosial digambarkan oleh penulisnya yang hidup dalam fenomena sosial tertentu.

Misalnya, sastrawan Wiji Thukul yang mengkritik era Orde Baru dalam sajak “Peringatan”.

“Sewaktu saya ikut dalam pergerakan, buku-buku selalu berada di samping saya, seperti buku Di Bawah Bendera Revolusi oleh Soekarno, buku-buku Tan Malaka, dan karya Pramoedya Ananta Toer,” ujar Puthut EA, di episode “Puthut EA, Reformasi 98 Bukan Gerakan Mahasiswa dan Tips Merawat Sokrates” dalam siniar Beginu.

Menurut dia, dengan membaca buku-buku tersebut, energi perjuangan akan hadir kembali dalam dirinya sehingga membawanya semangat untuk menulis.

Tuangkan pikiran lewat menulis

Selain membaca buku, Puthut kemudian memberikan tips sebelum memulai menulis dengan meniru tulisan yang sudah ada.

“Saya dulu meniru Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, Imam Simatupang, dan masih banyak lagi,” ungkapnya.

Puthut mengatakan, ketika sudah terbiasa meniru, nantinya kita akan menemukan karakter tulisan sendiri.

Bahkan, menurut dia, karakter tulisan seseorang itu bukan disimpulkan dari seratus tulisan pertamanya, melainkan bisa saja tulisan-tulisan sesudahnya.

Ia juga menambahkan bahwa kita bisa menggambarkan sesuatu jauh lebih runtut apabila terbiasa menulis.

“Metode efektif untuk mendelegasikan pikiran bukanlah dengan ngobrol, tetapi menulis,” ucap Puthut.

Dengan menulis, seseorang menawarkan ide atau gagasan kepada khalayak atau diri sendiri.

Akan tetapi, dalam konteks mengkritik pemerintahan, tulisan yang dibuat haruslah dibagikan kepada khalayak ramai sehingga menjadi suatu kesadaran dan pengetahuan baru atas ketidaktepatannya suatu kebijakan oleh pemerintah.

Gunakan kreativitas menyampaikan kritik

Dalam menyampaikan kritik, alih-alih menggunakan cara kekerasan, kita dapat menggunakan cara-cara kreatif apabila lawan memiliki kekuatan yang lebih besar.

Menurut artikel yang dipublikasi oleh Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada, semakin besar kekuatan lawan, semakin mudah ia mendelegitimasi tujuan kita.

Dalam buku Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict yang ditulis oleh Maria Stephan dan Erica Chenoweth, efektivitas perlawanan yang menggunakan kekerasan hanya 26 persen.

Efektivitas ini berbanding terbalik dengan cara-cara kreatif nirkekerasan yang mencapai 53 persen.

Hal ini membuktikan bahwa kita perlu menggunakan cara-cara kreatif dengan nirkekerasan untuk menyampaikan kritik.

Cara-cara kreatif yang dapat dilakukan adalah mengekspresikan diri dengan turun aksi damai ke jalan, membuat karya sastra yang berisi kritik sosial, atau menulis opini.

“Bahkan, saya rasa anak-anak muda zaman sekarang jauh lebih kreatif,” kata Puthut.

Pembahasan mengenai kreativitas dalam mengkritik tersedia dalam siniar Beginu bertajuk “Puthut EA, Reformasi 98 Bukan Gerakan Mahasiswa dan Tips Merawat Sokrates”.

Dengarkan episode selengkapnya dengan mengakses tautan berikut https://dik.si/S3E5BeginuA

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi